Mohon tunggu...
M. Jundurrahmaan
M. Jundurrahmaan Mohon Tunggu... -

seniman kawakan dari bawah tanah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Segala Ruang Hidup

19 Juli 2018   19:02 Diperbarui: 19 Juli 2018   19:06 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biasanya saya akan memasang sebuah foto disini. Lengkap dengan sebuah judul yang nyentrik, agar redaktur Kompasiana yang menjaga gawang untuk tema saya acapkali pilih (yakni, Politik) mau ataupun sudi menjejelnya di lampiran depan. 

Tapi saya rasa suatuhal semacam ini perlahan mulai sirna di dalam pikiran saya setelah beberapabulan ini saya habiskan tanpa menuliskan satu barang pun tentang permasalahan negara sekarang yang membuat saya gelisah. Malah saya mulai gelisah dengan diri saya sendiri.

Ini makin diperkuat dengan pepatah Socrates bahwa seseorang harus menemui dirinya sendiri agar menjadi bahagia. Saya sering dengar ini dari Soesilo Toer, salah seorang adik lelaki dari keluarga besar bapaknya Pramoedya Ananta Toer. Ia menjadi pemulung, dia bahagia. Sedangkan saya sendiri, makin lama makin tidak senang terhadap diri sendiri seiring bertambahnya ilmu tentang ekologi-politik. 

Seumpamanya wahana Kompasiana adalah Instagram, lantas tiapkali saya mencetuskan satu - dua kritik tentang kekonyolan dari Negara dan mendapatkan audiensi banyak dari Anda sekalian, nantinya akan menjadi semacam pemicu bertumpah-ruahnya hormon dopamin di dalam otak saya. 

Sedangkan dengan begitu, saya akan berbicara tentang diri saya sendiri. Karena itu pula saya tak akan berbicara secara berunut--mungkin pada beberapa bagian saya akan terdengar tidak jelas, karena semua ini langsung berasal dari dalam pikiran saya.

Karena itulah saya memberi judul untuk esai ini seperti itu. Dari Segala Ruang Hidup, dan berdasarkannya saya seiring sejalan belajar politik lebih mendalam lagi, entah mengapa tiba-tiba saya merasa sendiri di tengah-tengah ruang hidup yang saya jelajahi dari satu ke yang lainnya, kendati beberapa bulan sebelumnya--bahkan kalau boleh jujur, sampai tahun demi tahun sebelum ini, saya merasa nyaman dengan diri saya sendiri. 

Saya tak pernah ketemu jawaban untuk pertanyaan ini kecuali dari karya Debord, seorang Situasionis bermetodekan ilmu Marxisme, bertajuk The Society of the Spectacle--dimana ia meramal bahwa masyarakat pada fase kapitalisme puncak akan berubah arah dari eksploitasi-komoditas (seumpamanya mirip para bangsawan yang selalu berfoya-foya dengan hartanya, menumpahkan emas-emas mereka miliki ke atas lalu menggelincir balik kebawah) menjadi sebuah spectacle. 

Konsepnya ia perinci lebih lanjut; Debord berkata bahwa seorang spectacle adalah seseorang yang hidup dengan segala hal menarik dan bagus mereka tunjukkan kepada masyarakat untuk menyatu dengan kehidupan masyarakat. 

Ada banyak jenis pembedahan terhadap konsep ini namun lebih umum, sejak dari dulu, makna dari teori Debord adalah bahwa kita lebih banyak menunjuk untuk bersama orang banyak dengan fetisisme-komoditi yang terlalu berlebih dewasa ini ketimbang bekerja saja untuk klas tertinggi dalam suatu tatanan sosial tertentu. Mengapa saya menjabarkan sesuatu semacam ini? Begini alasannya.

Agaknya bagi orang-orang yang kenal dengan nama saya, dan sempat membaca beberapa artikel saya telah tulis sebelum ini, sudah bisa menangkap bahwa saya adalah seorang pemuda biasa. 

Kalau mengejutkan, saya akui agaknya saya memang terlalu banyak membaca buku, walaupun jenisnya wabil khusus sastra Jepang dan Eropa saja. Tentang siapa diri saya pribadi, tak akan saya ungkap disini, karena mungkin nanti akan disalahgunakan oleh orang-orang tertentu. Yang pasti, saya adalah anak kedua dari sebuah keluarga besar dengan darah perpaduan antara seorang kromo dari Karanganyar, bangsawan dan pejabat Gouvernment dari Tapanuli dan Banten.

Jika terpikir bahwa saya terlalu banyak baca buku, sehebat-hebatnya fakta tersebut, sebagaimana orang-orang kebanyakan yang serupa dengan saya, saya tak punya banyak teman. Bahkan kalau boleh jujur, saya punya beberapa; keseluruhan diantara mereka mungkin kalau boleh dibilang, berada di simpul 'terbilang sangat polos', dalam pengartian masih lekat dengan sifat-sifat lumrah seorang anak muda, dan 'terbilang-ingin-polos', dalam pengartian ingin melekatkan diri dengan ciri-ciri serupa. Tiga diantaranya adalah perempuan semua, kira-kira lima diantaranya adalah lelaki-lelaki dengan berbagai ragam hal yang mereka sukai. 

Satu sangat demen dengan otomotif, adapula yang suka sekali dengan basket, ada yang menyukai olahraga Anggar, ada yang menyukai bola futsal. Namun entah mengapa dari keseluruhan ini, setelah melalui semacam soulsearching selama waktu libur kemarin, saya baru sadar bahwa saya telah teralienasi oleh mereka semua. Entah karena saya anggap mereka adalah contoh-contoh dari spectacle. 

Mungkin karena itu pula saya mulai memasang serangkaian prinsip-prinsip dan kriteria yang terlalu tinggi tanpa saya sendiri sadari untuk menyatu dengan masyarakat; rata-rata dari mereka bisa dibilang sangat rileks dengan pola hidup mereka, saya harus bangun pagi setiap harinya dan melakukan aktivitas dari menulis, berlari keliling lingkungan perumahan selama 15-30 menit untuk menumbuhkan kinerja otak saya (kendati alhasilnya saat suatukali berkunjung ke kantor Ibu tampang saya dianggap telah menjadi kurus), lalu membaca sebuah buku. Alhasil saya berupa semacam antitesis dari hipotesa yang diajukan Debord; seseorang yang 'memiliki' untuk hidup, ketimbang 'menunjukkan'.

Saya sendiri tak tahu akar dari mana munculnya pergolakan ini di dalam batin saya. Mungkin karena jauh-jauh hari saya mulai tercenung terhadap beberapahal tertentu yang terlihat timpang, dan juga sesuatu yang masih membuat saya terpukau sampai sekarang.

Dahulu saya sempat dekat dengan seorang perempuan muda, yang berkenalan dengan saya lewat jejaring. Ia anak tunggal, kalau tidak salah begitu, dari sebuah keluarga yang dua-kali harus berpindah dari seorang pria pecandu kepada seorang penggagum segalamacam senjata dan segalahal maskulin khas Amerika; dari sifat ultranasionalisme sampai, kalau tidak salah, otomotif pula. 

Lantas karena kegemarannya terhadap watak itu dapat dibilang lumayan gencar, lewat pandangan diskriminatif yang berbagairagam dari negrofobia sampai sinofobia, ia pun mampu menyatu dengan ibu kandung perempuan ini sehinga mereka berdua pun memutuskan untuk berpacaran. Saya rasa karena keterasingannya dari sifat kedua orangutanya ini, saya bersama sang perempuan ini mampu menjadi akrab dalam waktu yang terbilang sangat cepat. 

Apalagi dulu kami dapat dibilang sangat serupa antar satu sama lain; dia dapat dibilang sangat pendiam dan canggung, begitupula saya ketika itu. Dia menyukai kebudayaan Jepang, saya juga sebagaimana demikian--malah dahulu sempat pula terkhususkan pada anime dan komik-komiknya. Jadi kami saling paham terhadap sifat satu sama lain dengan gampang.

Kami berpisah karena, saya rasa, perlahan-lahan saya mulai tidak sabaran dengan sifatnya tersebut, meski saya rasa ini juga dikarenakan sifat saya sudah mulai berubah pula seiring dengan segalamacam hal buruk yang harus saya alami, yang turut menjadi semacam detak nadi dari emosi itu. 

Kemudian saya sempat marahi dia berkali-kali agar ia berubah, sampai ia akhirnya merasa cukup sudah dengan penderitaan saya berikan kepadanya. Ia masih sudi beberapalama seusai perpisahan itu, walaupun perlahan, dan sekarangpun, kami tak pernah sekalipun berbicara lagi karena sudah mulai sibuk dengan kehidupan masing-masing.

Walaupun dalam kenyataannya, saya tak pernah mau dia berubah. Sampai sekarang saya masih menyesal harus menuding-nuding dia selingkuh, meski sebetulnya tidak demikian kalau saya cermati kembali beberapa omongan ia sempat lakukan dengan teman dekatnya waktu itu. 

Bahkan saya sekarang sadari bahwa dukungan kasih sayang dari seseorang yang sudah pasti dan tertancap betul adalah sesuatu yang tak dapat seorangpun bisa hilangkan begitu saja, meski masih terlobangi dengan beberapa rintangan disana-sini--terutamanya, risiko diselingkuhi. 

Saya hanya ingin dia jujur tentang segalamacam hal karena hubungan kami yang terentang oleh jarak jauh. Bahkan kalau boleh bersikap cengeng, saya sekarang menyadari bahwa saya telah menyia-nyiakan dia, sebab dia sekarang sudah berubah seratusdelapanpuluh derajat, dan saya kini sadar betul bahwa tiapkali saya hendak berjalin obrol lagi dengannya, saya tengah mengejar sosoknya dulu yang masih paham siapa diri saya ini. 

Seolah masalalunya sudah terbunuh betul, dia sekarang telah menjadi semacam sosialita di sekolahnya, dan tak suka lagi dengan anime, manga, komik atau segala barang serupa. Dia menjadi penyuka Starbucks, acapkali mengenakan pakaian yang terbuka auratnya (kendati sebelumnya seringkali mengenakan kaos-kaos biasa, walau sesekali bisa saja ia memakai baju-baju ketat), tertarik minuman keras dan (saya rasa) seksualitas-bebas. 

Bahkan setahu saya terakhirkali suka seni dan teater. Dia ngalor-ngidul dengan hidupnya, sedangkan saya sendiri sudah ketemu; yakni, membantu sesama dan membebaskan pikiran saya pribadi lewat menyumbangsih lewat hak suara saya sebagai seorang manusia, lewat kata-kata tertulis. 

Waktu, memang fana dalam hal ini, sebagaimana kata Sapardi--suatu hari akan habis bersama secangkir kopi yang kita minum tiap paginya serta segalamacam tugas yang diberikan oleh atasan kepada kita, begitupula suatu dekade akan habis tempias bersama seseorang yang paham betul jati diri kita serta pandangan kita terhadap dunia.

Tentu, saya masih punya sejumlah orang tadi yang paham dengan saya, walau sebagai gantinya saya harus menjadi semacam spectacle pula di hadapan mereka karena ketangkasan saya dalam berpikir ini. Rata-rata diantara mereka, kecuali satu Si Penyuka Basket dan salah seorang lainnya yang konon gemar sekali dengan ilmu filsafat Islam-kontemporer, tak terperi dalam budaya populer sehingga acapkali berbicara tentang hal itu terus-menerus. 

Bahkan kalau boleh jujur, salah satu diantara mereka pula juga nampak betul ingin menjadi seorang spectacle untuk diakui oleh kelompok kawannya--lewat menonton film-film modern dewasa ini, bermain segalamacam game yang belakangan sedang digemari oleh anak-anak sekolah. Namun begitulah hidup di zaman posmodern kini.

Sekarang orang telah berubah demi teman-temannya sendiri dengan melakukan dan menyukai hal-hal konyol demi kesepahaman dan penerimana oleh mereka pula. Agaknya sangat mumpuni menjadi sebuah masalah bagi anasir-anasir kiri-radikal kini, yakni lebih gampangnya aktivis-aktivis yang mengamini penuh kitab-kitab Marxis, untuk mengubah tatanan negara untuk masyarakat yang mereka anggap sudi untuk membantu satu sama lain. 

Dan juga saya pribadi, yang terbilang manja dan kadangkali tidak suka sendiri secara materiil dan langsung. Walau mau bagaimana lagi? Jika saya ingin mencari seorang kekasih, sekarang saya tidak ingin betul karena kecenderungan para pemuda-pemudi kini untuk dating ke restoran-restoran tersohor dan menggelontorkan uang demi barang-barang mereka inginka, yang notabene manfaatnya terbilang sangat sedikit dan sementara. Anda mungkin akan merasakan hal yang sama.

Kalau benar begitu, mungkin betul satu pandangan inti tentang hidup yang dari dulu sering diajarkan kepada kita; tak akan ada orang yang betul-betul bisa memahami Anda, kecuali Tuhan, pihak Anda selalu meneruskan ibadah kalian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun