Mohon tunggu...
Ramadhan Ega
Ramadhan Ega Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ada yang mau jadi pacar saya?

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Menyoal Tes Perades, Blora Memang Butuh Pemimpin Radikal

3 Februari 2022   01:24 Diperbarui: 11 Februari 2022   19:40 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebingungan saya tidak hanya berhenti sampai di situ; ketika Bupati, dalam jumpa pers-nya, mengatakan bahwa pemilihan, pengangkatan, dan pelantikan perangkat desa adalah “murni wewenang” kepala desa.

Hal ini mengacu pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa bagian kelima pasal 49 ayat 2, yang anehnya berbunyi : “Perangkat Desa....diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati”, tentu, Bupati di sini adalah Bupati Blora. Jadi, pernyataan Bupati dalam hal ini terkesan kontradiktif. Dan praktik lempar batu sembunyi tangan seperti ini, memang acapkali terjadi di negeri ini, bukan? Tapi dalam hal ini, saya menggunakan asas “praduga tidak bersalah”.

Terkait hal yang aneh tentang “murni wewenang desa” juga bisa kita lihat pada Perda No 6 Tahun 2016 Paragraf 2 pasal 18 Ayat 5-8, yang berisi bahwa Camat sebagai bagian tim pengawas  bisa memberikan rekomendasi penolakan disertai alasan-alasan, membatalkan Keputusan Kepala Desa, dan melaporkan rekomendasi kepada Bupati dengan tembusan kepala satuan kerja perangkat daerah yang membidangi pengawasan pemerintahan.

Artinya, keputusan Kepala Desa tidak Absolut. Dan jika memang terjadi kecurangan yang dilakukan oleh Kepala Desa, tetap bisa diintervensi oleh hierarki otoritas yang lebih tinggi. Permasalahnnya adalah, indikasi-indikasi kecurangan tidak akan diketahui jika pengawas dan pembina hanya berperan sebagai objek pasif. Tentu, ini menjadi konsekwensi logis.

Ah... saya jadi teringat perkataan Buya Ahmad Syafii Ma’arif, yang menganalogikan ruang politik praktis sebagai “kolam lele”. Kotor. Dan penghuninya, suka yang kotor-kotor. Meskipun politik, berangkat dari hal mulia. Tetapi semenjak politik yang berorientasi pada public interest tiba-tiba menjelma menjadi akumulasi dari conflict interest, maka kemuliaan itu menjadi mitos retorikal semata.

Dan jika kita berkaca pada sejarah, pengalaman seperti ini sudah membalung sum-sum di negeri kita. Terbukti dari sebelum sampai sesudah Reformasi tahun 1998, praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, masih saja lestari. Jangan tanya lagi tentang supremasi hukum hari ini atau atau dwifungsi ABRI yang hanya bertransformasi pada cara tetapi tidak hilang sama sekali; semuanya, sama-sama sudah tidak bisa diharapkan lagi.

Tentu,  kita tidak perlu terjebak pada romatisme masa lalu. Toh, para politikus kita sampai hari ini pun masih tetap abai pada tuntutan rakyat kala itu. 

Dan melihat realitas politik di negara kita khususnya Blora melalui kemelut tes perangkat desa yang rumit serta pelik, kita sebenarnya butuh pemimpin (sekaligus politisi?) yang radikal.

Bukan radikal dalam maknanya yang peyoratif, tetapi radikal dalam maknanya yang leksikal. Yaitu, mereka yang--kata Hasan Hanafi--mampu mendekonstruksi tradisi  yang telah mengakar kuat di negeri ini, lalu mengembalikan the ethical ke dalam the polithical.

Seperti kita tahu, benang kusut perpolitikan kita tidak hanya terjadi pada ranah prosedural maupun konstitusional saja, tetapi juga sudah menjangkiti aspek fundamental, yaitu perkara mental para pelaksananya.

Oleh karenanya, kita butuh pemimpin Radikal! (dengan R besar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun