Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, baik diranah publik maupun ranah privat. Sebab terjadinya pelecehan seksual bukan karena cara berpakaian, minyak wangi yang dikenakan, prilaku seseorang dan suara yang mendesah. Melainkan akibat dari tindakan yang juga dimotivasi oleh hasrat seksual yang superior dan memaksa.
Judith Berman dari Advisory Committee Yale College Grievance Board and New York University mendefinisikan pelecehan seksual merupakan tingkah laku seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang, baik secara fisik, verbal maupun psikis yang bertujuan untuk merendahkan martabat, intimidasi, hinaan dan paksaan.
Selain itu, Judith Berman menambahkan bahwa tindakan ini rentan penyalahgunaan kuasa, relasi posisi yang menempatkan kedudukan si pelaku untuk memegang kendali superioritasnya, sarat dominasi kuasa.
Hal yang sama, tertuang dalam Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Pada pasal 1 mendefinisikan kekerasan sekual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan dan/atau menyerang tubuh dan/atau fungsi reproduksi seseorang.
Akan tetapi, mitos yang beredar di kalangan masyarakat bahwa pelecehan seksual dapat terjadi kepada perempuan yang sedang sendirian, pada malam hari, ditempat sepi dan sunyi. Apakah iya ?
Faktanya, Pelecehan justru banyak terjadi di ruang-ruang publik dan tempat umum. Walaupun tempat-tempat ruang publik ramai dengan orang. Namun pelaku tetap melakukan aksi nya tanpa mempedulikan orang sekitar.
Kemudian dipertegas dengan studi kuantitatif yang dilakukan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa dari 5 sampai 7 orang pernah mengalami kekerasan seksual dan kebanyakan kasus pelecehan seksual terjadi ditempat umum, yakni di stadion, Mal, transportasi publik, jalanan umum, terminal, stasiun, kampus atau sekolah.
Menurut data Catatan Tahunan Komnas Perempuan menyebutkan pada tahun 2021, menerima laporan berjumlah 2204 kasus kekerasan seksual, berupa pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi dan pemaksaan kontrasepsi, baik diranah rumah tangga, personal maupun diranah publik.
Dalam data yang sama sepanjang tahun 2021 jumlah kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan mulai dari pendidikan dasar, menenganh hingga kampus. Lembaga layanan menerima pengaduan kekerasan di lembaga pendidikan berjumlah 213 kasus sedangkan Komnas Perempuan menerima pengaduan kekerasan di lembaga pendidikan sebanyak 12 kasus.
Sungguh darurat, kampus yang seharusnya tempat untuk menimba ilmu malah menjadi sangkar kekerasan seksual. Bahkan Kemendikbudristek membuat survei pada tahun 2020 menyatakan sebanyak 77% dosen mengakui bahwa dikampusnya telah terjadinya kekerasan seksual dan yang tidak melaporkan sebanyak 63%.
Beragam alasan kenapa kasus pelecehan seksual tidak dilaporkan, diantaranya pelaku memiliki kuasa dengan pemangku kebijakan, adanya ancaman dan yang paling parah adalah dalih menjaga nama baik kampus.
Justru sikap seperti ini dapat menciderai pendidikan. Kampus tidak memberikan tempat kenyamanan, perlindungan dan keamanan bagi para korban pelecehan seksual.
Seharusnya, hadirnya Satgas di perguruan tinggi yang diamanatkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) menjadi angin segar dan secercah harapan baru yang dapat memberikan keadilan.
Akan tetapi satgas PPKS masih dianggap hal remeh, maka tidak heran maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Bukan karena tanpa alasan, melainkan satgas ini, belum menjalankan kerja-kerjanya secara maksimal dan optimal.
Seperti yang terjadi di Universitas Gunadarna, pelaku ditelanjangi, dicekoki air kencing, dan diikat di pohon oleh beberapa mahasiswa yang ingin membalas atas tindakannya yang melakukan pelecehan seksual.
Pembalasan ini memang keliru dan salah, mereka membalas pelecehan seksual dengan melakukan pelecehan kembali kepada pelaku.
Perilaku ini dapat menjadi serangan balik bagi mereka, karena pelaku dapat melakukan laporan kepada pihak yang berwajib atas tuduhan pelecehan dan perundungan.
Ini menjadi salah satu alasan kurangnya kesadaran baik mahasiswa, dosen serta pejabat kampus untuk tidak melangkahi satgas PPKS.
Dengan adanya kebijakan kemendikbudristek dan pembentukan satgas diharapkan dapat menimalisir kasus pelecehan seksual di ruang lingkup akademik.
Mari kita ciptakan kampus yang aman, nyaman dan damai.
“kasus pelecehan seksual tidak dapat ditoleransi”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI