Mohon tunggu...
Ramadhan Angga Notonegoro
Ramadhan Angga Notonegoro Mohon Tunggu... Human Resources - Sejatine urip iku gawe urup

Pelajar di Sekolah Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membongkar Akar Masalah Sistem Ujian Nasional

3 Desember 2016   15:25 Diperbarui: 3 Desember 2016   17:51 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujian Nasional, sejak saya duduk di bangku kelas 6 SD, saya sudah merasakan ujian Nasional. Ujian semacam ini agaknya tidak dimulai dari angkatan saya, namun jauh di atas saya.

Apa yang salah dari ujian nasional? Untuk menilai ujian nasional, saya akan membuka melalui pendekatan sistem.

Sebuah sistem terdiri dari berbagai unsur-unsur. Unsur-unsur sistem terdiri dari:

  • Tujuan sistem
  • Simpelnya, setiap sistem pasti punya tujuan, contoh sistem tubuh manusia, tujuannya agar manusia kembali pada keseimbangan (homeostatis). Lihatlah saat ada salah satu bagian tubuh yang rusak (terluka misalnya), rasa sakit akan di rasakan oleh seluruh tubuh, dan tubuh akan memperbaiki bagian yang rusak demi mencapai keseimbangan tubuh.
  • Unsur-unsur sistem dan fungsi tiap unsurnya
  • Coba lihatlah keluarga kita, ada ayah, ibu, adik dan kakak kita. Setiap anggota keluarga memiliki kedudukan dan fungsi masing-masing. Dan semuanya saling terhubung untuk mencapai tujuan keluarga. Ayah bekerja mencari nafkah menghidupi keluarga juga menjadi kepala keluarga yang membuat dan menentukan kebijakan untuk keluarga. Ibu menjaga anak-anak, saat ayah tidak bisa memenuhi fungsinya sebagai penyedia sumber ekonomi, maka ibu membantu fungsi ayah mungkin dengan berdagang. Anak-anak mengenyam pendidikan demi keluarga yang lebih baik. Keluarga ini sendiri bagian dari sistem masyarakat. Sehingga jika keluarga ini baik masyarakat akan baik.

Sama halnya dengan Ujian Nasional. Jika dilihat dari unsur-unsurnya. Sistem Ujian Nasional ini saya analogikan seperti unsur sebuah perlombaan. Ada panitia (penyelenggara), ada juri, ada yang melakukan perlombaan, ada standar kemenangan, ada aturan (sanksi dan jaminan), adanya penegak aturan dan tidak lupa tujuannya adalah Menemukan SISWA yang pantas lulus dan tidak pantas melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Penyelenggaranya adalah pemerintah setempat, bisa di spesifikkan dengan sekolah setempat sebagai penyelenggara. Bagi kami, tugas penyelenggara adalah menyiapkan segala keperluan ujian, selama semua logistik dan keperluan lain terpenuhi maka ujian Nasional akan berjalan dengan lancar.

Yang kedua adalah Juri. Juri ini dalam ujian Nasional juga penulis melihat tidak bermasalah secara signifikan. Penulis melihat alat yang digunakan juri untuk menilai jawaban yang dikerjakan siswa sudah universal dan bisa dipertanggungjawabkan sehingga menghasilkan data yang valid, memihak pada kebenaran jawaban. Sehingga tidak bermasalah dalam aspek juri.

Kemudian aturan ujian. Aturannya jelas, semua dikerjakan sendiri, tidak boleh bekerja sama antar sesama peserta ujian. Yang bekerja sama akan dikenai sanksi.

Kemudian yang melakukan perlombaan, dalam hal ini adalah siswa kelas 3, SD, SMP, maupun SMA. Unsur inilah yang banyak sekali bermasalah. Dari pengalaman penulis sendiri, sejak SD penulis sudah disajikan pemandangan saling contek antar peserta ujian. Yang  berarti ini melanggar aturan Ujian. Kenapa bisa begitu? Penulis memandang ini juga terpengaruh unsur lain yakni unsur penegak aturan. Penegak aturan yang masih letoy dalam menegakkan aturan. Mereka membiarkan siswa yang mengikuti ujian Nasional untuk saling contek. Bahkan dalam kasus penulis saat kelas 3 SD dan SMP. Meskipun pengawas ujian yang sekaligus penegak aturan ujian di kelas berasal dari sekolah lain, namun ada konsolidasi dan saling tawar agar tidak terlalu galak dan tegas dengan peserta ujian. Peserta diperbolehkan saja saling contek. Boleh saling contek asalkan tidak sampai membuat gaduh di kelas.

Mengapa bisa terjadi demikian? Bagi penulis, inilah yang menjadi masalahnya. Ingat, setiap sistem bergantung pada sistem di atasnya. Bagi penulis, ini karena kurikulum Indonesia yang berbasis hafalan. Semua harus di hafalkan, para guru bahkan mungkin pemerintah sendiri lebih takut bila anak didik mereka tidak bisa menghafalkan banyak rumus yang disediakan di buku cetak daripada tidak bisa menerapkan rumus di lapangan.

Tentu soal-soal ujian Nasional yang diberikan adalah cerminan dari kurikulum yang hafalan. Sehingga yang anak-anak bawa adalah rumus-rumus yang  berpotensi muncul di ujian nasional. Bertebaran kisi-kisi ujian Nasional yang juga merengek untuk dihafalkan seluruhnya. Les-les tambahan oleh guru diadakan lebih intensif agar kemampuan hafalan lebih baik.

Hasilnya, generasi yang lulus dari Ujian Nasional adalah generasi yang hebat hafalannya yang belum tentu bisa menerapkan seluruh ilmu yang dipelajarinya di kehidupan nyata. Terciptalah pengangguran karena anak-anak didik yang tidak punya skill bertahan hidup di masyarakat. Dari pengangguran, mereka kelaparan kemudian nekat untuk melakukan kriminalitas. Dalam acara sosial yang dilakukan penulis, sering kali penulis menemukan anak-anak dari masyarakat miskin yang komunitas penulis bantu menjadi pelacur, pencuri dan berbagai perbuatan amoral lainnya. Pengangguran menyebabkan kriminalitas, slogan yang tepat dan berlaku universal. Semua dari sistem pendidikan yang mengutamakan hafalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun