Kita lewati pintu pertama ke pintu lainnya
melalui hari-hari yang berlubang
yang terbuat dari lorong dan gang-gang sepi
yang sembunyi di atas kota
di antara tiang lampu taman yang beku dan pohon
di celah otot yang tegang dan perasaan lapar
di mana mimpi-mimpi terbang
tempat sekelompok burung mandi dan
memecah kesedihan
yang dingin dan mengeras:
di sanalah kita tertidur tanpa mantel dan pelukan.
Sementara kita masih meneguk ludah dan mengudap kesedihan
di planet yang sama,
di rumah apung berwarna hijau
tergantung di tengah kegelapan mata yang buta
di antara lampu-lampu yang berkedip di luar jendela
dan langit-langit
yang terbelah dalam kepala picasso:
aku melihat bagaimana mesin dan tv bekerja,
berputar dan terjungkir,
aku menyaksikan anak balita merasa mual dan pusing
menemukan cara untuk tertawa
di tengah keramaian dan merasa tersembunyi
di celah rerumputan dan daun yang gugur
dan di sana aku melihat sebuah pintu,
hari yang terang dan sebuah ciuman,
api unggun yang hangat di antara dua musim,
sebuah mantel bulu,
matahari pertama di musim kemarau basah.
Aku punya jalan yang sama, memanjang---
dan membelah kebun binatang;
tidak ada jalur pintasan hanya untuk merusak sepatu
dan duduk di depan pintu
yang selama ini hilang dari rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H