Elite politik tahu, kemudian rakyat kebanyakan pun mulai tahu, bahwa kasus-kasus itu bisa menyeret nama-nama besar seperti Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, Sri Mulyani, Edhi "Ibas" Baskoro, dan lain-lain. Tidak heran jika elite yang merasa tahu persoalan, tetapi tidak mendapat perlakukan "adil" pun berkicau. Alhasil, nyaringlah kicauan Anas Urbaningrum, Antasari Azhar, dan lain-lain.
Publik pun bisa melihat, manakala KPK sudah mulai "bermain" di lingkaran "dewa-dewa", maka hampir pasti goyangan itu terjadi. Catat saja ketika Antasari Azhar getol membongkar kasus BLBI, dan "berani" menetapkan besan SBY yang bernama Aulia Pohan sebagai tersangka, tak lama kemudian dia dikasuskan dalam drama pembunuhan dengan kedok cinta-segi-tiga yang aneh. Berbagai rekayasa persidangan pun terjadi, dan berujung pada meringkuknya Antasari di penjara, dan menguaplah kasus BLBI tadi.
Kemudian saat petinggi Polro Susno Duadji dibekuk KPK, tak lama kemudian muncul istilah "cicak versus buaya". Para petinggi KPK, di antaranya Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto diperiksa kepolisian. Tuduhannya, mereka menyalahgunakan kewenangan KPK. Meski tidak sama persis, maka kejadian itu pun berulang. Dengan penetapan Budi Gunawan sang calon Kapolri menjadi tersangka, tak lama kemudian, Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka, menyusul kemudian Bareskrim Polri mengeluarkan Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) kepada semua pimpinan KPK.
Sampai di sini, apakah sudah tergambar "kematian" yang menghantui KPK?
Mestinya sudah. Sebab, secara konstitusional, KPK lahir dengan instrumen UU, yang menurut hierarki hukum, berada di bawah UUD. Artinya, dia bisa saja sewaktu-waktu dicabut dengan dalih "tidak diatur dalam konstisusi negara". Atau, kalau toh bukan pencabutan nyawa, setidaknya, sangat mungkin ujungnya berupa pelemahan kekuatan.
Kemudian dengan adanya "counter attact" dari Polri, bukan tidak mungkin (jika tidak diintervensi Presiden), KPK akan lumpuh dalam waktu dekat. Dengan Sprindik tadi, sudah dapat dipastikan, seluruh pimpinan KPK akan berhadapan dengan persoalan hukum di mata Polri. Jika kemudian kesemuanya ditetapkan sebagai tersangka, maka UU mengatur tentang "non-aktif". Apa yang bisa kita bayangkan, lembaga sebesar KPK dengan puluhan bahkan ratusan ribu tumpukan berkas kasus korupsi, tiba-tiba berhenti karena lokomotifnya tak berfungsi.
Sejarah sedang mencatat takdir KPK. Takdir maut, atau sebaliknya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H