Mohon tunggu...
Ramadhan Ega
Ramadhan Ega Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ada yang mau jadi pacar saya?

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Menyoal Tes Perades, Blora Memang Butuh Pemimpin Radikal

3 Februari 2022   01:24 Diperbarui: 11 Februari 2022   19:40 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adanya dugaan kecurangan tes perangkat desa (PERADES) yang masif (serta sistematis?), memang menjadi sesuatu hal yang menjengkelkan. Tetapi, fenomena seperti itu, bukan hal baru yang mengejutkan. 

Meskipun tidak semua orang merasa dirugikan oleh dugaan kecurangan tes PERADES ini, tetapi jika kecurangan itu sampai terbukti, berarti semakin benar asumsi yang berkata bahwa para politisi dan pemegang otoritas di negeri ini sangat krisis integritas, empati, dan kompetensi. mengingat, indikasi kecurangan itu menjalar kesegala lini, tanpa mengenal domisili.

Tetapi, desas-desus tidak pasti tentang kecurangan itu tetap ada baiknya. Ya... hitung-hitung menjadi topik obrolan yang seru dalam skala warung kopi, yang menambah rekat hubungan komunikasi serta menggugah kesadaran berpolitik rakyat. Bukankah, kualitas demokrasi ditentukan oleh kualitas pelaksananya, yang tidak lain adalah rakyat itu sendiri?

Nah, sialnya, kita sebagai warga negara yang baik, tetap harus berpegang teguh pada asas “praduga tidak bersalah”. Walaupun saya sebenarnya jengkel betul pada asas “sakti” itu, apalagi jika digunakan tidak pada semestinya.
Bagaimana tidak, asas itu pada akhirnya seolah digunakan sebagai alibi ketika keluhan masyarakat telah riuh menggema, baik di ruang publik maupun di ruang maya.

Dan saya menjadi curiga, asas “praduga tidak bersalah” itu, mengandung pretensi lepas tangan (atau cuci tangan?) dari carut marutnya perpolitikan yang ada di Blora—yang politikusnya menerapkan asas machiavellian ini. 

Sebab, jika melihat dari pengalaman, ketika ada rakyat yang meminta pengusutan, mereka justru ditimpali dengan tantangan untuk menemukan bukti kecurangan. Jawaban yang sangat naif untuk sekelas politisi yang memiliki kedudukan strategis.

Padahal, jika menilik pada Peraturan Bupati Blora Nomor 37 Tahun 2017 Bab IV tentang Pembinaan dan Pengawasan Pengisian Perangkat Desa pasal 32, Bupati melalui Keputusan Bupati membentuk Tim Pembina dan Pengawas. Dan memiliki tugas serta kewajiban yang tercantum pada Perbub yang sama pasal 34 dan 36, yang intinya memiliki tugas mengawasi dan menerima laporan indikasi kecurangan.

Tetapi kewajiban mengawasi itu, bisa dikatakan “kecolongan”. Sebab sampai masyarakat turun ke jalan pun, pihak yang bersangkutan masih stuck menggunakan asas “praduga tidak bersalah”.

Ironisnya, semua kebutuhan dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pihak yang mengawasi dan membina (dengan baik dan benar), ditanggung oleh dana APBD, seperti yang tercantum pada Perbub yang sama, pasal 35 dan 37.

Dan kalau boleh saya katakan, bahwa saya dan rakyat Blora yang lainnya, sama halnya dengan membayar orang yang tidak bekerja, jika sampai dikemudian hari memang ada praktik manipulasi. (kalau boleh mengatakan, kalau tidak ya tidak apa-apa)

Saya pada akhirnya malah dihadapkan pada sebuah kebingungan. Jadi, siapa di sini yang sebenarnya dituntut untuk proaktif? Apakah Pemkab dengan tim pengawas serta pembina yang dibayar untuk melakukan tugasnya, atau masyarakat yang sangat riskan dalam pergulatan hukum melawan oknum yang mempunyai kuasa? (ah, saya benci menulis kata “oknum”)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun