( Resonansi dibalik dinamika Muktamar XXII IPM )
Muktamar XXII IPM di Purwekorto secara filosofis dapat dikatakan belum selesai. Ketok palu Pimpinan Sidang dalam Pleno Keputusan Induk nyatanya tidak mengartikan sebuah kemufakatan.
Dinamika ini akhirnya meninggalkan jejak-jejak pertanyaan yang mesti terjawab secepatnya. Jejak yang sedang ditelusuri oleh Para Kader IPM se-Indonesia ternyata memberikan efek yang besar dalam pola berfikir aktivis IPM sendiri.
Sehingga persoalan ini cenderung dipandang secara subjektif  dan tidak  filosofif, yang akhirnya menimbulkan perpecahan dan hampir meninggalkan filosofi Musyawarah itu sendiri.
Kata filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani, pertama  philos yang berarti cinta dan shopos yang berarti kebenaran / kebijaksanaan. Maka secara harfiah filsafat dapat kita artikan dengan mencintai kebenaran / kebijaksanaan.
Perlu kita ketahui bahwa filsafat memiliki cabang-cabang untuk mencapai sebuah kebijaksanaan tersebut. Ontologi yang membahas hakikat keberadaan, epistemologi yang mendalami sumber-sumber pengetahuan, dan terakhir adalah aksiologi yang mencari nilai serta kebermanfaatan akan pengetahuan tersebut.
Maka pada saat ini, kader IPM perlu lagi mengkaji fisafat dari Musyawarah tersebut. Memahami musyawarah dengan berfikir filosofis akan mengantarkan kita pada sebuah kata yang sangat dirindukan oleh para Musyawirin, yaitu mufakat.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia ( KBBI ), musywarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; Â perundingan; perembukan. Dalam bahasa arab --asal kata musyawarah- musyawarah adalah bentuk mashdar ( kata benda ) yang diambil dari fi'il ( kata kerja ) - yang mengandung arti saling memberi isyarat, petunjuk, dan pertimbangan.
Nah, berangkat dari pengertian itu kita dapat melihat esensi dan substansi sebuah musyawarah. Musyawarah yang baik, mengandung makna sebuah kemutualan dalam prosesnya. Proses perundingan timbal balik dan saling meninggalkan subjektifikasi dalam prosesnya akan mengantarkan musyawarah pada hakikat yang sebenarnya.
Kata mufakat dalam musyawarah akan muncul jika kita memahami hakikat musyawarah dengan sempurna. Mencari makna musyawarah yang sebenarnya sukar ditemukan jika kita masih ngotot dengan kepentingan pribadi atau golongan. Karna, mufakat tidak akan pernah ada, jika sinyal-sinyal subjektifikasi itu masih ada.
Kemudian, Musyawarah  juga harus berlandaskan pada hal-hal fundamental dan mutlak untuk dijadikan sebuah pedoman. Musyawarah tidak akan pernah rampung secara utuh jika dilakukan asal-asalan. Artinya, persoalan yang akan dimusyawarahkan dapat terpecahkan jika memperhatikan alur-alur musyawarah itu sendiri.
Pedoman-pedoman atau landasan inilah yang nantinya akan mengantarkan musyawayarah itu pada hakikatnya yang sebenarnya. Sumber-sumber ini pula yang nantinya akan menjadikan musyawarah itu layaknya musyawarah. Pada bagian inilah, kita dituntut untuk berfikir secara mendalam dan kritis terhadap sumber-sumber yang ada ; tentang penerapannya dan konsisten dalam penerapannya tersebut.
Seterusnya, musyawarah yang kolaboratif serta mutualis akan menghasilkan sebuah keputusan yang dapat dinikmati oleh semua pelakunya. Dalam artian, manfaat dari musyawarah itu tidak hanya didapatkan oleh beberapa orang saja atau kelompok. Maka jika hal ini diterapkan, barulah kata mufakat dalam musyarah tersebut benar-benar kita temukan dan dapat dirasakan.
Purna-kata. Saya pribadi hanya terganngu melihat semua persoalan ini. Dan saya harapkan tulisan ini dapat menggetarkan hati kita tentang hakikat musyawarah itu sendiri. Bukan sebagai pakar dan ahli. Atau bahkan membenarkan ini dan menyalahkan yang itu. Tidak. Semua ini murni dari kegelisahan yang tak mau berhenti melihat dinamika yang terjadi.
Salam hangat, salam literasi
Nuun Wal Qolami Wamaa Yashturuun
Indonesia, 10 April 2021
Ramadhanur Putra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H