Mohon tunggu...
Rama Dhani
Rama Dhani Mohon Tunggu... Dosen - Menulis dengan pikiran, berpikir dengan tulisan

Suka menulis untuk kesenangan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Tidak Semua Muslim Setuju Formalisasi Syariat Islam?

5 Desember 2018   10:38 Diperbarui: 5 Desember 2018   11:12 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perbincangan mengenai penerapan syariat Islam di Indonesia seakan tak pernah lekang oleh zaman. Dalam sejarah bangsa ini, ide penerapan syariat Islam bahkan sudah mencapai tahap upaya formalisasinya secara konstitusi, mulai perumusan dan pemberlakuan Perda berbasis syari'ah sampai kampanye penegakan khilafah yang diusung beberapa ormas Islam, baik yang berskala lokal maupun transnasional.

Terlepas dari konstelasi sejarah Indonesia yang berjibaku dalam perdebatan apa yang seharusnya menjadi dasar negara ini, nasion ataukah islamis, beberapa pertanyaan yang mungkin dapat diketengahkan adalah: mengapa tidak semua orang di Indonesia setuju penerapan syariat Islam secara formal? Bukankah mereka yang menolak syariat Islam juga orang-orang muslim yang percaya kepada Allah dan hari akhir?

Mencoba menjawab pertanyaan di atas, saya akan menyajikan sebuah ilustrasi yang mungkin background-nya tidak dikenal dan dialami semua orang, tapi saya akan mencoba menyajikannya sesederhana mungkin. Ilustrasi ini berlatar belakang suasana kehidupan di pondok pesantren modern tempat saya bekerja, beserta dengan nilai-nilai kepondokan yang melingkupinya. Semoga ilustrasi ini menjadi salah satu jawaban mengapa tidak semua muslim setuju formalisasi syariat Islam.

Pondok pesantren modern merupakan suatu lembaga pendidikan yang nota bene didirikan oleh para alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Para pendiri itu tentu membawa semangat Gontor kepada lembaga yang mereka asuh, sehingga ideologi, nilai-nilai, pola dan gaya pendidikan di pondok pesantren modern berkiblat atau setidaknya terinspirasi oleh Gontor.

Sejak dulu, Gontor dan pondok-pondok pesantren modern menganut suatu faham yang terkandung dalam slogan "berdiri di atas dan untuk semua golongan". Slogan ini selalu digemakan oleh pimpinan pondok dalam berbagai kesempatan dan ditanamkan sedemikian rupa di benak seluruh santri di awal tahun ajaran baru. Ia mengandung pengertian akan independensi pondok dalam melaksanakan kegiatan pendidikan dan pembelajaran tanpa campur tangan berlebih dan berusaha membebaskan diri pengaruh oleh pihak dan golongan manapun di satu sisi, sembari merangkul semua kelompok untuk ikut serta dalam pembinaan umat melalui pendidikan di pondok pesantren modern di sisi yang lain. Ide ini menjadi nilai jual yang membuka kesempatan kepada semua santri yang memiliki latar belakang ideologi dan faham yang berbeda untuk belajar di pondok pesantren modern, hingga saat ini. Ini juga adalah gagasan yang progresif di masa ketika pondok-pondok pesantren pada umumnya menjadi representasi Islam tradisional -- yang dinarasikan kembali akhir-akhir ini dalam pertarungan kalangan Islam tradisionalis versus  Islam tarbawi dan radikal.

Ungkapan itu seakan mengingatkan kita pada ideologi pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia yang rakyatnya terdiri dari berbagai golongan ras, suku, agama dan aliran dalam agama yang bersepakat untuk hidup bersama dalam satu pandangan dan tujuan hidup bernegara. Hal ini digambarkan dengan jitu oleh Ahmad Fuadi dalam novelnya Negeri Lima Menara yang menceritakan persahabatan erat antara lima santri Gontor yang berbeda latar belakang golongan. Di antara lima santri yang bersahabat itu ada santri berlatar belakang NU dan ada yang berlatar Muhammadiyah. Mereka saling toleran dan menghormati, serta saling berkunjung dan menginap di rumah sahabatnya yang berbeda golongan itu. Sungguh, suatu citra yang menyentuh rasa kebersamaan sebagai saudara seagama dan sebangsa.

Namun kalimat itu bukannya tidak menyisakan masalah. Dalam pengalaman saya sebagai pengurus Pondok Pesantren Modern, masalah terjadi, salah satunya, dalam konteks praktek ritual ibadah.

Beberapa waktu yang lalu pondok kami mendapat keluhan dari masyarakat karena pernah terjadi sholat subuh berjamaah tidak pakai qunut. Masyarakat kemudian mengklaim bahwa pondok kami adalah pondok pesantren Muhammadiyah. Setelah diselidiki, kebetulan yang menjadi imam saat itu adalah ustadz yang berhaluan salaf. Untuk menjaga independensi pondok dan ruh slogan "berdiri di atas dan untuk semua golongan" itu, pada kegiatan sholat subuh berikutnya qunut dilaksanakan. Hasilnya, masyarakat kembali menuduh bahwa pondok kami adalah pondok NU. Nah, jadi gimana dong?

Menyikapi hal ini, demi menjaga eksistensinya, pondok harus melakukan semacam tawar-menawar dalam menetapkan ritual ibadah bagaimana yang diterapkan dalam kegiatan sehari-hari santri. Setelah melihat latar-belakang dan kultur masyarakat sekitar, pondok menetapkan praktek ibadah ritual dilaksanakan secara tradisional. Ketetapan ini bahkan dicantumkan dalam Anggaran Rumah Tangga pondok. Hasilnya pondok kami melaksanakan praktek-prekatek ibadah secara tradisional, seperti wiridan setelah sholat fardhu berjama'ah, melaksanakan sholawatan maulid habsyi setiap minggu dan sholat subuh dengan qunut. Meskipun begitu, pondok tetap melaksanakan muhadharah (latihan pidato), tidak terlalu mengandalkan kitab kuning dalam pembelajaran dan membaca wirid al-ma`tsurat yang disusun oleh Hasan al-Banna karena dianggap berdasarkan Sunnah Rasulullah yang shahih.

Dengan menetapkan praktek-praktek ibadah ritual secara formal yang demikian, maka pondok telah melakukan suatu formalisasi praktek ibadah. Artinya, praktek-praktek itulah yang secara resmi dilaksanakan dalam kegiatan pondok dan praktek ibadah selain cara-cara tersebut tidaklah sah. Di sini agama, pada aspek ibadah ritualnya, direduksi menjadi apa yang dianggap benar dan diyakini oleh satu golongan tertentu. Ibadah ritual ala kaum tradisional diformalkan dan diresmikan, sehingga ibadah ritual ala kaum modernis dan golongan lain terdiskreditkan. Saya memahami perasaan beberapa ustadz dan ustadzah serta sebagian santri yang harus melaksanakan qunut, sementara mereka yakin bahwa qunut tidak menjadi bagian dari rangkaian sholat subuh.

Iustrasi di atas, saya kira, bisa digunakan untuk memahami kenapa sebagian muslim tidak setuju formalisasi syariat Islam, sebab ketika syariat diformalkan ia akan tereduksi kepada suatu pemahaman yang sempit dan terkadang mengandung unsur politik identitas suatu golongan, dalam arti siapa yang merumuskan syariat Islam yang diformalkan itu.

 Karena itulah suatu institusi, entah itu pondok pesantren modern kami atau negara sekalipun, harus mampu menghormati, mengayomi, menjaga dan membebaskan semua kepentingan dan keyakinan dalam rumusan konstitusinya. Bentuknya bisa bermacam-macam, apakah dalam bentuk pembagian wilayah dimana satu bagian konstitusi berdasarkan faham satu golongan dan bagian lain berdasarkan faham golongan lain yang tentunya berdampak pada tawar-menawar identitas (akhirnya reduksi juga)? Ataukah membangun suatu ideologi yang khas di luar golongan-golongan yang ada, seperti Pondok Pesantren Modern yang berjalan berdasarkan Panca Jiwa Pondok dan Motto Pondok dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila? Atau sekuler sama sekali? Ini memang membutuhkan diskusi yang panjang dan melelahkan, tapi bagaimanapun formalisasi membutuhkan dialog yang terbuka dan jujur antar seluruh golongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun