Mohon tunggu...
Rama Ugraha
Rama Ugraha Mohon Tunggu... -

Pemuda yang suka membangun khayalan menjadi nyata. // tulisanrama.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Fantasi] Perhiasan Terindah

17 September 2014   18:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rama S. Nugraha

No. 42

****

Di desa Naira, ada gadis muda bernama Kalia. Dia adalah perempuan tercantik di desanya. Dia anak dari kepala desa. Kalia pintar, cerdas, anggun dan mempesona. Semua pemuda desa mendambakan Kalia. Tapi tak ada seorang pun yang bisa mendekatinya.

“Ibu bilang: suamiku kelak harus tampan, gagah, dan bisa mencukupi segala kebutuhanku dengan layak,” kata Kalia, suatu senja ketika ngobrol dengan sahabatnya di tepi sungai. “Dan aku tak bisa melihat itu pada pemuda-pemuda di desa ini, Nel.”

Nel nyengir. Pemuda gempal berambut hitam dan bermata biru itu memang selalu nyengir kalau ngobrol dengan Kalia—seakan semua tunggakan hutangnya lenyap seketika.

Nel berdehem, “kau sudah menghabiskan dua tangkap roti, Kal,” katanya. “Masih mau lagi?”

“Ayolah, setangkap lagi tak masalah. Aku tak makan lagi sehabis ini.”

Sejenak mereka saling pandang.

Pipi Kalia merona. “Oh! Tatapan itu! Janganlah kau suka padaku, Nel,” katanya serius. “Cuma pemuda hebat yang pantas memiliki perhiasan terindah di dunia.”

Nel meringis. Dengan murung dia menggigiti kuku jemarinya. Kalia tidak salah, memang begitulah seharusnya. Perempuan hebat mendapatkan pemuda hebat. Adil kan?

Kalia tiba-tiba tersenyum. “Tapi kau pun punya harapan untuk menjadi pemuda hebat, Nel. Lima tahun, tepat umurku 25. Aku beri kau waktu lima tahun untuk membuktikan dirimu padaku. Jadilah pemuda hebat, Nel, dan nikahi aku kelak.”

Nel tertegun, “kau serius?”

“Iya! Aku akan menunggumu. Eh, seorang gadis Naira pantang ingkar terhadap laki-laki yang diharapkannya. Kau tahu itu, kan? Atau keburukan akan menimpanya!”

Nel tertawa. Dia mengangguk mantap dan keceriaan tersirat di wajahnya. Lalu Kalia bercerita tentang Tupai Merah yang ternyata bisa menyemburkan api; Bunga Jalaki yang ternyata bisa membuat orang pingsan selama sebulan; Orang-orang di Bandas yang doyan mengunyah Sirih Hitam untuk memperpanjang umur mereka; sampai tentang Penyihir di Malak yang gemar menculik anak-anak untuk disembelih demi memperkuat ilmu sihir mereka.

Yeah, begitulah Kalia, dia selalu tertarik akan banyak hal.

Sebulan kemudian, Nel pamit pada Kalia. Dia memutuskan mengembara mencari jati diri. Dia ingin belajar menjadi orang hebat. Supaya dia bisa menikahi Kalia kelak. Nel berkelana ke berbagai negeri, berkenalan dengan beragam manusia, belajar bermacam ilmu pengetahuan, dan melakukan banyak aksi gila yang tak pernah terbayangkan olehnya.

Nel belajar seni tarung Arnis. Dia bergabung dengan pasukan negeri Jorm untuk bantu memerangi para pemberontak yang ingin melakukan kudeta terhadap pemerintahan. Nel belajar Alkimia dan Toksikologi bersama orang-orang suku San. Nel tidak nyaman singgah di Bandas karena penduduknya. Nel ikut berlayar memburu Paus Gana yang menjadi raja di lautan bersama kaum Barbak. Nel singgah di Malak karena rasa penasarannya terhadap penyihir-penyihir disana. Nel belajar matematika dan sejarah dunia di pusat ilmu pengetahuan di Dakkan. Nel ikut berdagang bersama para pedagang Kurka di Terusan Lima.

Menetap di Kurka selama dua tahun, Nel berdagang barang antik. Bersama kenalannya yang cantik, Lena, mereka berburu benda-benda ajaib hingga ke berbagai penjuru dunia. Usaha Nel maju pesat. Pembelinya kebanyakan berasal dari seberang lautan, kaum penyihir dan para kolektor.

Hingga waktunya tiba bagi Nel untuk menjemput Kalia.

Tapi sesampainya di Naira, Nel mendapat tamparan pahit. Setahun lalu, Kalia telah dinikahkan oleh ayahnya yang mengalami kejatuhan kepada seorang penguasa di Bandas!

Tangan Nel terkepal dan dia melotot. “Kau melakukan kesalahan besar dengan menjual putrimu sendiri, Tuan Malo!” serunya, ketika berdebat di ruang tamu rumah Tuan Malo.

“Alah! Kau tahu apa, bocah?! Kami jatuh miskin disini!” tandas pria berpenampilan garang itu. “Kemana saja kau lima tahun terakhir ini? Hah?! Hidup miskin itu tidak enak, tau! Lagipula, kau tidak usah sok peduli terhadap putriku itu. Dia bisa mengurus dirinya sendiri! Dia sukarela kok ikut sama Gama. Jadi bisa dikatakan, aku tidak menjualnya! Gama lebih mampu mencukupi hidupnya daripada kau!”

Nel meninggalkan rumah Tuan Malo dengan perasaan murka.

“Sabar, Nel. Tenangkan dirimu,” kata Lena, sembari menepuk-nepuk pundak Nel ketika mereka kembali ke penginapan untuk makan malam.

Begitulah Lena. Nel tersenyum sedih, meski tersirat jelas di matanya kalau dia sungguh menghargai sikap Lena.

“Apa yang bisa kubantu? Kau ingin aku melakukan apa?” tanya Lena.

“Temani aku ke Bandas, Len,” sahut Nel. “Aku ingin bertemu dengan Kalia. Aku menyimpan cintaku untuknya. Aku rela melakukan apapun, kalau dia memang bersedia kembali kepadaku.”

Lena tertawa, sekilas tampak muram, tapi lalu dia mengangguk ceria.

Mereka mencari tahu semua tentang Gama. Dan banyak teman Nel yang memberitahu kalau setengah tahun terakhir, Gama dikenal sebagai orang jahat yang menindas penduduk Bandas. Gama memonopoli segala usaha perdagangan disana dengan sistem hutang yang mencekik.

Lena cukup resah.

Tapi seekor serigala pantang mundur mengejar buruannya.

Dan Lena tahu betul hal itu.

Maka mereka berangkat ke Bandas. Pengemis ada pada setiap tikungan jalan di Bandas. Semua orang berwajah kaku seolah mereka senyum seminggu sekali. Udaranya panas menggaruk, dipenuhi teriakan para pedagang pasar. Sekelompok orang berpakaian hitam berseliweran dengan pedang di pinggang. Kebanyakan penduduk berjalan dengan kepala tertunduk kayak habis menerima vonis hukuman mati.

Rumah besar di tengah kota tampak di hadapan Datan. Penuh orang-orang berwajah keras mirip tukang pukul! Semua tamu yang datang untuk suatu urusan selalu membungkuk hormat pada setiap orang di rumah itu.

Kecuali Nel dan Lena.

Mereka jalan dengan dada membusung dan dagu terangkat. Tak tersirat gentar dimata Nel, kecuali sorot congkak yang mengancam dan penuh kuasa. Hingga siapapun yang melihat mereka, pasti akan mendapatkan kesan bahwa mereka mampu melakukan apapun dan bahkan ujung pedang di batang leher takkan mampu membuat kening mereka berkerut.

Semua orang berbisik tentang mereka. Bahkan sebagian penjaga mundur selangkah membuka jalan, mengangguk dan tersenyum hormat pada mereka.

“Aku mau bertemu Tuan Gama dan istrinya Nyonya Kalia,” kata Nel sedemikian rupa, pada kepala pelayan.

Kepala pelayan bahkan sungkan menanyakan siapa dan apa keperluan Nel. Di ruangan yang megah berjendela besar. Gama menemui Nel dan Lena tanpa Kalia. Gama adalah pria kerempeng dengan wajah paling memuakkan yang pernah Nel lihat.

“Oh! Kalian jelas datang bukan untuk meminta uang, ya?” tanya Gama.

Dengan gaya angkuh, Nel mengutarakan siapa dirinya dan maksud kedatangannya untuk menemui Kalia. Gama tampak syok. Tapi kemudian dia tertawa hambar, dan memanggil istrinya dengan sebutan tidak pantas. Seorang perempuan jelek dan gempal malu-malu memasuki ruangan.

“Nel?” selidiknya tak percaya. “Oh! Nel! Sayangku! Akhirnya kau kembali untukku! Oh! Kau tampan dan gagah sekarang!”

Ekspresi Nel seperti sedang terjun ke jurang. Dia menggenggam tengan Lena dan mundur ketakutan.

“Aku Kalia! Kenapa wajahmu begitu?”

“Bukan!” raung Nel. “Kau bukan Kalia! Kalia adalah perhiasan terindah di dunia! Tapi kau—”

“Sudah kubilang,” Gama menyela sambil mengunyah Sirih Hitam. “Dia mirip babi air.”

Nel mendelik. Rahangnya mengetat. Dia bergegas ke sudut, kembali sambil menyeret kursi baca. Lena tampak pucat, tapi selangkah pun tak berani bergerak. Gama mengerjap bingung.

Sekejap Nel menggampar Gama.

Kursi kayu hancur. Gama mencicit tersungkur kesakitan.

“KAU! BANGS*T! KAU TAK PANTAS MENGATAINYA SEPERTI ITU!”

Terdengar suara isak tangis.

“Maafkan aku Nel,” Kalia sesenggukan, jatuh berlutut. “Aku tak bisa menahannya. Disini hidupku begitu nyaman. Makanannya enak-enak! Tidurku nyenyak dan semua serba tersedia. Aku—”

“Janjimu! Kau seharusnya bisa menahan diri. Oh! Kau sudah jadi perhiasan rusak sekarang, Kal. Aku sedih melihatmu,” sela Nel. Dia terengah dan menoleh. “Sudahlah. Ayo pergi, Lena.”

Tapi di ambang pintu Nel mendadak berhenti.

“Uh, aku lupa satu hal, Kal. Kau salah. Penyihir di Malak,” kata Nel, membuat kulit wajah Kalia melorot. “Ternyata mereka lebih suka menyembelih perempuan sepertimu daripada anak-anak bermata hijau yang lucu itu.”

Lalu Nel membawa Lena keluar dari rumah sumpek itu.

****

Yuhuu! Makasih udah membaca, teman2 :)

Untuk membaca karya peserta lain: Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group Facebook: Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun