Korupsi adalah masalah serius yang menghambat kemajuan bangsa Indonesia, merusak perekonomian negara, dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi praktik ini, termasuk pendekatan hukum dan peraturan yang ketat, namun hasil yang dicapai sering kali kurang signifikan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih mendalam, yaitu pendekatan moral dan spiritual, yang tidak hanya menyasar perilaku koruptif secara permukaan, tetapi juga mengubah pandangan dan sikap individu terhadap nilai-nilai kehidupan. Salah satu tokoh yang menawarkan perspektif unik dalam hal ini adalah Ki Ageng Suryomentaram, seorang filsuf Jawa yang mengajarkan pentingnya introspeksi diri, pengendalian hawa nafsu, dan kebatinan sebagai landasan moralitas.
Ki Ageng Suryomentaram adalah salah satu tokoh spiritual yang menekankan pentingnya kehidupan batin dalam mencapai keseimbangan hidup. Menurutnya, kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai hanya melalui pencapaian duniawi, seperti kekayaan atau kekuasaan. Ia percaya bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan melalui pemahaman diri, pengendalian hawa nafsu, dan kedalaman spiritualitas. Hal ini sangat relevan dalam konteks korupsi, di mana individu yang terjebak dalam perilaku koruptif sering kali dipengaruhi oleh keinginan untuk memperoleh kekayaan dan kekuasaan secara tidak sah.
Ajaran Ki Ageng Suryomentaram menekankan pada pentingnya pengendalian diri, introspeksi, dan kesadaran batin. Dalam pandangannya, seseorang yang memiliki kesadaran diri yang tinggi akan mampu menghindari godaan-godaan duniawi yang dapat membawa mereka ke dalam perilaku yang tidak etis, seperti korupsi. Oleh karena itu, ajarannya tidak hanya berfokus pada aspek moralitas, tetapi juga pada transformasi diri melalui peningkatan kualitas batin.
Ajaran Ki Ageng Suryomentaram memberikan dasar yang kuat dalam membangun moralitas individu dan kolektif. Dalam konteks pencegahan korupsi, kebatinan atau kehidupan batin menjadi kunci utama. Seorang individu yang memiliki kedalaman batin yang tinggi akan mampu menahan diri dari godaan untuk mengambil keuntungan pribadi dengan cara yang salah. Ajaran ini menekankan pentingnya introspeksi diri, pengendalian hawa nafsu, dan ketulusan dalam setiap tindakan.
Korupsi sering kali berawal dari ketidakmampuan individu untuk mengendalikan keinginan pribadi yang berlebihan, seperti nafsu untuk memiliki harta atau kekuasaan. Dengan menerapkan ajaran kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, individu dapat melatih diri untuk menghindari perasaan serakah dan lebih fokus pada keseimbangan hidup yang berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
Selain itu, ajaran ini juga mengajarkan pentingnya kesadaran akan dampak dari setiap tindakan. Sebelum seseorang melakukan tindakan tertentu, mereka diajak untuk merenungkan apakah tindakan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Jika tidak, maka tindakan tersebut harus dihindari, meskipun hal tersebut dapat memberikan keuntungan pribadi.
Prinsip-prinsip kebatinan yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram sangat relevan dalam konteks kepemimpinan. Seorang pemimpin yang menerapkan ajaran-ajaran ini akan lebih mampu menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan menghindari perilaku koruptif. Kepemimpinan yang baik bukan hanya ditentukan oleh kemampuan teknis atau manajerial, tetapi juga oleh kualitas batin dan moralitas seorang pemimpin.
Prinsip sa-butuhne mengajarkan agar seorang pemimpin tidak terjebak dalam ambisi pribadi atau keinginan berlebihan. Pemimpin harus mampu bertindak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan bukan berdasarkan keinginan pribadi yang dapat merugikan banyak orang. Demikian pula, prinsip sa-perlune mengingatkan pemimpin untuk selalu bertindak dengan pertimbangan yang matang, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang ada.
Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, sebagaimana diajarkan dalam prinsip sa-cukupe. Mereka harus mampu memimpin dengan bijaksana, tanpa terjebak dalam perilaku berlebihan yang dapat merusak integritas dan kepercayaan publik. Selain itu, prinsip sa-benere dan sa-mesthine mengajarkan pemimpin untuk selalu bertindak dengan kebenaran dan sesuai dengan norma-norma yang ada. Kepemimpinan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran akan menciptakan suasana kerja yang transparan dan akuntabel, yang pada gilirannya akan mengurangi peluang terjadinya korupsi.
Akhirnya, prinsip sak-penake mengajarkan pemimpin untuk tidak hanya mencari kenyamanan pribadi, tetapi juga untuk memastikan bahwa kebijakan dan keputusan yang diambil memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas. Pemimpin yang bertanggung jawab akan mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Biografi Ki Ageng Suryomentaram
Suryomentaram lahir 20 Mei 1892. Anak dari Sultan Hamengku Buwono VII, Suryomentaram, menikah dengan Raden Ayu Retnomandaya, putri dari Patih Danureja VI atau Pangeran Cakraningrat. Sultan memiliki putra ke-55, Retnomandaya. Jabang bayi Suryomentaram diberi nama Raden Mas (RM) Kudiarmaji oleh sang ayah karena dia dibesarkan di lingkungan keraton. Bendara Raden Mas Kudiarmadji belajar di Sekolah Srimanganti yang terletak di sekitar kraton bersama saudara-saudaranya. Tingkat pendidikan yang diberikan di sekolah ini kurang lebih sama dengan yang diberikan di sekolah dasar saat ini. Selepas keluar dari Srimanganti, dia pergi ke Klein Ambtenaar untuk belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai, dia bekerja di gubernuran selama dua tahun lebih. BRM Kudiarmadji sangat menyukai membaca dan belajar, tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mengajarkan agama Islam dan mengaji.
Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram ketika dia berusia 18 tahun. Tahun demi tahun berlalu, Pangeran Suryomentaram mulai merasa hatiya kurang. Meskipun memperoleh semua kemudahan yang ditawarkan oleh kepangeranan Pangeran Suryomentaram, dia tetap merasa ada sesuatu yang kurang. Hanya orang-orang yang disembah, diminta, diperintahkan, atau dimarahi pada hari-hari Suryomentaram. Suryomentaram tidak senang karena belum pernah bertemu dengan seseorang yang bisa memberinya perasaan bahwa dia adalah orang normal. Dalam kehidupan sehari-hari Suryomentaram hanya sembah, perintah, marah, dan meminta, tetapi dia tidak pernah bertemu orang. Dia merasa masygul dan kecewa, meskipun dia adalah seorang pangeran kaya. dan berkuasa.
Akhirnya, Suryomentaram berhenti gelisah ketika ia menemukan bahwa alasan dia tidak pernah bertemu orang adalah karena sejak kecil dia tinggal di dalam kraton dan tidak tahu apa yang terjadi di luar, yang membuatnya tertekan dan merasa tidak betah lagi tinggal di dalamnya. Penderitaan Suryomentaram semakin rumit karena peristiwa-peristiwa yang mengganggunya, misalnya:
Kakek yang memanjakannya, Patih Danurejo VI, diberhentikan dari jabatan dan tidak lama kemudian meninggal.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII mencerai ibunya dan mengeluarkannya dari kraton. Setelah itu, dia menyerahkannya kepadanya.
Istri yang dicintainya meninggal, meninggalkan putra berusia empat puluh hari.
Perasaan tidak puas dan tidak betah semakin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, Suryomentaram mengajukan permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti sebagai Pangeran, namun permohonan itu tidak diterima. Setelah itu, Suryomentaram mencoba untuk naik haji ke Mekah lagi, tetapi dia tidak diizinkan. Suryomentaram tanpa diketahui meninggalkan kraton dan pindah ke Cilacap, di mana ia bekerja sebagai pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Dia mengubah namanya menjadi Notodongso di Cilacap.
Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono VII mendengar berita bahwa Pangeran Suryomentaram telah pergi, Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan mengembalikannya ke Yogyakarta. Akhirnya, Suryomentaram ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong sumur setelah mencari selama bertahun-tahun.
Meskipun Suryomentaram sudah membeli tanah di Cilacap, dia dibawa kembali ke Yogyakarta. Memulai kembali kehidupan Kraton yang membosankan, ia terus mencari alasan di balik kekecewaannya. Ketika Suryomentaram mengira bahwa hal yang membuatnya kecewa dan tidak puas selain statusnya sebagai pangeran adalah harta benda, seluruh rumah dilelang. Jika mobil dijual dan keuntungan dari penjualan itu diberikan kepada sopirnya, jika kuda dijual dan keuntungan dari penjualan itu juga diberikan kepadagamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaian yang ada dibagi-bagikan secara cuma-cuma  kepada para pembantunya.
Upaya yang dilakukan Suryomentaram tersebut ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahan yang dialami, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun hasilnya masih tetap sama saja rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Kemudian Suryomentaram semakin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, setiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, ia datangi untuk belajar ilmunya, masih tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Suryomentaram kemudian mencoba mempelajari agama Kristen dan theosofi, demikian hal tersebut juga masih tidak dapat menghilangkan rasa ketidak puasannya.
Pada tahun 1921 saat itu Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII telah meninggal dunia. Suryomentaram ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan menggunakan pakaian yang berbeda sendiri, lain daripada yang lain. Para Pangeran menggunakan pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem menggunakan pakaian kebesarannya sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke makam Imogiri sambil menggunakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung Cina. Dalam perjalanan pulang Suryomentaram berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk dengan daun pisang, ia memakannya sambil dengan duduk di lantai disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani mendekat karena takut dan malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa, namun ada pula yang menganggapnya seorang wali.
Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram kemudian sekali lagi mengajukan permohonan untuk berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan permintaan yang kali ini telah dikabulkan. Dari Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun kepada Suryomentaram sebesar f 333,50 per bulan, akan tetapi Suryomentaram menolaknya dengan alasan ia merasa tidak pernah berkontribusi atau berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 perbulan hanya sebagai tanda masih keluarga dari kraton. Pemberian tersebut diterimanya dengan senang hati.
Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas, Suryomentaram masih merasa belum juga bertemu orang. Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Disana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang untuk berdukun.
Meskipun Ki Gede Suryomentaram sudah tinggal di Bringin, akan tetapi ia masih sering ke Jogja. Di Jogja ia masih mempunyai rumah, waktu itu Perang Dunia I baru selesai. Ki Gede Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara beserta beberapa orang mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon dan dikenal dengan nama Sarasehan Selasa Kliwon. Yang hadir dalam Sarasehan Selasa Kliwon itu ada 9 orang, yaitu: (1) Ki Gede Suryomentaram, (2) Ki Hadjar Dewantara, (3) Ki Sutopo Wonoboyo, (4) Ki Pronowidigdo, (5) Ki Prawirowiworo, (6) BRM Subono (adik Ki Gede Suryomentaram), (7). Ki Suryodirjo, (8) Ki Sutatmo, dan (9) Ki Suryoputro. Pembahasan yang dibicarakan dalam sarasehan tersebut adalah keadaan sosial dan politik di Indonesia. Waktu itu sebagai akibat dari Perang Dunia I yang baru saja selesai, negara-negara Eropa, baik yang kalah perang maupun yang menang perang, termasuk Negeri Belanda, mengalami krisis ekonomi dan militer.
Saat-saat seperti itu dirasa merupakan saat yang sangat baik bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Pada awalnya muncul gagasan untuk mengadakan gerakan fisik melawan Belanda, tetapi setelah dibahas dengan seksama dalam sarasehan, disimpulkan bahwa hal itu belum mungkin dilaksanakan karena pada saat itu Belanda masih cukup kuat, sedangkan kita sendiri tidak mempunyai kekuatan. Kalau kita bergerak tentu akan segera dapat ditumpas. Sekalipun gagasan perlawanan fisik tersebut tidak dapat terwujud, akan tetapi semangat perlawanan dan keinginan merdeka tetap terus menggelora. Dalam sarasehan bersama setiap Selasa Kliwon itu akhirnya disepakati bersama untuk membuat suatu gerakan moral dengan tujuan memberikan landasan dan menanamkan semangat kebangsaan kepada para pemuda melalui suatu pendidikan kebangsaan. Pada tahun 1922 telah berdiri tempat pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara telah dipilih untuk menjadi pimpinannya, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua. Dalam Sarasehan Selasa Kliwon inilah, sebutan Ki Gede Suryomentaram dirubah oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram.
Pada tahun 1928 semua hasil "mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri" itu ditulis dalam bentuk  tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul "Uran-uran Beja". Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri tersebut ada sangat banyak, diantaranya sebagai berikut: Suatu hari Ki Ageng akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang perahu sudah memperingatkan Ki Ageng agar tidak menyeberang, akan tetapi karena merasa pandai berenang, Ki Ageng nekad untuk menyebrang dan menceburkan diri ke dalam sungai. Akhirnya ia megap-megap hampir tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang perahu.
Setelah pulang Suryomentaram berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, "Aku mendapat pengalaman. Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak ada rasa takut sama sekali. Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap tidak ada. Bahkan aku dapat melihat si Suryomentaram telah megap-megap hampir tenggelam." Ki Prawirowiworo menjawab, "Tidak takut apa-apa itu memang benar, sebab Ki Ageng adalah orang yang putus asa. Orang yang putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja." Ki Ageng menjawab, "Dikau benar. Ternyata Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal mati kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu kejadian tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap, akan tetapi justru malah dapat melihat Suryomentaram yang megap-megap gelagapan itu."
Ki Ageng Suryomentaram juga terlibat dalam pertemuan Manggala Tiga Belas. Persoalan-persoalan yang dibicarakan berkisar pada bagaimana cara menolak peperangan bila Indonesia menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara, karena ia berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Untuk pembentukan tentara Ki Ageng harus membuat surat permohonan dan ia membentuk panitia 9 yang disebut Manggala Sembilan kemudian surat terbuka tersebut diserahkan kepada Asano (anggota dinas rahasia Jepang) dan dikirim ke Tokyo. Tidak lama kemudian diterima berita bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
Ki Ageng mengadakan pendaftaran tentara maka berduyun-duyunlah yang mendaftarkan diri. Akhirnya pendaftaran diambil alih oleh pemerintah dan nama Tentara Sukarela diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air, disingkat PETA. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tentara PETA inilah yang merupakan modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan selanjutnya menjadi inti Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada waktu perang kemerdekaan, Ki Ageng juga memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata, daerah operasinya disekitar Wonosegoro (wilayah Kabupaten Boyolali). Selama ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunung Kidul. Di tempat pengungsian ini Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tentara gerilya.
Setelah penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai aktif lagi mengisi kemerdekaan dengan memberikan ceramah-ceramah tentang Kawruh Beja (Kawruh Jiwa), terkait dengan pembangunan jiwa warga negara. Pakaian Ki Ageng yang sangat sederhana sudah menjadi ciri khasnya, bahkan ketika Ki Ageng diundang oleh Bung Karno ke Istana Merdeka untuk dimintai wawasan tentang berbagai masalah negara pada tahun 1957, ia tetap memakai pakaian keseharian. Di daerah Salatiga tepatnya di desa Sajen, Ki Ageng jatuh sakit dan dibawa pulang ke Yogyakarta. Ki Ageng dirawat di rumah sakit selama beberapa waktu, namun karena sakitnya tidak kunjung berkurang, kemudian ia dibawa pulang ke rumah keluarganya yang berada di Yogyakarta. Sewaktu di rumah sakit Ki Ageng masih sempat menemukan pemikiran tentang Kawruh Jiwa yaitu bahwa "puncak belajar kawruh jiwa ialah mengetahui gagasannya sendiri".
Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962 dalam usia 70 tahun, Ki Ageng tutup usia di rumahnya di Jalan Rotowijayan no. 22 Yogyakarta dan dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, sebelah selatan kota Yogyakarta. Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan seorang istri, dua orang putra, dan empat orang putri. Seorang putra telah meninggal. Ki Ageng Suryomentaram mendasarkan ajarannya pada Kawruh Beja atau Kawruh Jiwa yang menitik beratkan pada kegiatan meneliti jiwa atau rasa diri sendiri dalam rangka mengenal diri pribadi yang disebutnya Pangawikan Pribadi (pengertian diri sendiri).
Dalam meneliti manusia, Ki Ageng mempelajarinya dengan pendekatan empiris, ia menjadikan dirinya sendiri sebagai "kelinci percobaan". Perhatiannya lebih dipusatkan pada diri sendiri dilihat dari aspek batin dan realitas, Ki Ageng mencoba membuka tabir rahasia kejiwaan manusia dalam hidupnya di bumi ini. Ki Ageng ingin mengembalikan harga diri manusia pada tempatnya yang benar.
Â
Konsep Diri Ki Ageng Suryomentaram dalam Kawruh Jiwa
Â
Ki Ageng Suryomentaram menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek dari penelitian dan pencariannya tentang eksistensi manusia atau kebebasan individu yang berawal dari kegelisahan yang dialami dan dirasakan sendiri. Sehingga kawruh jiwa merupakan hasil pemikiran sekaligus konsep yang telah berhasil ditemukan oleh Ki Ageng Suryomentaram yang diikuti oleh para pelajarnya dan menjadi bahan perbincangan oleh para pengamat bahkan seorang peneliti dari Prancis Marcel Bonneff dan Someya Yoshimichi, seorang antropolog dari Jepang menerbitkan tulisan mengenai sosok Ki Ageng Suryomentaram dan pemikirannya.
Ilmu jiwa yang menjadi pemikiran Ki Ageng Suryomentaram ini memiliki bangunan pokok masalah bangunan kejiwaan dari "aku kramadangsa""yang bisa diartikan nafs, self atau diri. Setiap manusia merasakan namanya sendiri, jika ia bernama Syarifah, maka ia merasa""aku si Syarifah". Rasa nama tersebut diistilahkan "kramadangsa", jadi rasa kramadangsa inilah rasa jiwa.
Kawruh Jiwa adalah pengetahuan untuk mengetahui sifatsifat jiwa. Inti ajaran Kawruh Jiwa adalah"metode untuk memahami diri sendiri (meruhi awakipun piyambak) secara tepat, benar, dan jujur. Ketika seseorang telah mampu memahami dirinya secara tepat, benar, dan jujur, maka dengan sendirinya ia juga akan mampu memahami atau mengerti orang lain dan lingkungannya dengan tepat, benar, dan jujur, sehingga ia dapat hidup damai dan bahagia. Keadaan tersebut disebut Ki Ageng dengan kehidupan bahagia sejati, yaitu kebahagiaan yang tidak bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan"(mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan)
Memahami pengetahuan "merasa" adalah inti yang ingin disampaikan dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram, Ki Ageng Suryomentaram tidak menuntut kawruh jiwa  disejajarkan dengan agama, karena Ki Ageng Suryomentaram dengan terang menyatakan  "kawruh jiwa punika kawruh raos. Kawruh jiwa punika dede agami lan dede wulangan awon-sae, ingkang ngangge pepacuh "Aja mangkono lan kudu mangkono" lan dede lampah-lampah utawi sirikan. Dados kawruh jiwa punika kawruh, ingkang meruhi dhateng jiwa lan sawateg-wategipun, kados dene kawruh kewanlan kawruh tetaneman lan sapanunggilanipun, lan sawategwategipun."
Kawruh Jiwa bukanlah sebuah pelajaran mengenai baik dan buruk dan bukan perintah atau larangan untuk melakukan sesuatu. Tetapi, Kawruh Jiwa merupakan ilmu yang berguna untuk melihat, memahami, dan mengerti mengenai jiwa dan segala sifat yang terdapat dalam diri manusia.
Salah satu ajarannya yaitu bungah-susah (bahagia-susah). Suryomentaram menjelaskan bahwa setiap manusia akan merasakan senang dan susah. Adapun keadaan senang hanya bersifat sementara dan kemudian akan kembali merasakan kesusahan. Karena rasa manusia bersifat tidak abadi. Perubahan rasa tersebut disebut sebagai mulur (rasa senang) dan munkret  (rasa susah).
Manusia akan selalu merasa senang apabila keinginannya telah dapat tercapai. Ketika keinginannya telah tercapai maka ia akan menginginkan hal yang lain. Pada intinya manusia akan selalu mempunyai keinginan-keinginan lain untuk mempersenang dirinya sendiri.
Adapun munkret yaitu rasa sedih dan kecewa bahkan marah ketika keinginan manusia tidak tercapai. Munkret memiliki dua pengertian. Pertama, menurunkan level keinginan dari yang tinggi ke yang rendah ketika keinginanya tidak tercapai. Kedua, merasa susah karena setiap keinginannya tidak tercapai.
Apa Makna dari Mengolah diri dan Batin pada Enam "SA"versi Ki Ageng Suryomentaram?
Enam SA versi Ki Ageng Suryomentaram merupakan prinsip hidup yang menekankan kesederhanaan dan keseimbangan dalam menjalani kehidupan. Setiap elemen dari Enam SA ini mengajarkan cara berpikir dan bertindak yang tidak berlebihan, selaras dengan kebutuhan sejati manusia, dan sesuai dengan norma-norma universal. Berikut adalah penjelasan terkait Enam SA tersebut:
1. Sa-butuhne (Sebutuhnya)
Mengajarkan seseorang untuk hanya memenuhi kebutuhan sesuai dengan apa yang diperlukan, tidak berlebihan atau di luar kemampuan.
- Makna:
Hidup dengan mencukupi apa yang benar-benar dibutuhkan, bukan berdasarkan keinginan yang berlebihan atau sekadar nafsu duniawi. - Penerapan:
Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip ini menghindarkan seseorang dari keserakahan, konsumsi berlebihan, atau perilaku yang melampaui batas kemampuan.
2. Sa-perlune (Seperlunya)
Menekankan pentingnya bertindak atau berbuat hanya sejauh diperlukan, tanpa membuang energi atau sumber daya untuk hal yang tidak bermanfaat.
- Makna:
Fokus pada hal yang benar-benar penting dan menghindari pemborosan waktu, tenaga, atau materi. - Penerapan:
Dalam pekerjaan, seseorang akan melakukan tugasnya dengan efisien, tanpa usaha yang sia-sia atau melibatkan diri dalam hal yang tidak relevan.
3. Sa-cukupe (Secukupnya)
Mengajarkan untuk merasa cukup dengan apa yang sudah dimiliki, tanpa keinginan berlebihan untuk memiliki lebih banyak.
- Makna:
Hidup sederhana dengan memahami batas kecukupan untuk mencapai kebahagiaan batin. - Penerapan:
Dalam kehidupan finansial, prinsip ini membantu seseorang untuk tidak rakus atau terobsesi mengumpulkan kekayaan secara berlebihan.
4. Sa-benere (Sebenarnya)
Mendorong seseorang untuk bertindak berdasarkan kebenaran, baik secara moral maupun logis, tanpa ada manipulasi atau kebohongan.
- Makna:
Bertindak jujur dan transparan dalam segala hal, sesuai dengan hati nurani dan nilai-nilai kebenaran universal. - Penerapan:
Dalam pengambilan keputusan, prinsip ini memastikan seseorang selalu berpijak pada fakta dan logika, bukan berdasarkan prasangka atau tipu daya.
5. Sa-mesthine (Semestinya)
Mendorong seseorang untuk menjalankan tanggung jawab dan perannya sebagaimana mestinya, sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku.
- Makna:
Melakukan sesuatu dengan cara yang benar dan sesuai dengan kodrat atau hukum alam. - Penerapan:
Dalam pekerjaan, prinsip ini mendorong seseorang untuk memenuhi kewajibannya dengan benar, tanpa menyimpang dari aturan.
6. Sak-penake (Seenaknya)
Prinsip ini mengajarkan untuk menemukan kenyamanan atau cara yang mudah dalam menjalani hidup, tanpa memberatkan diri atau orang lain.
- Makna:
Hidup dengan santai namun tetap bertanggung jawab, menghindari tekanan yang tidak perlu. - Penerapan:
Dalam menghadapi masalah, seseorang akan mencari solusi yang paling sederhana dan praktis, tanpa membuatnya menjadi lebih rumit.
Prinsip 6 SA versi Ki Ageng Suryomentaram ini merupakan pedoman untuk menjalani hidup yang harmonis dan seimbang, dengan menghindari sikap berlebihan, baik dalam memenuhi kebutuhan fisik maupun batin. Ajaran ini relevan dalam kehidupan modern untuk mengurangi tekanan, keserakahan, dan konflik, baik di lingkungan individu maupun sosial.
Mengapa Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan Enam SA?
Ki Ageng Suryomentaram, seorang tokoh Jawa terkemuka, terkenal dengan refleksi filosofisnya yang mendalam, terutama yang berkaitan dengan jiwa manusia, pengembangan diri, dan tatanan masyarakat. Salah satu ajarannya yang paling berpengaruh terangkum dalam apa yang dikenal sebagai "Enam SA", atau "Enam SA", yang berfungsi sebagai panduan untuk pengembangan diri dan masyarakat. Prinsip-prinsip ini-Sa-butuhne, Sa-perlune, Sa-cukupe, Sa-benere, Sa-mesthine, dan Sak-penake-bukan hanya gagasan abstrak, tetapi juga merupakan alat praktis untuk mentransformasi individu dan masyarakat. Untuk memahami mengapa Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan keenam prinsip tersebut, kita perlu melihat lebih dekat pandangan hidupnya, gagasannya tentang kehidupan yang beretika, dan komitmennya dalam memerangi korupsi, keserakahan, dan ketidakseimbangan dalam masyarakat.
Ajaran Ki Ageng Suryomentaram berakar pada filosofi Jawa, yang sangat terkait dengan gagasan tentang kedamaian batin, harmoni, dan pertumbuhan spiritual. Dalam pandangannya, manusia secara inheren terhubung dengan tatanan kosmik yang lebih besar, dan tindakan, perilaku, serta niat mereka harus selaras dengan tatanan ini untuk mewujudkan masyarakat yang seimbang dan adil. Oleh karena itu, ajarannya tentang "Enam SA" dirancang tidak hanya untuk meningkatkan hubungan individu dengan diri mereka sendiri, tetapi juga untuk membangun rasa tanggung jawab sosial dan kesejahteraan bersama.
Konsep "Enam SA" ini, diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram untuk menjelaskan prinsip hidup yang harus dimiliki seseorang, guna memperoleh kebahagiaan (Prabaningrum, 2018). Menurutnya di dunia ini tidak ada yang pantas untuk dicari dan dihindari secara mati-matian atau berlebihan. Banyak orang beranggapan kebahagian dapat diraih apabila segala keinginan dalam hidupnya dapat tercapai, dan jika tidak maka akan celaka hidupnya. Sebuah keinginan jika tercapai akan menimbulkan rasa senang, namun tidak bertahan lama, padahal keinginan itu sifatnya mulur (terus bertambah). Sebaliknya jika keinginan tidak tercapai akan menimbulkan rasa kecewa, sedih, marah atau mungkret (menyusut). Mungkret ini dalam artian apa yang diinginkan menjadi berkurang baik secara kualitas atau kuantitasnya, sehingga memunculan rasa kecemasan (Ki Ageng Suryomentaram, 2002). Â Seseorang yang mampu menerapkan konsep "Enam SA" dalam kehidupannya secara konsisten akan mengantarkan kepada ketentraman. Karena seseorang yang menerapkannya tidak akan merasa dituntut dan tidak akan merasa mempunyai saingan untuk mendapatkan seseuatu tersebut (Afif & Dkk., 2019). Dengan melakukan olah Kawruh Jiwa sebagai media dalam olah rasa memberikan kontribusi bagi pengembangan kesejahteraan dan kualitas hidup yang berbasiskan pada rasa sebagai landasan instrospeksi diri. Rasa merupakan intisari manusia dan titik tertinggi dalam kehidupan rohani sebab adanya tali hubungan yang kuat antara mahluk dan Tuhannya (Kholik, 2017).Â
Bagaimana Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri
1. Sa-butuhne: Bertindak Sesuai Kebutuhan
Sa-butuhne, atau sesuai kebutuhan, adalah prinsip pertama, yang menekankan betapa pentingnya mengenali kebutuhan daripada kesenangan. Konsep ini membahas kecenderungan manusia untuk berlebihan dan memanjakan diri, mendorong orang untuk mempertimbangkan apa yang benar-benar dibutuhkan untuk kelangsungan hidup, kemajuan, dan kebahagiaan. Dengan menerapkan prinsip ini, seseorang belajar untuk menghilangkan keinginan yang berlebihan dan berkonsentrasi pada apa yang penting. Hal ini membantu menghindari materialisme, yang sering menyebabkan perilaku yang tidak etis seperti keserakahan dan eksploitasi.
Ki Ageng Suryomentaram berpendapat bahwa menggunakan sumber daya dengan benar adalah penting untuk menjalani kehidupan yang seimbang. Dengan mengatakan bahwa kita hanya boleh mengambil atau menggunakan apa yang diperlukan, ia menawarkan penangkal langsung terhadap ekses kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh yang sering mengakibatkan kerusakan masyarakat. Menurut perspektifnya kemakmuran sejati berasal dari kepuasan akan kebutuhan dasar dan penghargaan yang mendalam terhadap kesenangan hidup yang sederhana. Dalam hal ini, sa-butuhne juga berfungsi sebagai bentuk pengekangan etis, yang merupakan inti dari pertumbuhan pribadi dan pencegahan korupsi.
Sangat penting untuk berbagai aspek kehidupan, seperti pemerintahan dan kepemimpinan. Seorang pemimpin yang memahami prinsip-prinsip ini akan memimpin dengan tenang dan menahan diri dari memperoleh kekayaan atau kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Sebaliknya, kebutuhan masyarakat, bukan keinginan pribadi, akan mengarahkan tindakan mereka. Pemimpin seperti itu mencegah efek korosif kekuasaan yang menyebabkan korupsi dan kerusakan moral dengan hanya berfokus pada apa yang diperlukan.
2. Sa-perlune: Bertindak Sesuai Kebutuhan Situasi
Prinsip sebelumnya mengembangkan prinsip kedua, sa-perlune (sesuai kebutuhan), yang menekankan pada tindakan yang sesuai dengan situasi. Menurut gagasan ini, orang harus bertindak secara proporsional sesuai dengan keadaan. Tidak ada satu cara yang bekerja untuk semua situasi, dan setiap skenario membutuhkan cara yang berbeda untuk bertindak. Gagasan saperlune mendorong daya tanggap, fleksibilitas, dan kebijaksanaan, yang merupakan kualitas penting dalam manajemen diri dan kepemimpinan.
Ki Ageng Suryomentaram menganggap sa-perlune sebagai pedoman penting untuk perilaku etis. Seseorang harus bertindak dengan kebijaksanaan, yang berarti mereka tidak bertindak sesuai nafsu atau melampaui kebutuhan. Konsep ini bertujuan untuk menghindari campur tangan yang tidak perlu atau melampaui batas. Ini berarti dalam kepemimpinan bahwa para pemimpin harus bertindak sesuai dengan kebutuhan saat ini tanpa mengarah ke otoritas atau manajemen mikro. Untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau kontrol, mereka memastikan bahwa tindakan mereka adil dan terukur.
Jika diterapkan pada masyarakat luas, sangat penting untuk memastikan bahwa sumber daya dan peluang didistribusikan secara adil dan merata. Para pemimpin dan individu harus menyadari kebutuhan orang lain dan bertindak sesuai dengannya. Mereka tidak boleh berlebihan atau mengabaikan kebutuhan masyarakat. Karena mendorong keadilan, kesetaraan, dan pengambilan keputusan yang etis, prinsip sa-perlune melindungi dari korupsi.
3. Sa-cukupe: Moderasi dalam Segala Hal
Prinsip ketiga, sa-cukupe (secukupnya), adalah seruan untuk keseimbangan. Prinsip ini menekankan bahwa manusia harus menghindari hal-hal yang ekstrem, baik dalam kesenangan, pekerjaan, maupun konsumsi. Gagasan moderasi sangat terkait dengan gagasan kesederhanaan, yang dipandang sebagai penangkal ekses yang mengarah pada korupsi dan kegagalan moral.
Ajaran Ki Ageng tentang kesederhanaan tidak hanya tentang menahan diri secara fisik, tetapi juga mencakup kesederhanaan emosional dan intelektual. Emosi yang berlebihan seperti kemarahan, ketakutan, dan keinginan dapat mengaburkan penilaian dan mengarah pada perilaku yang tidak etis. Demikian pula, kegiatan intelektual yang tidak terkendali-seperti akumulasi pengetahuan untuk gengsi atau keuntungan pribadi-juga bisa berbahaya. Moderasi, menurut Ki Ageng Suryomentaram, adalah kunci untuk menjaga kejernihan pikiran, perilaku etis, dan keharmonisan dalam hidup seseorang.
Dalam kepemimpinan, prinsip sa-cukupe mencegah para pemimpin untuk menjadi tiran atau lalim yang berusaha mengendalikan setiap aspek kehidupan. Sebaliknya, prinsip ini menganjurkan gaya kepemimpinan yang dicirikan oleh kerendahan hati, keseimbangan, dan pengekangan. Seorang pemimpin yang menganut sikap moderat tidak mengeksploitasi kekuasaan atau posisinya untuk keuntungan pribadi, melainkan menggunakan otoritasnya untuk kebaikan bersama. Pendekatan ini memastikan bahwa kekuasaan tidak merusak, karena pemimpin memahami bahwa kontrol yang berlebihan dapat menyebabkan pemberontakan, kebencian, dan pada akhirnya, keruntuhan masyarakat.
4. Sa-benere: Bertindak Sesuai dengan Kebenaran
Prinsip keempat, sa-benere (sebagaimana mestinya), menyerukan agar setiap orang bertindak sesuai dengan apa yang benar, baik secara moral maupun praktis. Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya keaslian, integritas, dan ketulusan. Prinsip ini menekankan bahwa tindakan harus konsisten dengan nilai-nilai dalam diri seseorang dan tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan eksternal atau keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Dalam memerangi korupsi, sa-benere bertindak sebagai alat penting untuk transformasi pribadi dan sosial. Korupsi, pada dasarnya, melibatkan penipuan, ketidakjujuran, dan penyimpangan dari kebenaran. Penekanan Ki Ageng pada kejujuran mengajarkan bahwa setiap individu dan pemimpin harus selalu mengutamakan kejujuran dan kebenaran di atas kepentingan pribadi. Para pemimpin, khususnya, harus mewujudkan kebenaran, tidak hanya dalam perkataan tetapi juga dalam tindakan. Dengan menegakkan kebenaran, para pemimpin menumbuhkan kepercayaan dan rasa hormat, yang keduanya sangat penting untuk tata kelola yang efektif dan pencegahan korupsi.
Dalam konteks masyarakat yang lebih luas, sa-benere mempromosikan transparansi dan akuntabilitas. Sa-benere mendorong setiap individu untuk bertindak dengan kejelasan dan kejujuran, memastikan bahwa tindakan mereka mencerminkan niat mereka yang sebenarnya. Bagi Ki Ageng Suryomentaram, hidup sesuai dengan kebenaran adalah fondasi masyarakat yang adil. Ketika individu dan pemimpin berkomitmen pada kejujuran, korupsi akan kehilangan cengkeramannya, dan masyarakat yang lebih harmonis dan adil akan muncul.
5. Sa-mesthine: Bertindak Sesuai dengan Cara yang Benar
Prinsip kelima, sa-mesthine (sebagaimana mestinya), menekankan pentingnya bertindak sesuai dengan apa yang secara moral benar dan adil. Prinsip ini menunjukkan bahwa setiap orang tidak hanya harus bertindak dengan jujur, tetapi juga dengan cara yang selaras dengan kebaikan yang lebih besar. Prinsip ini mendorong kesadaran yang mendalam tentang implikasi moral dari tindakan seseorang, mendorong individu untuk mengikuti jalan yang berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat dan dunia.
Ajaran Ki Ageng tentang sa-mesthine berakar pada keyakinan bahwa manusia adalah bagian dari tatanan kosmik yang lebih besar, dan tindakan mereka harus berkontribusi pada tatanan ini. Dengan bertindak sesuai dengan apa yang benar, individu dan pemimpin memastikan bahwa perilaku mereka selaras dengan nilai-nilai universal seperti keadilan, kejujuran, dan kasih sayang. Ini adalah prinsip utama dalam pencegahan korupsi karena hal ini memperkuat gagasan bahwa keuntungan pribadi tidak boleh mengorbankan kebaikan yang lebih besar.
Dalam konteks kepemimpinan, sa-mesthine mendorong para pemimpin untuk bertindak dengan cara-cara yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Prinsip ini menantang para pemimpin untuk menghindari tindakan yang didorong oleh keinginan pribadi atau manuver politik dan sebaliknya fokus pada keputusan yang menjunjung tinggi kebaikan bersama. Prinsip ini berfungsi sebagai pengaman terhadap korupsi dengan mengingatkan para pemimpin akan tanggung jawab mereka terhadap orang-orang yang mereka layani.
6. Sak-penake: Bertindak Sesuai dengan Keinginan Sendiri, Secara Bertanggung Jawab
Prinsip terakhir, sak-penake (sesuka hati), mungkin merupakan prinsip yang paling kontroversial di antara keenam prinsip lainnya. Meskipun prinsip ini mendorong individu untuk mencari pemenuhan dan kepuasan pribadi, sangat penting untuk memahami bahwa pemenuhan ini harus dicapai secara bertanggung jawab dan tanpa merugikan orang lain. Prinsip ini mengajarkan bahwa meskipun individu tidak boleh menyangkal kesenangan hidup, mereka harus melakukannya dengan cara yang menghormati martabat dan kesejahteraan orang lain.
Dalam konteks kepemimpinan diri, sak-penake memungkinkan individu untuk mengejar kebahagiaan pribadi mereka, tetapi dengan pemahaman bahwa kebahagiaan sejati datang dari hidup dalam harmoni dengan orang lain dan dengan alam. Prinsip ini mengakui bahwa manusia pada dasarnya didorong oleh keinginan, tetapi menegaskan bahwa keinginan ini harus diredam dengan kebijaksanaan dan tanggung jawab moral.
Bagi Ki Ageng Suryomentaram, sak-penake bukanlah sebuah ajakan untuk memanjakan diri secara sembrono, melainkan sebuah panggilan untuk mencari kebahagiaan dengan cara yang seimbang dan beretika. Para pemimpin, misalnya, harus mencari kepuasan pribadi, tetapi hal ini tidak boleh mengorbankan keadilan, kejujuran, atau kesejahteraan rakyatnya. Dengan berpegang pada prinsip ini, para pemimpin dapat menghindari godaan korupsi dan eksploitasi, memastikan bahwa tindakan mereka tidak didorong oleh keegoisan, tetapi oleh komitmen yang lebih dalam terhadap kesejahteraan orang lain.
Â
ReferensiÂ
Suprapto, H. (2018). Etika Jawa: Panduan Hidup Bersahaja. Yogyakarta: UGM Press.
Simuh. (1995). Sufisme Jawa: Transformasi Spiritualitas dan Nilai-Nilai Kehidupan. Yogyakarta: Bentara Budaya.
https://arrahim.id/niam/mengenal-ki-ageng-suryomentaram-filsuf-tanah-jawa/
https://abduljalil.web.ugm.ac.id/biografi-dan-pemikiran-ki-ageng-suryomentaram/
https://diskursusinstitute.org/2021/06/11/ki-ageng-suryomentaram-filsuf-jawa-penggagas-kawruh-jiwa/
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H