Mohon tunggu...
Rama Romeo
Rama Romeo Mohon Tunggu... -

memandang dari sudut yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Money

Peran PPNS Selamatkan Harta Negara

26 Desember 2017   21:21 Diperbarui: 7 Januari 2018   18:32 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BPK Kawal Harta Negara, Pernahkah Anda membaca dan menyandingkan satu Undang-undang dengan Undang-undang lain yang berkaitan? Seorang kawan bergelar sarjana hukum pernah berseloroh, "Saya yang sarjana hukum saja pusing melihat banyaknya kerancuan antar-Undang-undang, apalagi yang bukan orang hukum."

Terkait tindak-lanjut hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kiranya bisa mendatangkan multitafsir, khususnya bagi orang awam. Audit investigasi adalah salah satu ragam pemeriksaan kategori Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). PDTT sendiri, merupakan satu jenis pemeriksaan BPK, selain audit keuangan dan audit kinerja.

Pada galibnya, audit investigasi dilakukan bilamana BPK menengarai adanya indikasi atau potensi kekeliruan pengelolaan keuangan negara yang berpotensi menimbulkan kerugian. Dalam bahasa gamblang barangkali bisa dikatakan, audit investigasi dilakukan bilamana ditengarai terjadi praktik korupsi.

Selama ini, BPK cukup serius menangani audit investigasi. Bahkan, BPK sudah membentuk lembaga setingkat eselon satu yang khusus membidangi masalah audit investigasi. Kini, lembaga negara yang dipimpin Ketua Moermahadi Soerja Djanegara itu telah menetapkan bahwa penanganan pemeriksaan investigatif maupun penghitungan kerugian negara, hanya melalui satu pintu, yaitu Auditoriat Utama Investigasi.

Sebelumnya, penanganan audit investigasi dan perhitungan kerugian negara tersebar di masing-masing Auditorat Keuangan Negara (AKN) atau masing-masing Perwakilan (BPK Perwakilan). Hal itu dipandang tidak lagi memadai, di tengah banyaknya permintaan pemeriksaan investigatif dan pengitungan kerugian negara.

Berdasar pemberitaan di laman resmi www.bpk.go.id, menjalng akhir tahun 2017 saja, BPK banyak melakukan audit investigasi dan penghitungan kerugian negara. Di antaranya terkait kasus Pertamina, lahan di Cirebon dan Sumatera Barat, kasus di BPD Papua, dan terakhir di PT Pelindo.

Kasus di Pertamina, menyangkut investasi pada empat emiten senilai Rp 1,5 triliun selama 2013-2015, yang dilakukan secara menyimpang dari peraturan sehingga mengakiabtkan kerugian negara pada Dana Pensiun Pertamina sebesar Rp 599 miliar. Di samping, kasus selisih harga beli kapal Anchor Handling Tug and Supply (AHTS) yang mengakibatkan kerugian keuangan negara pada PT Pertamina Trans Kontinental sebesar USD2.65 juta, ekuivalen Rp35 miliar.

Itu hanya contoh, dari apa yang dikerjakan Auditoriat Utama Investigasi. Tentu masih banyak, dan akan terus bertambah jumlah kasus yang diperiksa. Selain inisiatif dari internal BPK sendiri, informasi awal audit investigatif bisa berasal dari pihak eksternal. Instansi-instansi yang bisa meminta audit investigatif kepada BPK dan langsung ditindaklanjuti Auditorat Utama Investigasi adalah lembaga perwakilan, Aparat Penegak Hukum, dan instansi berwenang lainnya.

Adapun informasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun perorangan dan lainnya, diklasifikasikan sebagai pengaduan masyarakat. Pengaduan masyarakat perlu verifikasi sebelum disampaikan kepada Auditorat Utama Investigasi.

Semester I Tahun 2017 periode 1 Januari sampai 3 Juli 2017, terdapat 21 permintaan audit investigatif dan 118 permintaan Penghitungan Kerugian Negara. Sedangkan tahun 2016 terdapat 30 permintaan pemeriksaan investigatif dan 97 permintaan Penghitungan Kerugian Negara atau dalam tiap semester di tahun 2016 kurang lebih 15 permintaan audit investigatif dan 49 permintaan Penghitungan Kerugian Negara. Sementara, Semester I Tahun 2017, terdapat 5 pemeriksaan investigatif yang sudah selesai dan telah terbit LHP-nya, serta 24 Penghitungan Kerugian Negara yang sudah selesai dan telah terbit LHP-nya.

Seperti dituturkan di atas, hasil pemeriksaan investigatif tadi kemudian, sesuai peraturan-perundang-undangan, diserahkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) dan lembaga yang berwenang lainnya. Garis bawah, harus diletakkan pada kata "lembaga yang berwenang" lainnya.

Di luar Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga berwenang lain di negara ini yang eksis dan diakui keberadaannya adalah PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Keberadaan PPNS ada di lembaga kementerian dan instansi lain.

Pada dasarnya, penyidik yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah penyidik kepolisian maupun pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP: "Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan."

Lebih khusus lagi, penyidik itu sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Merujuk pada kebiasaan yang berlaku selama ini, hasil pemeriksaan investigatif hanya diserahkan kepada APH. Sementara, dari sekian banyak jumlah LHP Audit Investigasi hanya 20 persen yang ditindaklanjuti. Celakannya, tidak semua tuntas alias berakhir di pengadilan. Mayoritas hasil pemeriksaan investigasi lainnya (80 persen), menjadi tumpukan kertas sia-sia. Padahal, di dalamnya berisi data-data, yang bisa dijadikan bukti permulaan penyidikan. Lebih jauh lagi, jika disidik, lebih banyak lagi harta negara terselamatkan.

Jika persoalannya adalah pada keterbatasan aparat penyidik yang ada di Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, mengapa BPK tidak meluaskannya ke PPNS terkait? Bukankah, dengan hasil tindak lanjut yang selama ini terjadi, cukup alasan bagi BPK untuk itu? Tentu, semua dalam bingkai ideal, bahwa yang menjadi concern BPK adalah mengawal harta negara.

Merujuk pada contoh-contoh kasus di atas, seyogianya BPK melimpahkan juga berkas hasil audit investigasi Pertamina ke Kementerian ESDM. Lalu, Kementerian ESDM melimpahkannya ke PPNS untuk menindaklanjuti. Sedangkan kasus di Pelindo, misalnya, tentu akan ditindaklanjuti, jika hasil auditnya diserahkan ke Kementerian Perhubungan, yang oleh kementerian diserahkan kepada PPNS-nya. Bagaimana dengan kasus BPD Papua? Selain APH, tentu bisa diserahkan kepada PPNS di Pemprov Papua atau Kementerian Dalam Negeri.

Ingat, Undang-undang No. 15 tahun 2006 tentang BPK pada Bagian Keempat ihwal Larangan, pasal 28 menyebutkan, "Anggota BPK dilarang: a) memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang; b.) mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi, atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas yang melampaui batas kewenangannya kecuali untuk kepentingan penyidikan yang terkait dengan dugaan adanya tindak pidana."

Lalu, tengok pula Bab IX Ketentuan Pidana, Pasal 36 ayat (1) Anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Sementara, ayat (2) Anggota BPK yang mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi dan/atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas BPK dengan melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Jangan sampai, karena abai terhadap peraturan perundang-undangan, kemudian mengakibatkan sesuatu yang kontraproduktif dengan visi dan misi BPK. Jangan sampai pula terjadi, peluang memperbesar keberhasilan tugas "mengawal harta negara" tidak dilakukan hanya karena tidak memaksimalkan potensi yang ada. Potensi melibatkan peran PPNS dalam ikut mengawal harta negara. ***

======================================================

Rujukan Tulisan: 

www.bpk.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun