Keberadaan pandemi COVID-19 benar-benar sukses merombak sistem masyarakat dari segala aspek. Salah satunya telah efektif membuat kegiatan kembali belajar di sekolah menjadi mengambang.
Menanggapi bahaya tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mulai bergerak untuk mengatasi potensi penularan di masyarakat.
Dimulai dari menata ulang pola pendidikan, hingga aspek budaya. Hal ini diwujudkan dalam bentuk kebijakan pengurangan aktifitas bermasyarakat dan itensitas jumlah orang pada kegiatan daerah, khususnya kegiatan pendidikan dan kebudayaan. Â
Melansir dari daerah Kabupaten Blitar, ada beberapa kegiatan budaya yang tetap diadakan seperti halnya Perayaan Hari Jadi Blitar ke-696 pada agustus 2020 lalu. Namun perayaan kali ini menjadi berbeda karena terbatas syarat-syarat pelaksanaan, seperti memastikan kondisi daerah dan juga kesehatan orang yang terlibat.
Adapun juga pengurangan keterlibatan pelajar hingga pengunjung untuk menghidari keramaian. Sehingga tidak mengherankan apabila event kebudayaan daerah di tahun 2020 mulai sepi seperti kehilangan ruh-nya serta peminatnya.
Yang paling penulis sorot, jikalau dulu pelajar sekolah diwajibkan untuk berperan serta dalam kegiatan budaya sebagai langkah penguatan identitas bangsa bagi generasi milenial. Maka sekarang tujuan tersebut harus pupus, mengingat hampir semua kegiatan secara ketat menyaring partisipannya.
Menanggapi hal tersebut, beberapa pemerintah daerah berusaha mengolaborasikan kegiatan budaya dengan teknologi. Salah satunya dengan siaran langsung kegiatan budaya setempat secara virtual. Bahkan agar terlaksana dengan mulus, dikeluarkanlah beberapa kebijakan yang mewajibkan setiap instasi dan semua pelajar di zona daerah setempat untuk menyaksikan helatan acara lewat media sosial.
Namun, bukannya malah meningkatkan antusiasme. Keberadaan kebijakan tersebut hanya menjadi ajang untuk menaikkan intensitas berkunjung di laman media sosial terkait. Tidak ada penekanan tentang edukasi serta pemberian informasi kepada para pelajar yang menonton. Bahkan dalam praktiknya, kebanyakan hanya mengaktifkan gawainya untuk aktif di siarannya namun isinya tidak diperhatikan.
Maka dari itu peran dari adanya kebijakan inovatif dalam menggemakan budaya sangat sangat diperlukan untuk menggait minat generasi milenial.
Adapun konsep tersebut dapat diwujudkan dengan membuat kontes ilustrasi bercerita. Dimana kegiatan ini bisa dilakukan secara berkelompok untuk meresensi sebuah budaya menjadi gambar yang ditambahkan karya sastra.
Tujuan dari pembuatan ilustrasi ini bukan semata untuk dinilai kebagusan dan keindahannya. Namun lebih ditujukan agar para generasi milenial ini memahami tiap unsur yang melekat serta memahami sisi filosofisnya.
Contoh saja seperti mempelajari pernak-pernik pakaian adat jawa yang kaya akan makna dalam bentuknya. Akan menjadi sangat sulit jika hanya sekedar dibaca ataupun Cuma ditonton sekilas saja. Dengan seni menggores kertas kosong dengan berbagai warna akan mengurangi tekanan stress seseorang. Pikiran akan menjadi lebih segar dan kreatif. Mengingat dengan seni jiwa menjadi lebih bebas dan merdeka.
Sehigga dari rasa merdeka tersebut, maka proses "transfer of knowledge" tentang budaya akan berlansung secara efektif walaupun diterpa marabahaya pandemi COVID-19.
Dan juga dengan memainkan peran media sosial, penulis yakin akan gagasan "belajar bukan untuk membaca, tapi membaca ada bagian belajar" yang tertuang dalam buku Literasi Menggerakan Negeri akan tercapai
"budaya bangsa hidup di hati rakyatnya"
Begitulah kurang lebih pernyataan singkat dari Mahatma Gandhi akan pentingnya unsur rakyat. Mengingat budaya hanyalah sekedar alat yang menunggu para rakyat untuk memainkanya. Jika rakyat dibatasi untuk mengaksesnya, maka apa yang dinamakan budaya hanya akan menjadi pajangan saja. Oleh karena itu jiwa masyarakat harus diolah secara kreatif walaupun terbatas secara sosial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H