Di luar Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga berwenang lain di negara ini yang eksis dan diakui keberadaannya adalah PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Keberadaan PPNS ada di lembaga kementerian dan instansi lain.
Pada dasarnya, penyidik yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah penyidik kepolisian maupun pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP: "Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan."
Lebih khusus lagi, penyidik itu sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
Merujuk pada kebiasaan yang berlaku selama ini, hasil pemeriksaan investigatif hanya diserahkan kepada APH. Sementara, dari sekian banyak jumlah LHP Audit Investigasi hanya 20 persen yang ditindaklanjuti. Celakannya, tidak semua tuntas alias berakhir di pengadilan. Mayoritas hasil pemeriksaan investigasi lainnya (80 persen), menjadi tumpukan kertas sia-sia. Padahal, di dalamnya berisi data-data, yang bisa dijadikan bukti permulaan penyidikan. Lebih jauh lagi, jika disidik, lebih banyak lagi harta negara terselamatkan.
Jika persoalannya adalah pada keterbatasan aparat penyidik yang ada di Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, mengapa BPK tidak meluaskannya ke PPNS terkait? Bukankah, dengan hasil tindak lanjut yang selama ini terjadi, cukup alasan bagi BPK untuk itu? Tentu, semua dalam bingkai ideal, bahwa yang menjadi concern BPK adalah mengawal harta negara.
Merujuk pada contoh-contoh kasus di atas, seyogianya BPK melimpahkan juga berkas hasil audit investigasi Pertamina ke Kementerian ESDM. Lalu, Kementerian ESDM melimpahkannya ke PPNS untuk menindaklanjuti. Sedangkan kasus di Pelindo, misalnya, tentu akan ditindaklanjuti, jika hasil auditnya diserahkan ke Kementerian Perhubungan, yang oleh kementerian diserahkan kepada PPNS-nya. Bagaimana dengan kasus BPD Papua? Selain APH, tentu bisa diserahkan kepada PPNS di Pemprov Papua atau Kementerian Dalam Negeri.
Ingat, Undang-undang No. 15 tahun 2006 tentang BPK pada Bagian Keempat ihwal Larangan, pasal 28 menyebutkan, "Anggota BPK dilarang: a) memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang; b.) mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi, atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas yang melampaui batas kewenangannya kecuali untuk kepentingan penyidikan yang terkait dengan dugaan adanya tindak pidana."
Lalu, tengok pula Bab IX Ketentuan Pidana, Pasal 36 ayat (1) Anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Sementara, ayat (2) Anggota BPK yang mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi dan/atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas BPK dengan melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Jangan sampai, karena abai terhadap peraturan perundang-undangan, kemudian mengakibatkan sesuatu yang kontraproduktif dengan visi dan misi BPK. Jangan sampai pula terjadi, peluang memperbesar keberhasilan tugas "mengawal harta negara" tidak dilakukan hanya karena tidak memaksimalkan potensi yang ada. Potensi melibatkan peran PPNS dalam ikut mengawal harta negara. ***
======================================================