Mohon tunggu...
RAMA R0MADON
RAMA R0MADON Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa/Universitas Sriwijaya

Rakyat Biasa...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjaga Etika Kepintaran: Bahaya Sikap Merendahkan Mahasiswa yang Menganggap Dirinya Paling Pintar

18 Maret 2024   20:20 Diperbarui: 18 Maret 2024   20:35 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam setiap lingkungan akademis, kita sering menemui beragam karakter mahasiswa. Ada yang rendah hati dalam kepintarannya, berbagi pengetahuan dengan sukarela, dan selalu siap membantu teman-teman sekelas. Namun, di sisi lain, ada pula mahasiswa yang memiliki kecenderungan untuk merendahkan teman-temannya dengan angkuh mengklaim dirinya paling pintar dan menganggap orang lain bodoh. 

Perilaku seperti ini seringkali dipicu oleh rasa superioritas yang tidak terkontrol, dan dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup signifikan dalam lingkungan akademis. Artikel ini akan membahas tentang fenomena tersebut, mengidentifikasi akar masalah, serta memberikan solusi untuk menangani perilaku merendahkan semacam itu.

Sebagai mahasiswa, kita semua berada dalam perjalanan pembelajaran yang sama. Namun, dalam perjalanan ini, beberapa di antara kita cenderung menganggap diri kita lebih pintar dari yang lain. Mereka dengan cepat menilai teman-teman sekelasnya sebagai "tolol" hanya karena perbedaan tingkat pemahaman atau kinerja dalam pembelajaran. Ironisnya, sikap seperti ini seringkali tidak didasari oleh kecerdasan yang sebenarnya, melainkan oleh kebutuhan untuk memperkuat rasa harga diri mereka yang rapuh.

Salah satu penyebab utama dari perilaku merendahkan semacam ini adalah kurangnya pemahaman akan pentingnya kerendahan hati dalam proses pembelajaran. Seiring dengan meningkatnya tekanan akademis dan persaingan yang ketat di dunia pendidikan, banyak mahasiswa terjerat dalam lingkaran ketidakpastian diri yang memaksa mereka untuk mencari cara agar merasa lebih baik dari yang lain. Akibatnya, mereka cenderung mengadopsi sikap superior dan merendahkan orang lain sebagai mekanisme untuk menegaskan diri.

Mendalami tentang Dampak Negatif Perilaku Merendahkan

Perilaku merendahkan seringkali tidak hanya menjadi masalah bagi mereka yang menjadi sasaran, tetapi juga membawa dampak serius terhadap kesejahteraan psikologis dan sosial individu yang terlibat. Dalam bagian ini, kita akan mengeksplorasi secara lebih mendalam tentang dampak negatif dari perilaku merendahkan terhadap individu yang menjadi sasarannya.

Salah satu dampak yang paling nyata dari perilaku merendahkan adalah hilangnya kepercayaan diri pada individu yang menjadi targetnya. Ketika seseorang terus-menerus dikritik atau direndahkan oleh orang lain, hal itu dapat merusak rasa percaya diri mereka secara bertahap. 

Mereka mulai meragukan kemampuan mereka sendiri dan menjadi lebih tidak yakin dalam mengambil langkah-langkah dalam proses pembelajaran atau pencapaian tujuan mereka. Akibatnya, mereka mungkin menarik diri dari interaksi sosial atau bahkan menghindari situasi akademis yang memicu perasaan rendah diri.

Selain itu, perilaku merendahkan juga dapat menyebabkan penurunan motivasi pada individu yang menjadi targetnya. Ketika seseorang terus-menerus diberi sinyal bahwa mereka tidak mampu atau tidak layak, mereka mungkin kehilangan semangat untuk berusaha lebih keras atau mencapai potensi penuh mereka. Ini dapat mengarah pada sikap yang menyerah atau kurangnya minat dalam belajar dan berkembang.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Juvonen dan Gross dari University of California, Los Angeles (UCLA) pada tahun 2016 menyediakan gambaran yang jelas tentang dampak negatif perilaku merendahkan terhadap mahasiswa. Penelitian ini melibatkan survei terhadap lebih dari 2.000 siswa sekolah menengah dari berbagai latar belakang di Amerika Serikat. 

Hasilnya menunjukkan bahwa mahasiswa yang sering menjadi korban pelecehan verbal atau merasa direndahkan oleh teman sekelasnya cenderung mengalami penurunan kesejahteraan psikologis dan akademis.

Penelitian ini menemukan bahwa mahasiswa yang sering menjadi korban pelecehan verbal atau merasa direndahkan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami perilaku semacam itu. Mereka juga lebih cenderung mengalami gejala depresi dan kecemasan. 

Selain itu, penelitian tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa yang menjadi korban perilaku merendahkan memiliki kinerja akademis yang lebih rendah, termasuk nilai yang lebih buruk dan absensi yang lebih tinggi, dibandingkan dengan teman sekelas mereka yang tidak mengalami pelecehan verbal.

Dari temuan ini, kita dapat melihat bahwa perilaku merendahkan tidak hanya memiliki dampak psikologis, tetapi juga dampak nyata terhadap prestasi akademis individu yang terlibat. Mahasiswa yang menjadi korban perilaku merendahkan mungkin mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan belajar secara efektif, yang pada gilirannya memengaruhi kinerja mereka di kelas.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita sebagai mahasiswa untuk mengatasi perilaku merendahkan ini dengan serius. Pertama-tama, kita perlu meningkatkan kesadaran akan dampak negatifnya. 

Dengan mengakui bahwa semua orang memiliki kekuatan dan kelemahan mereka sendiri, kita dapat memahami bahwa tidak ada yang berhak merendahkan orang lain hanya karena perbedaan dalam kemampuan akademis. Selain itu, kita juga perlu menginternalisasi nilai-nilai seperti kerendahan hati, empati, dan kerjasama sebagai bagian integral dari pembelajaran dan pertumbuhan pribadi.

Peran Pengajar dan Lembaga Pendidikan

Setelah mengidentifikasi solusi untuk menangani perilaku merendahkan di antara mahasiswa, penting untuk memahami peran yang dimainkan oleh pengajar dan lembaga pendidikan dalam memperbaiki masalah tersebut. Mereka memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan mendukung bagi semua individu.

Pertama-tama, pengajar memiliki kesempatan untuk menjadi model peran yang positif bagi mahasiswa mereka. Mereka dapat memperlihatkan sikap kerendahan hati, empati, dan penghargaan terhadap keberagaman kepada mahasiswa mereka melalui perilaku dan interaksi sehari-hari. Pengajar juga dapat menciptakan ruang diskusi yang terbuka di mana mahasiswa merasa nyaman untuk berbagi ide, mengemukakan pertanyaan, dan berpartisipasi tanpa takut akan dicemooh atau direndahkan.

Selain itu, pengajar juga dapat memainkan peran yang aktif dalam mendeteksi dan menangani perilaku merendahkan di kelas. Mereka harus siap untuk mengintervensi ketika mereka menyaksikan perilaku merendahkan, baik dengan memberikan teguran secara pribadi kepada pelaku maupun dengan mengorganisir diskusi kelas tentang pentingnya menghormati satu sama lain. Pengajar juga dapat memberikan dukungan ekstra kepada mahasiswa yang menjadi korban perilaku merendahkan, seperti menawarkan konseling atau bimbingan akademis.

Di samping itu, lembaga pendidikan juga memiliki peran yang penting dalam menciptakan budaya yang menghargai keragaman dan mengatasi perilaku merendahkan. Mereka dapat menyelenggarakan program pelatihan dan workshop untuk mengedukasi staf dan mahasiswa tentang pentingnya menghormati satu sama lain dan cara mengatasi konflik dengan cara yang produktif. Lembaga pendidikan juga dapat menerapkan kebijakan yang jelas dan tegas terkait dengan perilaku merendahkan, serta memberikan sanksi kepada pelaku yang melanggar aturan tersebut.

Melalui upaya bersama dari pengajar dan lembaga pendidikan, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pertumbuhan pribadi dan akademis bagi semua individu. Dengan mempromosikan nilai-nilai seperti kerendahan hati, empati, dan penghargaan terhadap keberagaman, kita dapat mengubah budaya di dalam kelas dan di seluruh kampus untuk menjadi lebih inklusif dan mendukung.

Perilaku merendahkan dari mahasiswa yang menganggap dirinya paling pintar memiliki dampak yang merugikan bagi individu dan lingkungan akademis secara keseluruhan. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu meningkatkan kesadaran akan dampak negatifnya, menginternalisasi nilai-nilai seperti kerendahan hati dan empati, serta memperkuat budaya inklusif di dalam lembaga pendidikan. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat membangun lingkungan belajar yang lebih menyenangkan dan mendukung bagi semua orang.

Untuk mengatasi perilaku merendahkan di kalangan mahasiswa, diperlukan langkah-langkah konkret dan implementasi yang dapat diadopsi oleh individu, pengajar, dan lembaga pendidikan. Berikut adalah beberapa solusi yang lebih rinci beserta contoh-contoh implementasinya:

  1. Pendidikan tentang Kesadaran Diri dan Empati: Lembaga pendidikan dapat menyelenggarakan program pendidikan yang fokus pada kesadaran diri dan empati. Mahasiswa dapat diajarkan untuk memahami dampak dari perilaku mereka terhadap orang lain dan bagaimana menempatkan diri mereka dalam posisi orang lain. Contoh implementasinya adalah mengadakan workshop, seminar, atau pelatihan khusus yang membahas tentang pentingnya empati dalam membangun hubungan yang sehat di lingkungan akademis.
  2. Pengembangan Keterampilan Sosial dan Emosional: Individu yang terlibat dalam perilaku merendahkan dapat diberikan pelatihan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang diperlukan untuk berinteraksi dengan orang lain secara positif. Contoh implementasinya adalah menyediakan konseling atau sesi bimbingan yang difokuskan pada pengembangan keterampilan komunikasi, penyelesaian konflik, dan manajemen emosi.
  3. Penegakan Kebijakan yang Jelas: Lembaga pendidikan perlu memiliki kebijakan yang jelas dan tegas terkait dengan perilaku merendahkan. Kebijakan ini harus mencakup definisi perilaku merendahkan, konsekuensi bagi pelaku, dan prosedur untuk melaporkan kasus-kasus perilaku semacam itu. Contoh implementasinya adalah menyebarkan kebijakan tersebut kepada seluruh mahasiswa dan staf, serta memastikan penegakan yang konsisten dari kebijakan tersebut.
  4. Pemberdayaan Mahasiswa untuk Melawan Perilaku Merendahkan: Mahasiswa perlu diberdayakan untuk melawan perilaku merendahkan dan mempromosikan budaya penghargaan terhadap keberagaman. Contoh implementasinya adalah dengan mendirikan kelompok dukungan atau kampanye kesadaran di kampus yang bertujuan untuk membangun komunitas yang inklusif dan mendukung.
  5. Penyediaan Sumber Daya dan Dukungan: Lembaga pendidikan perlu menyediakan sumber daya dan dukungan bagi mahasiswa yang menjadi korban perilaku merendahkan. Contoh implementasinya adalah dengan menyediakan layanan konseling, dukungan psikologis, atau kelompok pendukung bagi mereka yang membutuhkannya.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini secara konsisten dan berkelanjutan, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman, inklusif, dan mendukung bagi semua individu di dalamnya. Penting bagi kita semua, baik sebagai individu maupun lembaga pendidikan, untuk berkomitmen dalam mengatasi perilaku merendahkan dan mempromosikan budaya penghargaan terhadap keberagaman di lingkungan akademis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun