Mohon tunggu...
Refondi Ramadha
Refondi Ramadha Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

Penulis Garing Yang Punya Cita-CIta Untuk Mengelilingi Dunia Tapi Takut Mabuk Kendaraan Ini Punya motto "Menulis sebagai bentuk syukur atas karunia Tuhan dan media berbagi kebahagian"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Fabel: Diari Rubah

7 Januari 2021   21:34 Diperbarui: 7 Januari 2021   21:36 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Devap, Seorang gadis rubah yang memiliki tinggi tubuh yang nyaris melebihi aku. Hanya saja seperti wanita idealis pada umumnya, dia memiliki tubuh yang terbilang kecil.

Bahkan nyaris lidahku terpeleset menjulukinya jerangkong hidup saat mulai pertama mengenalnya. Tapi karena aku masih sangat sayang dengan nyawaku. Maka kubungkam saja ucapan itu.

Pertemuan pertama kami tidak begitu spesial. Mengingat pada saat itu aku dikenal sebagai Rubah Penyendiri yang sibuk karena pekerjaan menulis, jadinya aku sulit untuk bergaul dengan seorang gadis.

Kurasa itu adalah ketakutanku yang paling buruk, karena aku selalu memiliki perasaaan canggung dalam bertemu wanita.

Entah itu tidak sengaja memegang tangan, berkenalan karena satu kelompok kerja atau mungkin ada kejadian tabrakan ala drama romantis di televisi. Itu adalah harapan indahku jika nanti bertemu dengan seorang wanita. Tapi naytanya itu tidak berlaku untuk pertemuanku dengan Devap.

Wanita bengis itu dengan raut muka yang datar tiba-tiba merangsek masuk ke dalam lobby toilet pria. Aku yang pada waktu bersamaan juga ingin buang hajat, dengan terpaksa berebut gagang pintu. Terjadilah perdebatan yang begitu sengit diantara kami.

Hingga kemudian segelintir air keluar memenuhi pipinya. Bibirnya kemudian sedikit melakukan pergerakan yang membuatku canggung.

"Apakah dia akan mengutukku?" batinku yang mulai mendapat gambaran buruk.

Kurasa lebih baik aku harus membuat keputusan untuk menyelamatkan nyawaku.

"Baiklah, nona silahkan kamu dulu saja yang masuk" Naluri priaku sudah tidak tahan dengan kemungkinan buruk yang terjadi, apalagi melihat wanita yang berlumur air mata seperti itu pasti dia sudah menyiapkan rapalan kutukan paling buruk.

Bukannya malah masuk, tiba-tiba tangannya merentang meraih badanku dan kemudian didekatlah badanya padaku. Berpelukan,

"Maaf, maaafkan aku..." aku merasa sangat kebingungan.

Kenapa dia sampai meminta maaf. Apakah dia juga sakit perut? dan terlambat mengeluarkan itu. Sehingga ada kemungkinan diriku bisa menjadi korban perdana gas beracunnya.

"..aku tidak begitu mengerti nona, tapi aku tidak akan bilang ini ke siapapun" yap, begitulah langkah bagus untuk menyelematkan nyawaku.

Karena aku membaca sebuah buku tentang wanita, pantang bagi untuk membeberkan aib seorang wanita jika masih sayang nyawa. Apalagi dalam masalah mencret, itu adalah kenangan tabu yang tidak ingin diingat siapapun.

Tangisannya perlahan mulai membias, ya walaupun begitu bajuku sukses menjadi basah karennya. Ya setidaknya itu yang kurasakan karena dipeluknya. Perlahan genggaman tanganya melonggar.

Jiwaku mulai terbebas kembali. Sepertinya kata-kataku telah berhasil menenangkan dirinya. Tapi aku yakin kata tidak akan menyelesaikan mencretnya. Makanya aku mencoba menawarkan sesuatu

"Baiklah nona, itu sangat menyakitkan dari. Rasanya pasti menyedihkan kala di usia dewasa ini kita mengalaminya. Tapi beruntunglah, ada saya disini. Saya bisa membantu masalahmu, bahkan jika itu harus melawan dunia ini. Jadi jangan sungkan" wanita itu tidak membalas sedikitpun, hanya sedu seduan yang terus keluar dari mulutnya. Sesekali dia menatapku.

Ah sial, aku malah menjadi salah tingkah. Pandangannya malah membuatku berfikir ulang tentang ucapan barusan. Apakah harus kuberi penjelasan ya atau tidak usah. Tapi memang bahasaku ini mungkin sedikit berlebihan ditambah lagi ini tidak pas dalam menenangkan orang mencret.

"Hahahaha benarkah kau ingin membantuku?" Eh kenapa dia tertawa, apakah ucapanku.

"Tentu saja nona,

Wanita itu malah menariknya menjauh. Kebingunganku belum berakhir.

Dan naasnya, saat  itu perutkumulai menunjukan sinyal bahaya. Ingin rasanya kabur. Tapi pantang baginya menolak wanita.

Gas dalam perutku mulai dalam tahap panasnya. Tubuhku berkeringat begitu hebat menahannya. Ditambah rasa canggung saat tadi dia memeluku telah membuat pencernaan om-om rubah ini kesakitan.

"Anu, kemana kita nona?" Dia tidak menjawab, hanya terus melangkah sambil menuju ke lahan parkirannya di bawah gedung.

Hingga kemudian berhentilah kami di mobil Foxwagon yang nampak berkilau karena sering dirawat.

"Tunggu sebentar ya" Wanita itu masuk ke mobil, dia sibuk mencari seusatu

Preeet, uh perutku sudah merasa tidak tahan lagi. Apa ini memang sudah waktunya bagiku untuk pergi.

"Ketemu" seru wanita itu dari dalam mobil.

Keluarlah dia dengan muka yang nampak bahagia. Kemudian disodorkan lah sebuah buku dan sebuah spidol.

Rasanya aku pernah melihat buku ini, nama pengarangnya ialah

Namaku sendiri, Ya ini adalah buku karanganku sendiri

"Mohon ditanda tangani ya tuan Efon. Aku sudah lama sekali berusaha menemuimu. Sampai kemudian aku melihatmu mau ke kamar mandi. Karena sudah tidak tahan aku samperin saja deh hehe"

"lalu..."

"Mohon ditanda tangani ya"

Hemmm, sejenak saat itu jiwaku menjadi damai. Kensunyian merasuk dalam kalbuku. Hanya satu yang kurasakan.

PReettt, benda "Itu" Sudah keluar karena tidak tertahan.

".............Bau apa ini tuan Efon? jangan bilang tuan!"

Sepertinya perjuanganku hanya sampai di sini saja, rasanya aku mau mati saja saat itu juga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun