Mohon tunggu...
Rama Romeo
Rama Romeo Mohon Tunggu... -

memandang dari sudut yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Money

Berbisnislah Selagi Muda (1)

21 Februari 2015   19:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya, saya tidak suka pelajaran ekonomi. Matematika juga. Ketika akhirnya menjari kuli pun, jauh-jauh dari masalah rumit yang berhubungan dengan akuntansi, matematika, dan sejenisnya. Lantas, mengapa di rak buku berderet buku-buku manajemen, buku-buku marketing, buku-buku yang tidak kusuka? Inilah yang memicu tulisan ini.

Saya punya seorang kakak, tinggal berlainan kota, hingga suatu hari kami bersurat-suratan. Benar, ini kejadian ketika gadget memang belum ada di Indonesia (ah, mungkin sudah ada, tetapi gadget satelit yang hanya dimiliki satu dua orang, plus instansi negara).

Dalam salah satu bagian surat itu, si kakak ini memberi perintah kepada adiknya, "Pergilah ke toko buku, cari, dan belilah buku berjudul No Pain No Gain karangan Johannes Lim. Bacalah. Mungkin bisa memperkaya sudut pandangmu tentang hidup dan kehidupan, sekaligus mungkin bagus untuk masa depan."

Kesimpulannya, ketika itu si kakak ini mengira aku, adiknya, belum punya masa depan (yang jelas)..... Karena derajat perintah kakak hanya lebih rendah sedikit dari perintah orangtua, maka saya indahkan juga. Buku itu kutemukan di Gramedia Matraman, Jakarta. Lupa berapa harganya, tapi kubeli juga (kukira dengan agak berat hati, mengingat saat itu pastilah setiap rupiah dikalkulasi matang pengeluarannya).

Hingga hari ini, momen itu masih kuingat. Dan rasanya tidak akan bisa saya lupakan. Apa sebab? Karena No Pain No Gain memang benar-benar mengubah banyak hal. Terutama sekali adalah pada sikap diri menyikapi hidup dan kehidupan. Hampir 100 persen isi buku itu saya sepakati. Saya katakan hampir, karena secara subjektif memang ada beberapa hal yang tidak saya sepakati. Pendek kalimat, buku itu mengubah banyak hal pada diri saya.

Sekian tahun kemudian, ketika kembali berjalan-jalan di toko buku, mata ini tertumbuk pada satu buku berjudul "Just Do It". Whelhadalahhhh... ternyata, penulisnya Johannes Lim (juga). Penulis favorit. Jadi, kubeli juga dengan senang (pastinya karena ada uang).

Tidak pakai lama, buku itu segera ludes terbaca. Bahkan dalam seminggu, sudah dua kali baca. Salah satu kutipan yang kuingat betul dalam buku itu adalah, "Uang adalah duplikat kebahagiaan yang paling mirip". Lama sekali saya ber-"kontroversi-hati" menyoal kalimat tadi. Satu sisi pro, sisi yang lain kontra. Ending-nya sih, saya pro dengan kalimat tadi. Percayalah, setelah melalui perdebatan seru antara dua opini yang ada dalam satu kepala dan satu bongkah-hati. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun