Kini kita telah memasuki Tahun Baru Imlek, Suasana riuh kesenangan sudah dapat dirasakan jauh-jauh hari kebelakang.
Hiasan-hiasan ornamen khas imlek mulai mendominasi disetiap sudut kota, baik perumahan hingga pusat perbelanjaan.
Terlepas gegap gempitanya Imlek saat ini, Perayaan Imlek di Indonesia, menurut sejarah, pernah dilarang selama dibawah rezim orde baru. Kebijakan ini hadir dengan alasan asimilasi yang menginginkan masyarakat Tionghoa agar berbaur dengan penduduk pribumi.
Pelarangan ini dipertegas dengan dasar hukum yang termuat dalam instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan adat istiadat Cina.
Dalam peraturan itu, masyarakat Tionghoa dilarang untuk merayakan hari rayanya secara umum seperti sekarang ini.
Selama lebih dari tiga dekade masyarakat Tionghoa hidup dibawah kebijakan asimilasi ala Orde baru ini, yang berusaha memisahkan dan mengikis identitas kaum Etnis Tionghoa.
Selama masa itu, Hari raya Imlek dilakukan secara privat dilingkungan keluarga Tionghoa. Maka tidak heran, kesan masyarakat pribumi terhadap masyarakat Tionghoa bersifat eksklusif dan tertutup. Hal ini menyebabkan rasisme struktural ditengah-tengah masyarakat Indonesia.
Jika kita tengok pada masa awal masehi, menurut Sejarawan J.C van Leur, masyarakat Tionghoa sudah menjalin hubungan dagang dan bermukim di Indonesia.
Tidak hanya itu, pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial membangun pemukiman tersendiri khusus bagi masyarakat Tionghoa yang hari ini kita kenal dengan sebutan pecinan.
Pada saat lengsernya Orde Baru, masuknya Masa Reformasi menjadi angin segar dan secercah harapan baru bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Bagaimana tidak, melalui Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998, Presiden B.J Habibie mencabut berbagai aturan diskriminatif terhadap warga Tionghoa di Indonesia.
Warga Tionghoa memiliki kebebasan berekspresi  budaya Tionghoa ke khalayak yang lebih luas.
Budaya Tionghoa semakin memperlebar budaya dan ekspresinya ketika Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia menggantikan B.J Habibie.
Kala itu, Gus Dur membawa konsep pluralisme dalam kehidupan bernegara. Yang dimana konsep ini mengakui seluruh elemen suku di Indonesia tanpa terkecuali.
Konsep ini mendobrak stigma masyarakat awam, bahwasanya Tionghoa adalah bangsa asing atau non-pribumi.
Dengan kepercayaan dirinya yang tegas, Gus Dur mencabut pelarangan bagi masyarakat Tionghoa yang termuat dalam Inpres No.14 Tahun 1967 kemudian digantikan dengan Inpres No.6 Tahun 2000 yang mempersilahkan masyarakat Tionghoa untuk menggelar kepercayaanya dan kebudayaannya.
Setahun setelahnya, Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, hal ini tertulis dalam Keputusan presiden N0. 9 Tahun 2001. Yang kemudian Hari Raya Imlek diresmikan sebagai hari libur Nasional oleh Megawati melalui Keppres No. 19 Tahun 2002.
Mesranya Gus Dur dengan hari Imlek memang tidak pernah sirna dari sejarah. Sosok Gus Dur dengan konsep pluralism kebangsaanya menjadi sejarah baru bagi warga Tionghoa.
Bahkan, dengan sosoknya yang humanis Gus Dur dijuluki sebagai "Bapak Tionghoa". Atas peran, jasa dan berkat Gus Dur hari raya Imlek dapat dirayakan sebagaimana mesti keagamaan lainnya.
Meskipun sosok beliau sudah tidak ada, Nama Gus Dur tetap tertancap kuat dan selalu dikenang dalam ingatan masyarakat Tionghoa sebagai figur yang sangat berjasa.
Atas rasa cinta dan penghormatan Warga Tionghoa kepada Gus Dur yang wafat pada 2009 silam. Masyarakat Tionghoa di Surabaya meletakkan fotonya di Kelenteng Boen Bio.
Atas jasanya Masyarakat umum dapat menikmati penampilan kesenian barongsai dan ornament-ornamen indah. Atas perannya, masyarakat Indonesia dapat merasakan kebahagiaan tradisi bagi-bagi angpau. Berkatnya masyarakat dapat belajar tentang kebudayaan dan tradisi warga Tionghoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H