HPN 2022 kali ini, harusnya menjadikan kemerdekaan, kesejahteraan pers menjadi kenyataan sebagaimana harapan mereka. Hal ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia akan informasi yang bersesuaian dengan perkembangan teknologi yang serba cepat, ditambah dengan pandemic covid-19 yang tak kunjung usai, mengharuskan para pembaca beralih ke media digital ataupun media sosial.
Internetworldstats mencatat pengguna internet Indonesia mencapai 212,35 juta jiwa pada Maret 2021 lalu dengan posisi peringkat ketiga terbanyak di Asia. Artinya, hampir semua masyarakat Indonesia dengan jumlah populasi kurang lebih 270 juta jiwa, tidak lagi melek teknologi informasi dan komunikasi.
Lembaga survei Reuters Institute di akhir tahun 2021 menyatakan pembaca digital berbayar di Indonesia lebih banyak bila ketimbang media cetak. Bahkan Indonesia berada diperingkat kedua terbesar di Asia Pasifik dengan persentase 19 persen. Dari data ini sudah menunjukkan bagaimana ketersediaan informasi sudah menjadi kebutuhan sehari-hari.
Pada kisaran tahun 2018 silam Kementerian Komunikasi dan Informatika memperkirakan ada sekitar 43 ribu portal berita online, namun yang terverifikasi dewan pers hanya 100 media. Bila ditinjau dari segi kuantitas jumlah media online sangatlah banyak, tetapi dari segi kualitas tidaklah seimbang.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pers dan perusahaan pers. Para pers dituntut untuk lebih peka terhadap isu-isu sentral yang berkembang. Sehingga dalam mencari, mendapat, mengemas dan menyajikan sebuah berita dengan cepat, berimbang, dan ketepatan akurasi sumber berita menjadi salah satu tolok ukur kebenaran sebuah informasi.
Kebenaran sebuah informasi tidak lepas dari siapa yang mengulasnya. Sudah barang tentu merupakan sebuah kewajaran bila itu dilakukan oleh pers yang mengharuskan dirinya untuk bekerja cepat. Nahasnya, kesalahan ini dijadikan ancaman dan aparat penegak hukum pun terseret dalam sengketa dengan mengabaikan mekanisme yang ada.
Ironisnya, masih banyak perusahaan pers sengaja mengeksploitasi nama dan skill para pers untuk menaikkan rating pembaca/penonton, tanpa memperhatikan kesejahteraan, keamanan dan keselamatan mereka dalam melaksanakan tugas sebagai seorang pers. Meskipun sering dijadikan target incaran, serta korban kekerasan dan pembunuhan.
Tidak sedikit organisasi pers beramai-ramai menawarkan "payung" untuk melegitimasi keberadaan pers. Ketika berada pada kemalangan dengan konsekuensi menjadi korban, organisasi pers memberikan "dukungan moral" hingga "aksi solidaritas" upaya hukum gencar dilakukan, namun melupakan pentingnya sokongan dana bagi keluarga korban.
Kehidupan pers seperti dua sisi mata uang. Pada satu sisi mereka dituntut professional, namun disisi lainnya mereka harus menjaga diri agar tetap bisa makan dan pulang dengan selamat.
Hal yang demikian sudah bukan rahasia lagi, sehingga banyak para pers terpaksa resign untuk beralih profesi hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga, padahal punya kualitas mumpuni. Namun sayang, tidak semuanya berhasil. Ada juga yang terpaksa menjadi seorang blogger hanya untuk sekedar menyalurkan bakat seorang pers professional.
Namun tak selamanya berjalan mulus, mereka sering dibully sebagai "wartawan abal-abal" oleh sebagian teman se-profesi, karena belum tersertifikasi dewan pers. Sebab, diketahui sertifikasi dewan pers merupakan legitimasi sebagai bentuk pengakuan yang cenderung diskriminatif.
Memang tidak bisa digeneralisasi secara membabi-buta, namun realitas yang terjadi demikian. Belum lagi sejumlah persyaratan sertifikasi yang mengharuskan berada dalam naungan perusahaan pers yang sudah diverifikasi oleh dewan pers. Mungkin saja ini bisa menjadi perenungan bagi kita semua.
Sulit pula untuk mengakui, banyak sekali media-media online berskala kecil ataupun besar yang sudah terverifikasi dewan pers, bukannya dimanfaatkan sebagai "corong informasi" pilar kebangsaan, malahan digunakan sebagai mesin "propaganda" semata untuk mendongkrak popularitas sosial politik si empunya media.
Harapannya, pers harus tetap loyal terhadap perusahaan pers secara professional dengan mengedepankan sisi akurat, tepat, cepat, dan selalu mengikuti kode etik dalam setiap penyajian informasi meskipun belum tersertifikasi dewan pers.
Semoga saja ada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang mengkhususkan para pers untuk mengambil sertifikasi profesi tanpa harus ada embel-embel persyaratan yang mustahil. Akan tetapi lebih mengutamakan materi pembentukan professionalitas SDM para pers, ketimbang mengutamakan patokan biaya setinggi langit yang sulit untuk dipenuhi.
HPN 2022 menjadi momentum perubahan bagi semua pihak (perusahaan pers, pers, serikat pers dan dewan pers) untuk lebih pro-aktif melakukan pembenahan ke arah yang lebih baik lagi. Terutama sumberdaya manusia, kesejahteraan, keselamatan, dalam menghadapi sengketa pemberitaan.
Sekiranya kesejahteraan pers menjadi kenyataan yang sesuai dengan harapan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai professionalisme yang berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Selamat Memperingati Hari Pers Nasional 2022 bagi saudara-saudaraku sesama insan pers. Ingatlah semboyan ini: "Selalu Terdepan Mencerahkan" dan "Kabarkan yang Jelas Jangan Kaburkan yang Jelas"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H