Pemanfaatan teknologi oleh manusia telah menciptakan kehidupan yang serba efisien. Namun, efisiensi yang diberikan oleh kemajuan teknologi juga memiliki eksternalitas negatif terhadap kondisi lingkungan hidup. Bagaimana eksternalitas negatif tersebut diketahui? Salah satu contohnya adalah penggunaan transportasi dan mesin pabrik. Transportasi telah memberikan kemudahan manusia untuk bepergian. Mesin pabrik mampu melakukan kegiatan produksi dalam jumlah banyak, sehingga memberikan potensi pendapatan usaha yang lebih besar terhadap perusahaan. Namun, kedua hal tersebut menghasilkan emisi karbon yang berdampak terhadap perubahan iklim. Mengutip dari International Energy Agency (IEA), konsentrasi rata-rata CO2 pada atmosfer 50% lebih tinggi sejak revolusi industri Inggris.
Permasalahan lingkungan hidup tidak terbatas emisi CO2 saja, permasalahan seperti penggunaan energi yang tidak dapat diperbarui dan ekspansi lahan pelaku usaha maupun pemukiman turut serta dalam daftar penyebab degradasi lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan hidup yang terus menurus terjadi akan menciptakan permasalahan yang berkepanjangan. Maka perlunya manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dalam hal tersebut, investasi hijau menjadi langkah konkret dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup.
Investasi hijau, atau dikenal investasi berkelanjutan, merupakan sebuah langkah untuk melakukan investasi tanpa hanya melihat keuntungan semata. Kegiatan investasi hijau harus mengedepankan prinsip lingkungan (Environment), sosial (Social), dan tata kelola (Governance) atau bisa disingkat ESG. Tidak dipungkiri lagi mengingat permasalahan seperti limbah, polusi, kekeringan lahan, kelaparan, dan sebagainya, telah menjadi permasalahan berlanjut yang kompleks untuk ditangani. Investasi hijau muncul sebagai strategi untuk menangani permasalahan kompleks tersebut. Ditengah pesatnya perkembangan teknologi, investasi hijau datang sebagai jawaban untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Kegiatan investasi hijau menjadi keharusan untuk dilakukan. Hal tersebut beralasan bahwa Indonesia harus menciptakan pertumbuhan ekonomi secara sustainable untuk generasi yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi berpotensi mengalami kerugian di masa yang akan datang apabila pertumbuhan ekonomi tidak dilakukan secara sustainable. Menurut Badan Kebijakan Fiskal, mengutip Kementerian Keuangan, pada tahun 2030 Indonesia akan mengalami potensi kerugian hingga Rp4.328 triliun dari kerusakan ekosistem, dampak perubahan iklim, dan bencana terkait.
Peluang investasi hijau bisa didapatkan individu manapun. Hal tersebut dikarenakan investasi hijau yang memiliki banyak metode untuk dilakukan seperti membangun ruang terbuka hijau (RTH), pengolahan sampah, peningkatan mutu gizi, akses air layak minum, dan sebagainya. Selama kegiatan investasi hijau memegang prinsip ESG, hal tersebut sah-sah saja dilakukan. Tentunya pertumbuhan ekonomi hijau dan berkelanjutan akan semakin tercapai apabila seluruh pelaku usaha menerapkan investasi hijau.
Pelaksanaan investasi hijau tentunya memiliki manfaat dalam jangka panjang. Namun, salah satu permasalahan adalah kebutuhan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan investasi hijau.  Pembiayaan kegiatan investasi hijau akan sulit apabila hanya dilakukan oleh individu, sehingga seluruh aspek; masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah, perlu menjadi aspek yang perlu dilibatkan. Untuk mewujudkan kerjasama pelaku usaha, masyarakat, dan pemerintah dalam melaksanakan investasi hijau, dibutuhkan wadah intermediasi keuangan untuk memudahkan aliran dana. Jawaban permasalahan tersebut melahirkan Green Bond sebagai solusi.
Melansir laman World Bank, Green Bond dikenalkan oleh World Bank pada tahun 2008 sebagai jawaban untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup yang berdampak pada iklim. Green Bond sebagai bentuk inovasi dalam kerangka strategis pembangunan dan perubahan iklim dengan mengkoordinasikan publik dan swasta untuk memperbaiki iklim. Skema penerapan Green Bond sama dengan penjualan obligasi, yaitu investor melakukan pembelian surat berharga dan mendapatkan tenor serta kupon sebagai imbalan. Dana yang telah dikumpulkan melalui Green Bond akan digunakan World Bank untuk melaksanakan investasi hijau.
Penerapan Green Bond sebagai instrumen investasi hijau juga diterapkan di Indonesia. Green Bond telah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui SAL POJK No. 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Utang Berwawasan Lingkungan. Penerbitan Green Bond harus meliputi efisiensi energi, energi terbarukan, pengelolaan sumber daya hayati, transportasi ramah lingkungan, serta pencegahan dan pengendalian polusi.
Instrumen Green Bond menjadi salah satu jurus jitu dalam melaksanakan investasi hijau. Dengan skema mirip obligasi, Green Bond berpotensi menjadi instrumen yang akan diminati. Selain mendapat return, investor Green Bond juga ikut berpartisipasi dalam penyelamatan lingkungan hidup. Begitu pula dengan pelaku usaha dan pemerintah, kebutuhan akan biaya investasi hijau akan lebih mudah didapatkan. Dana yang didapatkan melalui Green Bond bisa digunakan untuk melakukan proyek berwawasan lingkungan hidup. Maka tidak diragukan lagi kelebihan yang diberikan Green Bond. Alhasil, instrumen Green Bond mampu menciptakan ruang kerjasama dari segala pihak untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Investasi hijau setiap waktunya akan mengalami perkembangan. Hal tersebut sejalan dengan industri yang mulai mengalami inovasi teknologi. Sri Mulyani mengatakan bahwa hasil inovasi teknologi tersebut sudah bisa kita lihat disekitar kita seperti panel surya, mobil listrik, dan sebagainya, sebagaimana dilansir dari laman Kementerian Keuangan Kamis (14/07/2022).
Peran penting yang dimiliki Green Bond akan terus mengawal perkembangan investasi hijau. Manfaat yang ditawarkan Green Bond mampu memfasilitasi kegiatan investasi hijau, sehingga perkembangan investasi hijau semakin tepat sasaran terhadap prinsip ESG. Dengan tepatnya sasaran pelaksanaan investasi hijau, lingkungan hidup akan menerima benefit yang lebih baik.