Edwin Sutherland adalah kriminolog Amerika yang lahir pada 13 Agustus 1883 di Gibbon, Nebraska, dan meninggal pada 11 Oktober 1950 di Bloomington, Indiana. Dia terkenal karena membangun teori asosiasi diferensial kejahatan. Penghargaan tahunan terbesar dari American Society of Criminology diberikan kepadanya sebagai pengakuan atas pengaruh besarnya. Pada tahun 1913, Sutherland mendapatkan gelar Ph.D. dari Universitas Chicago dengan dua jurusan utama: sosiologi dan ekonomi politik. Setelah mengajar di universitas lain seperti Universitas Illinois dan Universitas Chicago, ia beralih ke Universitas Indiana pada tahun 1935 dan tetap di sana hingga meninggal dunia.
Pendekatan Sutherland berkembang dari buku Kriminalologi (1924), yang dianggap sebagai karya paling penting dalam bidang ini. Sutherland berpendapat bahwa pembelajaran normal melalui interaksi sosial menyebabkan perilaku kriminal, bertentangan dengan penjelasan biologis dan psikologis yang lebih umum. Ia menyatakan bahwa perilaku seseorang dipelajari oleh teman sebayanya, dan jika teman sebayanya nakal, ia akan menganggap perilaku tersebut normal. Pembelajaran normal terjadi melalui komunikasi verbal dan nonverbal dan membantu menentukan apakah sikap yang diinternalisasikan seseorang mendukung atau tidak pelanggaran hukum. Proses pembelajaran normal juga membantu individu yang cenderung melanggar hukum mengembangkan motivasi dan rasionalisasi untuk terlibat dalam aktivitas kriminal, dengan menyatakan bahwa individu melakukan tindakan kriminal ketika ada kelebihan sikap yang mendukung pelanggaran hukum, yang didefinisikan oleh bagaimana sikap-sikap ini berubah dalam bentuk dan intensitas sepanjang hidup seorang penjahat. Untuk menyelidiki kejahatan kerah putih, istilah yang dianggap sebagai penciptaannya, dia bertanya-tanya mengapa beberapa perilaku normal yang dia pelajari dianggap sebagai kriminal sementara yang lain dianggap legal. Setelah itu, sejumlah kriminolog memperbaiki dan menyempurnakan argumen Sutherland mengenai konten dan prosedur, tetapi tetap menekankan pada pembelajaran konvensional.
Kejahatan kerah putih adalah kejahatan yang dilakukan oleh individu yang mengeksploitasi kekuatan sosial, ekonomi, atau teknologi untuk keuntungan pribadi atau perusahaan mereka. Istilah ini diciptakan oleh kriminolog Amerika Edwin Sutherland pada tahun 1939 dan menarik perhatian pada pakaian khas para pelaku, yang biasanya adalah politisi, pebisnis, dan profesional tingkat tinggi. Namun, sejak Sutherland muncul, kejahatan seperti itu tidak lagi hanya dilakukan oleh kelompok ini. Selain itu, karena kemajuan dalam perdagangan dan teknologi, cakupan kejahatan kerah putih telah diperluas hingga mencakup kejahatan dunia maya (juga dikenal sebagai penipuan komputer), penipuan layanan kesehatan, dan kejahatan kekayaan intelektual. Selain itu, kejahatan tradisional seperti penggelapan, penyuapan, konspirasi, penghalangan keadilan, sumpah palsu, pencucian uang, pelanggaran antimonopoli, pelanggaran perpajakan, dan pelanggaran peraturan juga telah diperluas.
Meskipun kejahatan kerah putih sangat beragam, sebagian besar memiliki ciri-ciri umum. Pertama, kejahatan kerah putih melibatkan penipuan dan penyembunyian daripada menggunakan kekerasan atau kekerasan untuk mendapatkan uang, properti, atau layanan secara tidak sah. Misalnya, seorang terdakwa yang dinyatakan bersalah karena membuat pernyataan palsu untuk mendapatkan kontrak pemerintah dianggap sebagai penjahat kerah putih.
Selain itu, kejahatan kerah putih umumnya mencakup penyalahgunaan posisi, kepercayaan, dan kekuasaan. Pejabat publik yang meminta dan menerima suap atau pejabat perusahaan yang menetapkan harga untuk menyingkirkan pesaing dari perusahaan terlibat dalam penyalahgunaan posisi mereka. Selain itu, kejahatan kerah putih seringkali lebih sulit ditemukan daripada jenis kejahatan lainnya.
Pemberian sesuatu yang berharga sebagai imbalan atas penggunaan kekuasaan oleh seorang pejabat disebut penyuapan.Ancaman untuk memperoleh keuntungan dari pejabat publik atau perorangan disebut pemerasan.Jenis kejahatan kerah putih yang relatif baru, pencucian uang, digunakan oleh pelaku yang ingin menyembunyikan uang yang mereka peroleh dari kegiatan ilegal. Pemasok barang dan uang palsu serta pengedar narkoba akan membuat rencana pencucian uang untuk menyembunyikan bagaimana mereka mendapatkan uang.
Pada awalnya, white collar crime terkait dengan individu yang menduduki posisi penting, berpakaian rapi dalam setelan dengan kemeja berkerah putih, di mana "kerah putih" melambangkan status profesional mereka. Sutherland berpendapat bahwa banyak ahli kriminologi gagal memahami sifat kejahatan, karena mereka mengabaikan kenyataan bahwa pelanggaran terhadap kepercayaan publik dan perusahaan oleh mereka yang berada di posisi berwenang memiliki tingkat kejahatan yang sama pentingnya dengan tindakan predator yang dilakukan oleh individu dari status sosial yang lebih rendah. Selain itu, Sutherland berargumen bahwa pelaku kejahatan whitecollar jauh lebih kecil kemungkinannya untuk diselidiki, ditangkap, atau dituntut dibandingkan dengan jenis pelanggar lainnya. Wawasan ini menggambarkan tantangan dalam menangani dan menghukum kejahatan white-collar dalam kerangka hukum. Â Pada masa Sutherland, ketika dihukum, pelaku kejahatan kerah putih memiliki kemungkinan yang jauh lebih kecil untuk menerima hukuman penjara aktif dibandingkan dengan "penjahat biasa." Penghormatan yang diberikan kepada pelaku kejahatan kerah putih, seperti yang dikemukakan oleh Sutherland, terutama disebabkan oleh status sosial mereka. Banyak dari mereka yang terlibat dalam kejahatan kerah putih dihormati dalam komunitas mereka dan bahkan terlibat dalam urusan nasional. Herbert Edelhertz mengartikan white collar crime sebagai "tindakan ilegal atau serangkaian tindakan ilegal yang dilakukan secara nonfisik dengan menggunakan penyembunyian atau tipu daya, bertujuan untuk memperoleh uang atau properti, menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau properti, atau meraih keuntungan bisnis pribadi."
Apa saja gagasan utama Edwin Sutherland dalam teori kejahatan kerah putih yang relevan dengan fenomena korupsi di Indonesia?
Gagasan utama Edwin Sutherland dalam teori kejahatan kerah putih yang relevan dengan fenomena korupsi di Indonesia:Â
1. Kepercayaan dan Penyalahgunaan Posisi
Edwin Sutherland menyoroti bahwa kejahatan kerah putih sering dilakukan oleh individu yang memiliki posisi kepercayaan tinggi dalam organisasi atau masyarakat. Mereka menggunakan posisi ini untuk mengeksploitasi kepercayaan demi keuntungan pribadi. Di Indonesia, fenomena ini tercermin dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, pegawai negeri, dan pemimpin institusi swasta. Misalnya, kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa sering kali terjadi karena pejabat yang bertanggung jawab menggunakan wewenangnya untuk mendapatkan komisi atau fee ilegal dari kontraktor. Penyalahgunaan posisi ini menandakan adanya ketimpangan sistemik dalam pengawasan dan akuntabilitas, di mana pengawasan yang lemah membuka peluang besar bagi individu dengan posisi tinggi untuk bertindak koruptif tanpa konsekuensi yang signifikan.
2. Keuntungan yang Tidak Bersifat Kekerasan
Salah satu ciri utama kejahatan kerah putih adalah tidak adanya kekerasan fisik. Pelaku lebih mengandalkan manipulasi, penipuan, dan penyalahgunaan kepercayaan untuk mencapai tujuan mereka. Di Indonesia, modus operandi seperti penggelapan dana, manipulasi anggaran, dan penerimaan suap menjadi bentuk umum korupsi. Misalnya, dalam kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos), pejabat pemerintah menggunakan jabatan mereka untuk memotong dana yang seharusnya dialokasikan untuk masyarakat miskin, tanpa adanya kekerasan fisik. Meskipun tidak melibatkan kekerasan langsung, dampak dari tindakan ini jauh lebih destruktif karena menyebabkan kerugian finansial besar bagi negara dan memengaruhi kehidupan masyarakat secara luas, terutama mereka yang bergantung pada program bantuan tersebut..Â
3. Normalisasi Kejahatan oleh Pelaku Berstatus Tinggi
Sutherland mengemukakan bahwa pelaku kejahatan kerah putih sering tidak melihat tindakan mereka sebagai kejahatan. Mereka menganggapnya sebagai bagian dari pekerjaan atau bahkan sebagai norma sosial yang diterima. Di Indonesia, budaya patronase dan nepotisme sering kali menjadi alasan mengapa korupsi dianggap "biasa saja". Praktik suap dan gratifikasi sering dilihat sebagai "uang pelicin" atau sekadar bentuk penghargaan. Misalnya, dalam birokrasi, pemberian uang tambahan untuk mempercepat layanan administratif telah menjadi praktik umum yang sulit diberantas. Persepsi ini menunjukkan bagaimana pelaku korupsi, terutama yang berasal dari kelas sosial tinggi, merasa bahwa tindakan mereka tidak melanggar hukum melainkan bagian dari sistem yang telah ada.
4. Dampak Sistemik
Kejahatan kerah putih, termasuk korupsi, memiliki dampak yang jauh melampaui keuntungan pribadi pelaku. Di Indonesia, korupsi memberikan beban besar pada perekonomian negara. Laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sering menunjukkan bagaimana dana publik hilang akibat korupsi, yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, korupsi memperburuk ketimpangan sosial, di mana akses terhadap sumber daya menjadi terbatas bagi masyarakat miskin. Sementara itu, individu dengan kekuasaan terus memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri. Korupsi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah, yang pada akhirnya mengurangi legitimasi pemerintah dan melemahkan demokrasi.
5. Pelatihan dan Informasi Terkait Kriminal
Sutherland dalam teorinya tentang asosiasi diferensial menyatakan bahwa perilaku kriminal tidak muncul secara spontan, melainkan dipelajari melalui interaksi sosial. Dalam kasus korupsi di Indonesia, hal ini terlihat dari jaringan korupsi yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pejabat pemerintah, pengusaha, hingga pegawai swasta. Korupsi sering kali diajarkan secara tidak langsung melalui proses sosialisasi dalam lingkungan kerja atau kelompok tertentu. Misalnya, seorang pejabat muda mungkin diajari oleh seniornya bagaimana cara mendapatkan keuntungan ilegal tanpa terdeteksi. Pola ini menciptakan rantai korupsi yang sulit diputus, karena generasi berikutnya terus mengadopsi dan menyempurnakan metode korupsi yang sama.
Mengapa pendekatan Sutherland dianggap penting untuk memahami akar penyebab korupsi di Indonesia?
Pendekatan Edwin Sutherland dianggap penting untuk memahami akar penyebab korupsi di Indonesia karena ia menyediakan kerangka teoretis yang memungkinkan kita melihat korupsi sebagai fenomena sosial yang kompleks, bukan sekadar tindakan individu. Dibawah ini beberapa alasan mengapa pendekatan ini relevan
1. Penekanan pada Perilaku yang Dipelajari
Sutherland menggunakan teori asosiasi diferensial untuk mengatakan bahwa interaksi sosial dapat digunakan untuk mempelajari perilaku kriminal, termasuk kejahatan kerah putih. Budaya kerja yang mengizinkan korupsi adalah penyebab banyak kasus korupsi di Indonesia. Pejabat baru sering "belajar" korupsi dari tempat kerja mereka, di mana praktik seperti suap, gratifikasi, atau penggelapan dianggap normal. Teori ini berguna dalam menjelaskan bagaimana korupsi menjadi praktik sistemik di berbagai lembaga.
2. Fokus pada Pelaku Korupsi Berstatus Tinggi
Korupsi di Indonesia sering melibatkan politisi, pejabat tinggi, atau pelaku ekonomi yang memiliki status sosial dan kekuatan yang signifikan. Pendekatan Sutherland menunjukkan bagaimana orang-orang berkuasa memanfaatkan posisi mereka untuk melakukan kejahatan tanpa kekerasan seperti suap, penggelapan dan manipulasi anggaran. Ini meningkatkan pemahaman bahwa korupsi bukan hanya masalah individu yang memiliki "moral buruk"; itu juga terkait dengan akses ke kekuasaan dan kesempatan untuk menyalahgunakannya.
3. Pendekatan Sutherland untuk Normalisasi dan Legitimasi Tindakan Kriminal menunjukkan bahwa pelaku kejahatan kerah putih seringkali tidak merasa bersalah atas tindakan mereka. Banyak pelaku korupsi di Indonesia menganggap tindakan mereka sebagai bagian dari "tradisi" atau "mekanisme kerja" yang umum. Metode ini membantu kita memahami bagaimana korupsi di Indonesia seringkali dinormalisasi oleh budaya gratifikasi, nepotisme, dan patronase, yang membuatnya sulit untuk dihilangkan.
Bagaimana teori Edwin Sutherland dapat diterapkan dalam menganalisis kasus-kasus korupsi di Indonesia?
A. Memahami Konteks dan Motivasi di Balik Perilaku Kriminal
Setiap tindakan kriminal, termasuk korupsi, tidak terjadi secara spontan tetapi merupakan hasil dari proses yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Dalam teori asosiasi diferensial Sutherland, perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi di balik korupsi sering kali berasal dari nilai, norma, atau kebiasaan yang berlaku di lingkungan sosial pelaku. Di Indonesia, banyak pelaku korupsi memiliki motivasi untuk mempertahankan gaya hidup mewah, memperluas jaringan kekuasaan, atau memenuhi tekanan sosial di lingkungan mereka. Contohnya, pejabat publik yang merasa perlu untuk menunjukkan kesuksesan melalui kepemilikan properti mewah atau kendaraan mahal sering kali terjebak dalam korupsi karena merasa tekanan sosial untuk tampil sesuai status mereka. Motivasi ini juga sering diperkuat oleh budaya kerja di lingkungan tertentu. Selain itu, budaya kerja di lingkungan tertentu juga memperkuat praktik korupsi. Dalam beberapa organisasi, manipulasi anggaran atau penerimaan gratifikasi dianggap sebagai "tradisi tidak resmi" yang harus diikuti untuk diterima dalam kelompok kerja. Sebagai contoh, pejabat baru di pemerintahan sering kali merasa tertekan untuk mengikuti praktik-praktik ini agar dianggap sebagai bagian dari sistem. Tekanan semacam ini menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus.
Pemahaman tentang motivasi di balik korupsi menunjukkan bahwa upaya pemberantasan tidak cukup hanya fokus pada hukuman, tetapi juga harus mengatasi akar penyebabnya. Reformasi budaya kerja, pemberian insentif bagi perilaku integritas, dan kampanye publik yang mendorong nilai-nilai antikorupsi adalah langkah penting untuk mengubah cara pandang individu terhadap korupsi.
B. Memperhatikan Peran Lingkungan Bisnis dan Profesional dalam Mendorong atau Memfasilitasi Kejahatan
Lingkungan bisnis dan profesional memainkan peran penting dalam memfasilitasi atau mencegah peluang korupsi. Dalam banyak kasus di Indonesia, hubungan antara pejabat publik dan sektor swasta menciptakan ladang subur untuk praktik korupsi. Salah satu bentuk paling umum adalah pemberian suap oleh pengusaha kepada pejabat pemerintah untuk memenangkan proyek atau mendapatkan izin usaha.
Kondisi ini diperburuk oleh kelemahan sistem pengawasan dan transparansi. Sebagai contoh, proses pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan memberikan peluang bagi pejabat untuk memanipulasi tender demi keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam banyak kasus, harga proyek digelembungkan, kualitas barang yang disediakan tidak sesuai standar, atau proyek dikerjakan oleh kontraktor yang tidak kompeten karena memenangkan proyek melalui jalur tidak sah.
Namun, lingkungan profesional yang menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dapat secara signifikan mengurangi peluang korupsi. Di Indonesia, penerapan sistem digital seperti e-procurement telah membantu meminimalkan manipulasi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Sistem ini memungkinkan pengawasan yang lebih baik dan mengurangi interaksi langsung antara pihak swasta dan pejabat publik, yang sering kali menjadi sumber korupsi.
Meskipun demikian, penerapan teknologi saja tidak cukup jika tidak diikuti dengan perubahan sikap dan budaya di lingkungan kerja. Banyak pihak yang diuntungkan oleh sistem manual sering kali menolak perubahan menuju transparansi. Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang lebih besar dari semua pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, untuk menciptakan lingkungan profesional yang mendukung integritas.
C. Menekankan Perlunya Sanksi yang Tepat sebagai Sarana Efektif untuk Memberikan Efek Jera
Efek jera adalah salah satu tujuan utama dari sistem peradilan pidana. Namun, dalam banyak kasus korupsi, pelaku sering kali menerima hukuman yang ringan, bahkan ketika kejahatan mereka melibatkan kerugian negara yang besar. Kondisi ini menciptakan persepsi bahwa korupsi adalah kejahatan yang "tidak terlalu berisiko" dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh pelaku.
Dalam teori Sutherland, pelaku kejahatan kerah putih sering kali tidak merasa bersalah atas tindakan mereka. Mereka cenderung melihat korupsi sebagai bagian dari sistem atau prosedur normal yang harus diikuti. Sikap ini diperkuat oleh lemahnya penegakan hukum dan hukuman yang tidak konsisten. Di Indonesia, banyak pelaku korupsi yang berstatus tinggi, seperti pejabat pemerintah atau pengusaha besar, hanya menerima hukuman ringan atau bahkan bebas setelah menjalani masa hukuman singkat.
Untuk menciptakan efek jera yang nyata, sanksi terhadap pelaku korupsi harus bersifat tegas, adil, dan konsisten. Selain hukuman penjara, sanksi harus mencakup pengembalian kerugian negara, pembekuan aset yang diperoleh melalui korupsi, dan larangan bagi pelaku untuk menduduki jabatan publik di masa depan. Hukuman yang tegas tidak hanya penting untuk menghukum pelaku tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Dalam beberapa tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mencoba memperkuat efek jera melalui penyitaan aset dan transparansi proses hukum. Namun, upaya ini sering kali terhambat oleh campur tangan politik atau kurangnya dukungan dari institusi terkait. Oleh karena itu, reformasi menyeluruh dalam sistem hukum dan pengawasan diperlukan untuk memastikan bahwa pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang setimpal dengan dampak kejahatan mereka.
D. Mengidentifikasi Kelompok Sosial yang Terlibat dalam Jaringan dan Hubungan yang Memfasilitasi Tindakan Koruptif
Korupsi bukan hanya tindakan individu, melainkan sering kali melibatkan jaringan sosial yang kompleks. Jaringan ini dapat mencakup pejabat publik, pengusaha, dan bahkan aparat penegak hukum. Dalam teori Sutherland, interaksi sosial adalah faktor penting dalam membentuk perilaku kriminal, termasuk korupsi. Dalam konteks ini, jaringan sosial berfungsi sebagai mekanisme untuk memfasilitasi dan melindungi tindakan koruptif.
Di Indonesia, jaringan korupsi sering kali terbentuk melalui hubungan personal, seperti keluarga, teman, atau rekan kerja. Hubungan ini menciptakan rasa saling percaya di antara anggota jaringan, yang memungkinkan mereka bekerja sama untuk melakukan tindakan korupsi tanpa takut terungkap. Sebagai contoh, dalam banyak kasus korupsi besar, pelaku utama sering kali dibantu oleh "pemain pendukung" yang bertugas untuk menutupi jejak atau memastikan bahwa tindakan mereka tidak terdeteksi oleh otoritas.
Untuk memutus jaringan ini, diperlukan pendekatan yang mencakup penguatan sistem pelaporan anonim, perlindungan saksi, dan penerapan teknologi untuk memantau interaksi yang mencurigakan. Sistem pelaporan anonim, misalnya, memungkinkan individu untuk melaporkan tindakan korupsi tanpa takut akan pembalasan. Selain itu, perlindungan saksi dapat mendorong lebih banyak orang untuk memberikan informasi tentang jaringan korupsi yang mereka ketahui.
Edukasi publik juga memiliki peran penting dalam memutus jaringan korupsi. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi, lebih banyak individu dapat terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. Kampanye antikorupsi yang efektif dapat membantu masyarakat mengenali tanda-tanda korupsi di lingkungan mereka dan melaporkannya kepada otoritas yang berwenang.
Di Indonesia, upaya pemberantasan korupsi telah menunjukkan beberapa kemajuan, seperti penerapan teknologi digital dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi. Namun, tantangan besar masih ada, termasuk campur tangan politik, resistensi terhadap perubahan, dan lemahnya sistem pengawasan.
Dengan komitmen jangka panjang dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Indonesia dapat menciptakan sistem yang lebih transparan, adil, dan berintegritas. Upaya ini tidak hanya penting untuk mencegah kerugian negara tetapi juga untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
https://www.britannica.com/topic/white-collar-crime/Cost-to-society
Sutherland, E. H. (1949). White Collar Crime.
Sutherland, E. H. (1939). "The White Collar Criminal"
Rahardjo, S. (2012). Hukum dan Perilaku: Kajian Sosiologi Hukum.
Rahman, A dan Ira Wahyu Ningsih. SEJARAH DAN BENTUK WHITE COLLAR CRIME
Waluyo, B. (2014). OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA. Jurnal Yuridis, 169-182.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H