Hujan terjebak di langit-langit Sleman, jauh di sana mendung bercampur dengan debu tak beraturan. Menghitamkan setiap sudut dengan cerita kelam.
Mereka bicara seperti merangkai ayat suci, mencari eksistensi pembenci atas apa yang tak dimengerti. Semua berlomba memungut pembenaran dari persaingan hidup dan mati.
Kini hidup penuh riuh kompetisi, presepsi mata buta dari kanan dan kiri. Setangkup mulut siarkan perbedaan dari hati nurani. Tak bisa dibohongi kita berlomba untuk beraksi, menghujat, dan menghakimi. Sepasang telinga seakan tak berfungsi padahal bukan kali pertama peristiwa seperti ini terjadi.
Dengan demikian, umur dan kedewasaan tak berarti lagi karena berhasil memukul dan melukai dari hati ke nadi. Mulut itu sangat tajam, lebih tajam dari parang. Sebab ia terasah setiap hari hanya untuk menyakiti tanpa terkecuali.
Untuk yang merasa, hiduplah dengan semestinya. Manusiawilah pada sesama. Bersainglah secukupnya. Lalu berhentilah membunuh atasnama benci dan noda.
Kini segelombang peristiwa terjadi, mengusir ketenangan, memecah kedamaian, lebih parahnya menggelapkan harapan tanah ini. Leluhur kita masih sama, tak seharusnya rivalitas menjadikan kita berebut sebatang nyawa.
Petaka untuk kita jika tetap melaju tanpa ada sebuah rambu. Kawan, tolong berhentilah, rasakan bersama jika luka ini menjadi sebuah duka dunia. Jangan terlena terlalu dalam, akhirnya kita sendiri yang akan lelap dan tenggelam.
Waktu terus berjalan, sementara tangis dan air mata terlanjur mengalir. Kini bertahanlah pada sebuah labirin, beristirahatlah untuk melepas kepala kita masing-masing, setelah itu pelajari setiap isinya dengan penuh logika.
Kawan, sekiranya duka ini adalah untuk kita semua. Setelah ini nikmati pertemuan indah kita lewat lantunan doa. Ijinkan kami untuk sejenak menyembunyikan tawa, sebab baik atau buruk kami tak tahu kapan akan berakhirnya.
Jangan larut dalam euforia,langit kita masih mendung. Kemenangan tak berarti jika sebatang nyawa ikut pergi. Duka selalu mengalahkan angka-angka, maka dari itu tolong jangan buta.
Saudaraku, hasil ini untukmu. Semoga sayap-sayap elang mengantarkanmu menuju rumah Bapa. Ceritakan pada semua bahwa kebanggan ini akan selamanya ada. Tersenyumlah lewat pintu-pintu Surga, doakan kami agar keluarga ini saling menjaga dengan penuh cinta.
* S. Gandhang Deswara, berumur 16 tahun. Meninggal dunia tanggal 22 Mei 2016, korban kekerasan oleh oknum supporter di Jalan Magelang. Selamat Jalan...
Â
#SlemanBerduka
#RestInPride
#RIPGandhangDeswara
#RIPFansIndonesia
#JanganDiBalas
Â
Â
Ramawica
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H