Mohon tunggu...
Rama Romeo
Rama Romeo Mohon Tunggu... -

memandang dari sudut yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

KPK Menuai Badai

7 Februari 2015   00:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:41 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pepatah kuno mengatakan, "siapa menabur angin, menuai badai". Orang Jawa juga punya pepatah yang bermakna sama, "sapa nandur, ngunduh". Dalam "ontran-ontran" KPK vs Polri belakangan, dari sudut mana pun kita memandang, rasanya sah-sah saja. Perbedaan sudut pandang, seyogianya dimaknai sebagai sebuah gelaran persoalan yang terhampar di hadapan kita.

Karenanya, masyarakat boleh dan berhak membela KPK. Dari perspektif mereka, KPK sedang dikebiri. KPK sedang dilumpuhkan. Dengan keluarnya Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) terhadap semua pimpinan KPK, sangat mungkin, pada akhirnya semua pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka. Jika itu terjadi, UU mengatur tentang "non-aktif" sementara dengan persetujuan Presiden.

Merunut sejarahnya, KPK didirikan dengan payung hukum Undang Undang RI No. 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam melaksanakan tugas, KPK berpegang pada lima asas: Kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik, dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.

Setelah lebih dari 12 tahun berkiprah memberantas korupsi, KPK pun mengalami dinamika tersendiri. Sepak-terjangnya pun banyak dipuji masyarakat. Sekalipun, jika kita sandingkan dengan lima asas sebagai pegangan kerja, sejatinya KPK bisa dibilang justru sudah mulai kehilangan pegangan. Dari asas "kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas", tidak semua berhasil dilaksanakan,

Pada sisi "kepastian hukum", ini sangat menarik. KPK menjelma menjadi institusi pemberantas korupsi yang tidak mengenal SP3 (Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan). Siapa pun yang masuk bidikan KPK, hampir bisa dikatakan 100 persen, pasti masuk penjara. Persoalannya, tidak sedikit kasus yang kemudian terkatung-katung, bahkan mungkin nyaris terlupakan.

Kita masih ingat kasus simulator SIM yang kemudian menjebloskan Kakorlantas Mabes Polri, Irjen Pol Djoko Susilo? Buntut kasus ini, juga menyeret direksi PT Jasa Marga yang memberi upeti rata-rata Rp50 juta per bulan kepada Joko. Akan tetapi, hingga kini, lebih tiga tahun berlalu, masih juga belum ditangani.

Kemudian, masih ingatkan kasus korupsi dana haji tahun 2012-2013? KPK menetapkan Menteri Surya Dharma Ali sebagai tersangka. Akan tetapi, kasusnya tak kunjung diselesaikan. Bahkan, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas tahun 2013 pernah melempar statemen, bahwa kasus itu tidak hanya melibatkan Menteri SDA, tetapi juga para pejabat lain. Hal ini pun berhenti pada tataran statemen tanpa tindak-lanjut.

Yang juga masih hangat dalam ingatan, kasus penetapan Ketua BPK Hadi Poernomo, bertepatan hari ulang tahun yang sekaligus pengakhiran masa bhaktinya sebagai Ketua BPK, 21 April 2014. Kini, lebih 10 bulan kemudian, belum juga ditindaklanjuti.

Penetapan status tersangka tanpa didahului Sprindik, adalah tindakan kesewenang-wenangan KPK. Lebih dholim lagi, manakala setelah ditetapkan sebagai tersangka, tak kunjung titangani, dengan dalih klasik, "kasus yang masuk menumpuk". Lantas, di mana asas "kepastian hukum" itu menjadi pegangan KPK dalam memberantas korupsi di Tanah Air?

Sadar-tidak-sadar, tindakan pendzholiman terhadap para pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi tidak segera dinaikkan kasusnya ke tahap penyidikan dan penuntutan, adalah perbuatan sewenang-wenang, bahkan bisa saja dinilai merampas hak asasi tersangka itu sendiri. Mereka seolah-olah sudah "divonis salah", tetapi tanpa proses pengadilan. Betapa buruk dampak yang ditimpakan kepada --sebut saja-- Suryadharma Ali dan Hadi Poernomo.

Alih-alih menangani banyaknya kasus yang menumpuk, saat ini, KPK justru tengah diterjang badai "serangan" Polri yang menimpa seluruh anggotanya. Tanpa perlu konfirmasi, hampir bisa dipastikan, segenap rakyat Indonesia menghendaki "perang" KPK vs Polri segera berakhir. Entah bagaimana cara Presiden Jokowi menyelesaikannya.

Dengan segera selesainya persoalan di antara kedua institusi penegak hukum itu, diharapkan kedua institusi dan juga lembaga penegak hukum lain, bisa lebih berkaca diri. Bisa lebih serius dalam menegakkan hukum. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun