Mohon tunggu...
Rama Yanti
Rama Yanti Mohon Tunggu... Human Resources - Profesional dan penulis

Perduli terhadap kemanusiaan. Selalu ingin berbuat baik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memandang SBY dari Kacamata Psikologi, Ternyata....

6 Agustus 2018   09:12 Diperbarui: 6 Agustus 2018   09:38 1159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan langkah kuratif, dapat dilakukan dengan bergembira menjalani tantangan hidup. Seseorang yang memiliki pandangan positif pada setiap kesulitan akan mencari solusi dalam setiap masalah hidupnya, bukan memikirkan masalah sebagai problematika yang tak ada solusinya.

Kembali ke SBY. Saya ambil contoh dalam peristiwa terbaru, gejala seperti itu terlihat jelas pada diri SBY sebagai individu saat dia berkicau di Twitter pada 1 Agustus 2018, yang mengatakan, "Pemerintah SBY-JK dan Sby-Boediono (10 th) berhasil turunkan kemiskinan sebesar 6%. Ini kami capai (a.l) dgn "program pro-rakyat" yang masif *SBY*".  Hal itu terlihat jelas ia masih tenggelam dalam bayang-bayang masa lalunya.

Dan juga ketika SBY membalas pernyataan Ali Muchtar Ngabalin. Menurut SBY, Partai Demokrat memiliki hak dalam menentukan hak politiknya dalam ajang lima tahunan. Dan itu tidak perlu meminta izin kepada Jokowi.

"Saya tidak harus izin sama beliau. SBY bukan bawahan Jokowi. Partai Demokrat bukan Partai Jokowi. Kami saling menghormati. Ngabalin hati-hati bicara," kata SBY.

Pernyataan SBY itu diungkapkan sebagai reaksinya atas pernyataan jubir istana tersebut, yang menyebutkan bahwa Partai Demokrat sulit bergabung dalam koalisi Jokowi di Pilpres 2019.

Emosi kekuasaan SBY dalam kaitannya dengan PPS, terlihat sangat kental dalam kasus ini. Coba perhatikan lontarannya, masih dalam kesempatan yang sama.

SBY menekankan selama ini tak pernah sulit membangun komunikasi dengan Jokowi. Menurut presiden ke-6 RI itu, hambatan tersebut justru terjadi dengan koalisi partai pendukung Jokowi.

"Saya tidak mengatakan hambatan dengan Jokowi tetapi ada hambatan dengan koalisi. Nah bisa ditafsirkan sendiri soal itu. Dan tidak ada kata-kata harus minta izin. Saya tidak tahu sekolahnya di mana orang seperti itu," kata SBY.

Tentu itu adalah sebuah pernyataan yang sangat emosional terkait dengan PPS. Padahal Sebagai orang yang pernah menduduki jabatan tertinggi di negeri ini, dan sebagai orang yang menduduki kasta tertinggi dalam kelompoknya, SBY bisa saja mendelegasikan orang lain untuk memberikan pernyataan seperti itu. Karena siapapun tahu bahwa levelnya SBY adalah presiden,  bukan selevel juru bicara presiden.

Itu artinya SBY belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia masih selalu ingin tampil dan mencari panggung. Padahal  panggung itu akan lebih bagus jika diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), minimal untuk popularitasnya atau menambah kosakata AHY di search google. 

Dengan demikian SBY bisa mengeluarkan dirinya dari cangkang post power syndrome. Kalau kemudian SBY menanyakan dimana sekolah saya sehingga lancang menulis seperti ini, latar belakang  pendidikan saya adalah psikologi dan komunikasi, sehingga ada dasar akademik mengatakan seperti itu. Bravo!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun