Mohon tunggu...
Ramadhani Pratama Guna
Ramadhani Pratama Guna Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Teknik Industri Institut Teknologi Bandung Angkatan 2007. Suka mengamati perkembangan Kota, Transportasi, dan Perindustrian Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kesalahan Paradigma Sekolah Bertaraf Internasional

31 Mei 2010   16:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:50 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), menurut UU Sistem Pendidikan Nasional diharuskan ada pada setiap daerah dan merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan. Alasan yang diharapkan dari diadakannya SBI ini adalah peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Sehingga nantinya misalkan, semakin banyak SBI di setiap daerah, semakin memacu perbaikan kualitas pendidikan itu sendiri.

Namun pada kenyataannya, pelaksanaan SBI ini masih mengundang banyak kritikan. Aspek yang biasa menjadi sorotan masyarakat adalah aspek pengelolaan operasionalnya, terutama biaya penyelenggaraan pendidikan yang mahal. Hal ini wajar karena jika kita melihat SBI adalah sekolah yang harus mampu menyiapkan fasilitas yang baik. Beberapa SBI menyediakan proyektor lengkap dengan perangkat audio visual untuk menunjang proses belajar mengajar. Tidak jarang juga kita menemukan ruangan kelas yang mempunyai penyejuk ruangan (air conditioner). Juga ada SBI yang mempunyai ruang computer yang canggih, menyediakan wireless connection, dan sebagainya.

Mahalnya biaya pendidikan ini mau tidak mau turut mempersempit segmentasi pendidikan. Teorinya, pendidikan seharusnya bisa diakses oleh siapa saja. Namun dengan biaya yang malah, SBI berpotensi besar untuk tidak dapat diakses oleh kalangan menengah ke bawah. Sehingga pada akhirnya status sebuah sekolah menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat, apalagi bertaraf internasional. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat karakter masyarkat Indonesia yang masih lebih memandang simbol dan status luar. Dengan adanya gengsi ini, masyarakat dari kalangan menengah ke bawah sudah mengalami penekanan mental dari awal, sehingga pesimisme semakin sering muncul. Belum lagi kultur pergaulan setelah masuk di SBI tersebut, yang harus bergaul dengan masyarakat menengah ke atas, yang mungkin pola hidupnya akan berbeda jauh.

Tidak hanya masalah pengelolaan, ternyata ada hal fatal yang menjadi kesalahan pradigma penyelenggaraan SBI. Bahwa karakter masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan simbol dan status berdampak juga pada SBI. Sekolah Bertaraf Internasional yang menjamur sekarang ternyata baru internasional dalam wujud fisik, seperti sarana yang mentereng dan lengkap, serta penyajian materi yang disampaikan dengan menggunakan bahasa asing.

Padahal semestinya, pendidikan adalah membentuk karakter sebagai individu dan budaya sebagai masyarakat, sehingga hal yang lebih penting dalam sebuah SBI adalah kurikulum apa yang disampaikan pada peserta didik bertaraf internasional tersebut. SBI seharusnya berbasis kurikulum dengan kearifan-kearifan global yang baik, sehingga peserta didik tidak hanya memiliki kapasitas seorang intelektual dunia, tetapi memiliki karakternya.

Seharusnya yang diajarkan bukan lagi hafalan-hafalan tahun dan definisi-definisi normatif tentang sebuah objek kajian, tetapi yang daiajarkan adalah nilai-nilai peradaban, kemanusiaan, kesejahteraan dunia, pluralitas (bukan pluralisme), dan moral spiritual. Intinya adalah bagaimana menyiapkan peserta didik agar menjadi kontibutor-kontributor yang siap membangun peradaban dunia internasional. Bukan lagi menjadikan mereka penghafal dan tempat penyimpanan pengetahuan tanpa dikeluarkan.

Dengan kesalahan paradigma ini, akan tidak ada perbedaan signifikan antara siswa lulusan sekolah reguler maupun SBI. Bahkan lulusan SBI sekarang lebih berpotensi menjadi lulusan yang tinggi gengsinya namun rendah daya juangnya, hal ini dikarenakan peserta SBI terus saja dimanjakan dengan fasilitas yang lengkap tanpa diiringi kurikulum yang mengajarkan kemandirian misalnya.

Ramadhani Pratama Guna

Mahasiswa Program Studi Teknik Industri ITB 2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun