Mohon tunggu...
ramly amin simbolon
ramly amin simbolon Mohon Tunggu... -

Anggota Komisi Informasi Pusat (KIP) periode 2009 - 2013, tinggal di Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Ideologi Jokowi Diragukan

8 Januari 2014   11:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:01 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETIKA sekitar dua dekade lalu (1992) ilmuwan Amerika , Francis Fukuyama, menerbitkan bukunya tentang‘’akhir dari sejarah’’ yang meyakini bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir evolusi ideologi umat manusia, banyak ilmuwan yang terperangah.

Legitimasi demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan yang telah meliputi seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir -- mengatasi ideologi-ideologi lain seperti monarki, fasisme, dan komunisme --sebagaimana diargumenkan Fukuyama, seperti tak terbantahkan.

Banyak orang kemudian yang larut. Tak perlu heran, bila dalam praktik pemerintahan sekarang ini sepertinya semua berjalan ‘’on the track’’ sesuai yang digariskan tesis itu. Masa kini ini adalah masa akhir sejarah, tak ada lagi pertentangan ideologi. Demokrasi liberal yang semakin mempercanggih dirinya menjadi neoliberalisme dipraktikkan begitu saja.Prinsip-prinsip liberty (kebebasan) dan equality (persamaan) pun didewakan tanpa perlu melengkapinya dengan latar belakang. Bahwa kini kesenjangan antara si empunya dengan si tak berpunya semakin melebar, jumlah si miskin semakin bertambah, itu hanya ekses.

Layaknya tesis globalisasi yang memunculkan antithesis lokalisasi, dan kemudian memunculkan tesis baru glokalisasi, demokrasi liberal yang begitu meraja lela di negeri ini kemudian memunculkan kembali impian lama, marhaenisme. Gaung marhaenisme atau soekarnoisme sayup-sayup mulai muncul dari dalam tubuh PDI Perjuangan, mengiringi rasa penasaran banyak anggota masyarakat terkait calon presiden 2014.

Pertanyaan, apakah partai banteng moncong putih itu jadi atau tidak mencapreskan Joko Widodo alias Jokowi tahun depan, ternyata tak lepas dari kecurigaan bahwa Jokowi masih sangat tipis pemahamannya terhadap ajaran Bung Karno. Ternyata, ada kelompokdi tubuh ‘’partai wong cilik’’ itu yang menganggap Jokowi masih lemah dalam ideologi partai,

Pertanyaan kita, bagaimana mengukur tipis tebalnya ideologi seseorang? Lalu, bila karena anggapan ini Jokowi tak jadi dicalonkan PDIP,bukankah mayoritas rakyat yang menginginkan Jokowi akan merasa dirugikan?

Mengutip pernyataan Ketua MPR RI, Sidarto Danusubroto, yang juga kader senior PDI Perjuangan, bobot ideologi seorang kader tentu tak hanya dilihat dari lamanya seseorang terlibat di partai. Dalam hal ini, Jokowi mungkin adalah pendatang baru di PDIP, bahkan – meminjam istilah Ruhut Sitompul – hanya anak kost di partai itu. Tapi apakah bobot ideologinya lebih tipis dibanding kader-kader PDIP yang lebih lama?

Tentu tidak. Artinya, tak ada jaminan bahwa kader lama PDIP – termasuk Megawati sendiri – lebih tebal bobot ideologinya ketimbang Jokowi. Tak bisa disimpulkan bahwa kader lama PDIP lebih memahami marhaenisme / soekarnoisme ketimbang Jokowi.

Sebaliknya, dalam konteks keseharian, rakyat banyak lebih melihat sosok Jokowi sebagai gubernur yang pro orang banyak. Aksi-aksi nyata danlangsung yang dilakukannya melalui apa yang dia sebut sebagai ‘’demokrasi jalanan’’, justru sebagai penyebab Jokowi selalu lebih unggul dari para bakal capres lainnya. Bahkan jauh melebihi Megawati sekali pun.

Demokrasi, apakah itu barlabel liberal, Pancasila atau soekarnoisme, pada akhirnya harus diuji di lapangan. Demokrasi tak hanya di atas kertas atau di atas panggung. Saat ini, rakyat lebih percaya Jokowi karena kebetulan ia sebagai aktor politik yang sedang memiliki panggung sebagai gubernur, dan nalurinya menunjukkan apa-apa yang pantas dia lakukan.

Bagaimana kalau PDI Perjuangan tak (jadi) mencapreskan Jokowi hanya karena penilaian yang ‘’sempit’’ terhadap bobot atau kadar ideologinya? Seperti pernah kita singgung pada tulisan terdahulu, Jokowi kini bukan hanya milik PDIP, tapi juga milik rakyat banyak. Silakan bagi yang mau, berpikir dari sekarang. Undang-undang Pilpres, misalnya, harus digugat, sehingga memungkinkan calon independen maju.  Indonesia butuh pemimpin yang paham ideology dan paham bagaimana mempraktikkannya. Monggo.(***)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun