Kurikulum 2013 adalah produk setengah matang dan cenderung dipaksakan. Produk tersebut tak lain merupakan hasil dari sebuah keputusan yang diambil secara tergesa-gesa dan oleh karenanya harus dihentikan sampai proses evaluasinya selesai. Itulah yang diungkapkan oleh Mendikdasmen Anies Baswedan dalam rapat perdana tentang revisi Kurikulum 2013 di gedung Kemendikbud beberapa waktu lalu. Anies pun memutuskan untuk membentuk tim guna mengetahui seberapa mentah kurikulum baru tersebut di lapangan.
Di sisi lain (akan) “dilikuidasi”-nya kurikulum 2013 ini sebenarnya telah lama diprediksi oleh banyak pihak. Selain karena tingginya potensi kegagalan sebagai akibat dari ketidaksiapan sarana pendukung serta pendidiknya, pemberlakuan kurikulum yang dilakukan pada masa transisi pemerintahan tersebut membuat siapa pun tidak akan mampu menjamin keberlanjutannya. Fenomena semacam ini merupakan hal yang wajar mengingat setiap rezim tentunya memiliki “selera” yang berbeda dalam mengelola pemerintahannya.
Dalam pandangan penulis, “evaluasi” yang tengah dilakukan oleh Kemendikdasmen tersebut merupakan sinyal akan segera berakhirnya “era keemasan” Kurikulum 2013. “Proyek mercusuar” yang digagas pada masa pemerintahan SBY – Boediono tersebut, terpaksa harus kembali direkonstruksi bersamaan dengan bergantinya “pimpinan proyek”.
Bagi kalangan pendidik maupun siswa, “rumah” yang saat ini tengah dibangun oleh sang mandor baru tersebut ibarat pisau bermata dua. Jika bangunan tersebut jauh lebih kokoh dari sebelumnya dan sesuai dengan pesanan, maka evaluasi Kurtilas benar-benar sebuah kebijakan yang tepat. Sebaliknya, jika kualitas bangunan yang dibuat ternyata sama saja atau bahkan lebih rapuh dari yang seblumnya, proses evaluasi pun tak lebih dari sekedar proyek untuk menghambur-hamburkan uang negara.
Berdasarkan penjelasan di atas, tak berlebihan apabila penulis mengajak seluruh guru maupun kalangan pendidikan untuk bersiap menyambut kurikulum baru yang tidak lama lagi akan diberlakukan. Berupaya untuk senantiasa meningkatkan kompetensinya merupakan upaya yang harus ditempuh untuk menghadapi berbagai tantangan. Sikap “alergi” terhadap (setiap) perubahan hanya akan menjauhkan pendidik dari kodratnya yaitu sebagai agen perubahan.
Meskipun demikian, setiap pendidik pun dituntut untuk bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah apabila dipandang tidak berada pada jalur yang benar. Hal ini dikarenakan pendidik merupakan pihak yang bersentuhan langsung dengan anak sehingga lebih mengetahui kondisi serta kebutuhan di lapangan. Setiap kekurangan maupun kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah hendaknya disampaikan langsung melalui saluran-saluran yang tepat. Dengan begitu pemerintah pun akan memiliki kesempatan untuk segera memperbaikinya.
Dengan adanya kesiapan pendidik dalam menghadapi setiap perubahan, diharapkan berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mencerdaskan generasi bangsa dapat terlaksana dengan baik. Selain itu dengan adanya kesadaran dari pemerintah untuk memperlakukan guru sebagaimana mestinya, resiko terjadinya resistensi terhadap kebijakan yang dikeluarkan pun dapat dihindari sekecil mungkin.(Dimuat di Harian Umum Republika, 04 Desember 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H