Mohon tunggu...
Ramadhani Ray
Ramadhani Ray Mohon Tunggu... -

writing | Literature | disability | Human Rights | Youth | Leadership

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

RUU Penyandang Disabilitas, Gerbang Kemerdekaan Disabilitas Indonesia

23 Agustus 2015   22:15 Diperbarui: 23 Agustus 2015   22:15 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Logo Bergerak untuk Disabilitas"][/caption]

 

Tanggal 17 Agustus 2015, tepat 70 tahun Indonesia merdeka. Bila diibaratkan sebagai seorang manusia, 70 tahun merupakan rentang usia yang panjang. Dalam masa tersebut, tentulah sudah banyak kejadian, pengalaman, bahkan transformasi diri yang dialami. Begitu pula dengan bangsa ini. Banyaknya perubahan dan ragam bidang yang mengalami perkembangan, acap kali menjadi parameter kita saat memaknai perayaan hari kemerdekaan RI setiap tahunnya. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita—bahkan para petinggi negri ini belum menyadari, bahwa masih ada sekelompok masyarakat yang masih terjajah oleh peliknya diskriminasi.

Pada bulan Oktober 2011, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas melalui UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Hal ini berarti, bahwa secara formal negara Indonesia mengakui kebijakan internasional tersebut, serta berkomitmen untuk ikut melaksanakan prinsip-prinsip pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagaimana terkandung di dalamnya. Ratifikasi ini menjadi angin segar bagi masyarakat penyandang disabilitas. Pasalnya, UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang telah ada sebelumnya masih bernuansa belas kasihan, serta sangat jauh dari prinsip pemenuhan hak. Sementara, UU No. 19 tahun 2011 telah berorientasi pada hak asazi manusia. Meski demikian, UU No. 19 tahun 2011 merupakan regulasi normative—hanya mencantumkan hal-hal yang bersifat prinsip, tanpa menyebutkan langkah implementasi, larangan, sanksi, serta siapa pihak yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan setiap hak yang tertera di dalamnya.

Dengan kondisi tersebut, munculah kebutuhan akan UU yang lebih implementatif guna menjamin penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak penyandang disabilitas. Pemikiran inilah yang kemudian mendorong aktivis gerakan disabilitas yang tergabung dalam Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas untuk menyusun RUU tentang Penyandang Disabilitas sejak tahun 2013. Maka, dimulailah perjalanan advokasi RUU penyandang disabilitas yang panjang dan berliku. Advokasi ini menjadi perjuangan besar bagi masyarakat disabilitas di tanah air. Betapa tidak. Nyatanya, tidak mudah melobi dan meyakinkan para anggota legislatif dan eksekutif, mengenai urgensi dari RUU Penyandang Disabilitas.

Isu disabilitas merupakan isu kesejahteraan sosial. Pola pikir inilah yang masih dianut oleh sebagian besar pemangku kebijakan di tanah air. Dengan pemikiran ini, setiap hal terkait kebutuhan penyandang disabilitas selalu saja dilimpahkan kepada kementrian sosial. Padahal, penyandang disabilitas sebagai warga negara yang sah juga memiliki hak yang sama sebagaimana warga negara lainnya, termasuk hak pendidikan, pekerjaan, politik, informasi, perlindungan hukum, dan lain sebagainya. Jelaslah, bahwa Kementrian Sosial tak memiliki kekuatan dan wewenang untuk pemenuhan semua hak penyandang disabilitas tersebut. Artinya, isu disabilitas merupakan isu lintas sektoral—yang berarti pula bahwa isu disabilitas merupakan tanggung jawab lintas kementrian dan lembaga.

Alangkah baiknya apabila para pemangku kebijakan memahami, bahwa hak disabilitas terdapat pada setiap bidang kehidupan. Dengan demikian, setiap kementrian dan lembaga dapat bahu-membahu melaksanakan pemenuhan hak penyandang disabilitas—tak hanya melimpahkan tanggung jawab pada satu kementrian. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas telah berkali-kali melayangkan surat permohonan audiensi kepada fraksi, komisi, dan kementrian, guna mensosialisasikan hak penyandang disabilitas pada bidang-bidang terkait. Akan tetapi, sebagian besar surat tersebut tak pernah memperoleh tanggapan. Bahkan ada komisi dan kementrian yang terang-terangan menolak permohonan audiensi dengan alasan, perihal penyandang disabilitas bukanlah urusan dan tanggung jawab mereka. Terbukti, bahwa masih sangat banyak pejabat negara yang belum memahami penyandang disabilitas dan kedisabilitasan. Walhasil, kebijakan yang diambil sering kali berdampak pada penghalangan, pengurangan, bahkan penghilangan hak.

Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan, penyandang disabilitas Indonesia belum merdeka. Betapa tidak. Jika negara yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan stigma terhadap penyandang disabilitas masih acap kali mengambil kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Tengoklah kembali pemberitaan sejumlah media pada awal tahun 2014 lalu, tentang bagaimana puluhan penyandang disabilitas berdemonstrasi di depan gedung Kementrian Pendidikan lantaran persyaratan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negri (SMPTN) yang mendiskriminasi—yakni persyaratan bahwa peserta SMPTN tidak boleh tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tidak buta warna sebagian atau keseluruhan. Miris rasanya bila menyadari, bahwa hal ini sama artinya dengan mereka yang bekerja di jalur pendidikan justru menilai anak-anak didik dari keterbatasan, bukan dari potensi yang dimiliki. Padahal, jika diberikan kesempatan yang sama serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung, siswa disabilitas pun dapat berprestasi sebagaimana siswa umum lainnya.

Bidang pendidikan, boleh jadi mulai banyak mendapat sorotan masyarakat. Walaupun begitu, masih banyak hak-hak lain dari penyandang disabilitas yang belum mendapat perhatian. Sebut saja soal perlindungan hukum. Kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas misalnya, merupakan kasus yang banyak terjadi. Yang menjadi persoalan, korban penyandang disabilitas dipandang cacat hukum, lantaran secara hukum mereka dianggap tidak mampu melihat, mendengar, dan mengalami. Saat seorang tunarungu-wicara hendak menyampaikan kesaksian di pengadilan, ia menggunakan bahasa isyarat. Sementara pengadilan maupun kepolisian tidak memfasilitasi kebutuhan mereka akan penerjemah bahasa isyarat. Walhasil, komunikasi antara korban dan pihak penegak hukum tak berjalan optimal, yang kemudian berujung pada pemberian putusan yang cenderung merugikan pihak korban.

Tidak berhenti sampai di situ. Tindak diskriminasi yang dilakukan oleh maskapai penerbangan nasional pun masih kerap terulang. Mulai dari maskapai kecil hingga maskapai nasional terbesar sempat mendiskriminasi penumpang disabilitas. Yang paling sering terjadi, maskapai menolak penumpang tunanetra lantaran bepergian tanpa pendamping. Kalau pun menerima, sering kali penumpang disabilitas diminta menandatangani surat pernyataan sakit. Artinya, jika terjadi sesuatu pada penerbangan tersebut, pihak maskapai tidak bertanggung jawab—penumpang disabilitas tidak memperoleh asuransi sebagaimana penumpang lainnya. Jelaslah, bahwa para pemangku kebijakan di maskapai nasional masih belum memahami kebutuhan khusus penumpang disabilitas, serta bagaimana memberikan layanan penerbangan inklusiff-- sebagaimana diterapkan oleh maskapai-maskapai internasional.

Demi pembebasan segudang diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas, RUU Penyandang Disabilitas harus diperjuangkan. Awal Februari lalu, RUU Penyandang Disabilitas telah ditetapkan sebagai salah satu RUU prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Hal ini menjadi tolak ukur bahwa DPR telah berkomitmen untuk menargetkan agar RUU Penyandang Disabilitas dapat disahkan sebagai undang-undang selambat-lambatnya akhir tahun 2015. Wajarlah, jika kemudian masyarakat disabilitas menaruh harapan besar kepada anggota Komisi VIII DPR RI yang mengemban amanah untuk membahas RUU Penyandang Disabilitas. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, harapan tersebut agaknya semakin menyusut saja.

Berdasarkan pantauan Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas, proses pembahasan RUU Penyandang Disabilitas yang tengah dilakukan saat ini berjalan sangat lambat. Saat ini, proses persiapan RUU Penyandang Disabilitas masih tertahan dalam pembahasan DIM (Daftar Inventaris Masalah) dari masing-masing Fraksi. Setelah itu, draft RUU masih harus melewati proses harmonisasi dan sinkronisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Padahal, sisa waktu masa sidang DPR pada tahun 2015 hanya tersisa kurang dari 5 bulan. Sisa waktu itu sama dengan 70 hari kerja setelah dikurangi masa reses. Selanjutnya, RUU masih harus melalui proses pembicaraan tingkat I dan tingkat II bersama Pemerintah.

RUU Penyandang Disabilitas merupakan gerbang awal perwujudan kemerdekaan penyandang disabilitas Indonesia. Oleh karena itu, percepatan pembahasan RUU Penyandang Disabilitas seharusnya dapat menjadi prioritas untuk mensejahterakan rakyat. Segenap rakyat disabilitas menaruh harapan besar kepada para wakilnya di DPR, agar pada perayaan Hari Disabilitas Internasional 3 Desember mendatang Indonesia dapat berbangga karena telah memiliki UU Penyandang Disabilitas yang baru. Semoga, peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus kali ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa negara ini bukanlah milik segelintir orang yang mengaku wakil rakyat, namun juga kelak dapat menjadi negara yang nyaman bagi setiap rakyatnya, termasuk rakyat penyandang disabilitas.

***

Hadianti Ramadhani, Penyandang disabilitas netra, staf Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas, alumni Universitas Padjadjaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun