Yang kudengar adalah desing peluru yang menerobos perutku, kekalahan telak, kelopak bunga yang rontok dipisau angin, dan hujan yang melubangi batok kepalaku. Jangan bilang aku putus asa karena sepasang kakiku putus dan mataku menyembunyikan malam yang gelap. Kau tak pernah melihatku berjalan dengan kaki seekor kuda dan mataku seterang bulan.
Bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.
Keningku retak dipukul hidup. Ciumanmu tak mampu membangkitkan bahasa baru dari bibirku. Pelukanmu sedingin tubuh tanpa mantel. Matahari membakar kata-kataku seperti ibu membakar sampah. Katakan bahwa segalanya baik-baik saja. Seperti kata-kata mutiara yang terpendam dalam perut yang kosong; ada air ada ikan di sana.
Aku percaya ada masa depan yang lebih baik ketika kau berkata, "Cinta itu perang." Meski suara itu keluar dari mulut pistol yang ditumbuhi bunga, yang kemudian pelurunya menembus perutku, tempat kata-kata mutiara terpendam dan tumbuh menjadi rasa lapar; di mana ada air ada ikan di sana, dan aku percaya pada laut yang menyembunyikan kecemasan kita.
Ketika kau berkata, "Cinta itu perang, dan semuanya baik-baik saja." Yang kudengar hanyalah angin yang menampar batu nisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H