Matamu mengubah tubuh musim kemarauku menjadi hujan.
Kota ini terbangun di tengah musim yang cemas. Kita sepasang waktu yang berdetak di dinding dan lantainya yang lembap. Dan malam ini, di gang yang sama, kita kembali memandangi diri yang berbayang di bawah bulan merah. Tak ada kabut dan dingin. Kita bercakap dengan suara gerimis, anak-anak pikiran, yang mengetuk-ngetuk jendela di kening kita. Kau menatapku seperti awan teduh di atas pohon yang kering. Kau tawarkan hujan. Lalu kuteguk untuk menumbuhkan daun-daun baru.
Tak ada yang lebih kosong dari sebuah taman tanpa rumput dan bunga. Dari tubuhku, tumbuh sebuah rumah, dengan jendela yang terbuka, dan memaparkan sepi yang melahirkan anak-anak kita. Hiasan di ruang tamu kubentuk dari rasa cemas yang mengigil sebagai potret biru kebahagiaan kita di masa lalu.
Hujan menyisakan tubuhku yang subur. Langit terang, kita tahu, ruang kosong itu jadi tempat belajar merangkai awan. Cinta adalah ruang yang kosong, katamu. Sementara kita terlalu banyak melahirkan anak-anak hari dan pikiran di kota yang semakin sempit.
Aku hanya mengangguk. Matamu mengubah tubuh musim kemarauku menjadi hujan; dan hujan mengalir dari tubuhku, menumbuhkan sebuah taman dan rumah baru, sebuah kota yang hijau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H