** ** **
Seperti biasa, setelah gaduh dan memicu kontroversi, Â biasanya akan ada rilis yang seakan akan menampik kebenaran kabar yang kadung dicerna publik. Atau bisa jadi juga mengalihkan narasi awal yang memang tergelincir, lalu dialirkan ke "narasi baru" yang terkesan bijak.
Ardiyansyah Djafar dari Desk Komunikasi Jababeka, menyampaikan pernyataan secara tertulis, Jumat 5 Juli 2019.
"Beredar berita bahwa SD Darmono, menganjurkan Presiden Jokowi untuk mengeluarkan pelajaran agama dari sekolah. Kami tegaskan bahwa pendapat itu telah menimbulkan salah penafsiran. Untuk itu kami meluruskan," tulis Djafar.
Pertama, SD Darmono sangat peduli pada pendidikan karakter berbasis agama yang mempunyai akar kuat dan sudah mentradisi di Nusantara. Yang dia soroti dan prihatinkan adalah mengapa identitas agama ketika dikaitkan dengan politik malah mendorong munculnya konflik dan polarisasi sosial. Padahal semua agama mengajarkan persatuan dan akhlak mulia.
Kedua, Masuknya faham keagamaan yang ekstrim ke sekolah dan universitas mesti menjadi perhatian kita semua, karena hal ini merusak kesatuan dan harmoni sosial. Oleh karena itu, materi pembelajaran dan kualitas guru-gurunya perlu ditinjau ulang. Hendaknya pelajaran agama itu lebih menekankan character building dan kemajuan bangsa. Terlebih lagi Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius.
Ketiga, Jika pelajaran agama dalam aspek- aspeknya yang dianggap kurang, itu tanggungjawab setiap orangtua dan komunitas umat beragama, bisa dilengkapi di masjid, gereja atau vihara.
Keempat, Jadi, intinya bukan mengeluarkan pelajaran agama dari sekolah, tetapi sebuah koreksi dan renungan, apa yang salah dengan pendidikan agama kita di sekolah.
Terakhir, Buku Bringing Civilizations Together yang diluncurkan 4 Juli lalu penekanannya adalah pada pembentukan karakter demi kerukunan dan kemajuan bangsa. Pungkas Djafar.
** ** **
Kesimpulan dan harapan penulis: