Zaman sekarang ini, sangat mudah untuk melakukan sesuatu dan sangat mudah pula untuk melakukan kesalahan. Dapat diketahui, kondisi Indonesia saat ini per Juni 2020 ada sekitar 229.313 Narapidana dan Tahanan, padahal kapasitas yang tersedia 132.843, itu berarti over kapasitas sekitar 73% menurut Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS).
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa masyarakat di Indonesia, masih memiliki sifat yang cenderung melawan aturan, karena kondisi mereka yang kebanyakan mengalami kekurangan ekonomi. Sebenarnya ini tugas besar dari negara untuk menyejahterakan masyarakat. Membuat suatu kebijakan demi kebaikan bersama, diperlukan inovasi-inovasi untuk menaikkan perekonomian masyarakat.
Sebenarnya jika ditarik pertanyaan. Apa sebenarnya kelanjutan dari penebusan terhadap perilaku Narapidana? Apakah hanya berhenti saat dibina untuk menjadi masyarakat yang lebih baik lagi dari sebelumnya? Padahal perekonomian di Indonesia juga kurang begitu stabil, sehingga perlu integerasi dari beberapa pihak yang memang memiliki perspektif hukum yang baik.
Jika dilihat semakin berkembang zaman, bukan penghukuman tindakan terakhir Aparat Penegak Hukum (APH). Tetapi, lebih daripada itu, Hak Asasi Manusia harus dilindungi dan ditegakkan, untuk itu perlu metode untuk menjadikan masyarakat yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Seluruh masyarakat memang memiliki hak untuk hidup, hak untuk bebas menentukan apa yang mereka kehendaki. Tetapi jika sudah diberikan hak, mereka tetap melanggar ketentuan yang sudah diatur, maka mereka harus menanggung dan harus dibina, karena dianggap mereka meninggalkan, ditinggalkan, atau tertinggal oleh yang lain.
Untuk itu perlu adanya pembinaan dan bimbingan secara khusus kepada yang bersangkutan agar mereka memiliki konseptual dan perspektif yang sama dengan yang lain, yaitu mengikuti konstitusi dan apa yang telah diatur, menjalankan apa yang harus diijalankan, serta menggunakan hak yang telah diberikan dengan sebaik-baiknya.
Pemberian pidana seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Over Kapasitas yang terjadi saat ini malah semakin tinggi di berbagai UPT Rutan dan Lapas.
Metode yang diberikan seakan-akan selalu tidak efektif, akibatnya masyarakat yang sudah melakukan tindak pidana tidak merasa jera, meskipun Pemasyarakatan saat ini bukan memberikan efek jera, tetapi mengembalikan mereka agar bisa kembali ke masyarakat dengan baik.
Namun, jangan disalahartikan, maksud menjadi masyarakat yang 'baik' adalah orang yang taat aturan dan tidak berbuat tindak pidana seperti yang dilakukan dahulu.
Untuk itu sangat perlu diberikan pembinaan dan bimbingan agar mereka mengetahui dimana sisi baik dan buruk, baru setelah itu ibaratnya praktek secara langsung, di kehidupan nyata, yaitu membaur dengan masyarakat luas.
Kita pasti banyak yang memiliki perspektif bahwa harus menghukum pelaku pelanggar hukum seberat-beratnya. Padahal mereka juga memiliki hak untuk hidup bebas, meskipun mereka telah melakukan sesuatu yang melanggar hukum, dengan begitu, kita pasti banyak yang memiliki perspektif untuk memikirkan nasib korban, bagaimana kondisi orang yang menjadi korban kejahatan, akankah diganti rugi, atau ada tindak lanjut.
Oleh karena itu di era sekarang ini sangat cocok jika dilakukan Restorative Justice. Konsep pendekatan Restorative Justice ini merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan serta keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban.
Mekanisme peradilan pidana yang mulanya berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog sekaigus mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Hal ini lebih khusus lagi kepada anak, dimana anak memiliki usia 12 tahun hingga sebelum 18 tahun. Mereka inilah yang menjadi pengganti SDM yang saat ini menduduki kursi legislasi, mereka lah yang nantinya menjadi penerus, untuk itu perlu mendapatkan ilmu dengan sebanyak-banyaknya di segala bidang disiplin ilmu.
Sebenarnya, jika dilihat sisi kemanusiaan, memang memberikan kesempatan untuk pelaku pelanggar hukum untuk menyesali perbuatan sebelum mereka harus mendekam di balik jeruji selama beberapa tahun lamanya.
Serta memberikan kesempatan bagi korban dan masyarakat untuk memaafkan serta mengambil jalan tengah kelanjutan permasalahannya. Terkhusus bagi anak, mungkin bisa diberikan opsi pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/Wali, diikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan sesuai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Untuk itu Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dapat menjadi ujung tombak di kemasyarakatan, sesuai arahan Menteri Hukum dan HAM Bapak Yasonna Laoly. Artinya, harus adanya pemahaman hal ini karena seiring berjalannya waktu aturan juga flexibel, mengikuti arus perkembangannya, karena jika masih terpaku pada aturan konvensional akan menimbulkan beberapa efek yang kurang baik bagi pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Tujuan Restorative Justice ini adalah memulihkan kembali hubungan para pihak dan kerugian yang diderita oleh korban kejahatan serta memulihkan kembali hubungan sebelum terjadinya tindak pidana dan diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi majelis hakim peradilan pidana dalam meringankan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut, atau bahkan upaya diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI