Oleh Ramayanti Alfian Rusid S.Psy, MM.Comm*
Saya terkejut ketika membaca pernyataan mantan kepala BIN, Jenderal AM Hendropriyono bahwa gerakan Klandestin benar-benar ada di Indonesia. Dalam pengamatan saya, gerakan bawah tanah tersebut sangat masif di medsos.
Ternyata yang kerap melintas di wall di media sosial (medsos) benar adanya. Awalnya saya berpikir, bahwa itu adalah kalimat-kalimat biasa atau kegiatan biasa, yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang mencari hiburan, atau sekadar menyalurkan kegalauannya dengan imajinasi-imajinasi yang seolah-olah benar adanya.
Ajakan-ajakan untuk mengganti bentuk negara dengan janji mendapatkan surga, kelak di akhirat. Juga ajakan untuk melawan pemerintah, dan memusuhi mereka yang berbeda, terus dihembuskan oleh mereka yang berkelebat seperti siluman, juga oleh mereka yang dilakukan secara terang-terangan.
Ujaran-ujaran kebencian dan hoax yang disebarkan, mengarah kepada pemecahan bangsa.
Dalam kondisi seperti ini, sudah saatnya cyber army (tentara maya), bila kita sudah punya, bergerak lebih jauh ke jantung kegiatan mereka.Â
Sementara sebagai penegak hukum, PolriÂ
Badan Reserse Kriminal atau Bareskrim Polri secara resmi telah meluncurkan polisi virtual untuk mencegah dan mengurangi tindak pidana pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE dalam dunia siber di Indonesia, pada Kamis, 25 Februari 2021 lalu. Peluncuran tersebut berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Terkait hal itu, sudah saatnya diajarkan di sekolah-sekolah, bagaimana cara membentengi diri dari hasutan-hasutan dan ujaran kebencian. Bukankah di beberapa lembaga pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, sampai institusi-institusi tempat bekerja dirasuki oleh paham intoleransi, dan membangun sikap perbedaan yang sangat tajam.
Klandestin yang disebutkan oleh jenderal pakar intelijen itu, saya lebih suka menyebutnya dengan kata Klanoncloud (gerakan di atas awan) atau klaninet (gerakan di dalam internet). Karena memang bergerak di udara (cloud) lewat jaringan internet.
Gerakan ini lebih masip dan nyata. Bisa menyasar siapa saja, dan dimanapun orang berada, bahkan di tempat tidur. Mereka yang menyebarkan, juga bisa melakukannya dimana saja yang mereka mau, dengan sangat leluasa. Yang penting ada jaringan internet, bisa dilepas 'bom' waktu sesuka mereka.
Kita sudah diinvasi. Mungkin itu kata yang paling tepat. Musuh itu telah masuk di dalam masyarakat, seperti rayap yang menghancurkan kayu, dengan menggerogoti budaya bangsa, budaya daerah, dan memporak-porandakan adat istiadat penduduk setempat.Â
Kita tidak tahu siapa yang menginvasi kita sesungguhnya. Secara kasat mata, kita bisa melihat kelompok atau orang-orangnya, tetapi siapa di balik itu semua, mungkin hanya intelijen yang tahu.
Menyikapi serangan di dunia maya di alam medsos, tentu harus dilakukan juga dengan cara-cara yang dilakukan oleh para penyerang. Sehingga masyarakat yang tadinya terpengaruh, bisa 'direbut' kembali semangat kebangsaannya, agar tidak menjadi 'pembunuh' terhadap anak bangsa sendiri.
*Pemerhati masalah sosial politik dan psikologi masyarakatÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H