Mohon tunggu...
Rama Baskara Putra Erari
Rama Baskara Putra Erari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua BEM Fakultas Vokasi ITS 2022 dan Ketua Bidang PTKP HMI Komisariat ARSIP SN 2023

Lulusan Sarjana Terapan dari Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, Fakultas Vokasi ITS. Saya selama berkuliah aktif beroganisasi di intra maupun ekstra kampus, di intra kampus saya pernah menjadi Staf Departemen Internal BEM FV ITS 2021, Staf Departement Intern HMDS FV ITS 2021, Ketua Ad Hoc AD/ART FV ITS 2021, dan Ketua BEM FV ITS 2022. Organisasi ekstra kampus saya pernah menjadi staf Bidang P3A HMI Komisariat ARSIP SN 2022 dan saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang PTKP HMI Komisariat ARSIP SN 2023. Saya juga aktif di kegiatan sosial seperti pernah menjadi pengajar di Pengajar Vokasi 2021 dan relawan pengajar di Mahasiswa Surabaya Berbagi 2021. Saya juga sering diundang menjadi panelis dalam debat maupun sebagai pembicara dalam sebuah pelatihan. Kritik dan saran: ramaerari15@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Papua dalam Bayang-Bayang Perang: Nasib Pengungsi Internal di Tanah Papua yang Terlupakan dan Terabaikan Negara

6 Januari 2025   14:33 Diperbarui: 6 Januari 2025   15:05 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengungsi di salah satu kamp pengungsian yang didominasi ibu-ibu dan anak-anak. (Suarapapua.com)

Saat ini beberapa daerah di Papua sedang berada di bawah kondisi konflik bersenjata hal ini disebabkan kontak tembak yang sering terjadi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) melawan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka(TNPB-OPM). Pengusi di  Papua termasuk ke dalam  jenis Pengungsi internal hal ini merujuk pada orang-orang yang terpaksa/dipaksa meninggalkan wilayah penghidupannya namun tetap berada pada negara yang sama. Terdapat 5 daerah yang memang cukup menonjol yaitu daerah Kabupaten Puncak, kemudian Nduga, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan satu lagi daerah Intan Jaya [1]. Berangkat dari rentetan panjang konflik yang terjadi di Papua, diperkuat fakta bahwa konflik Papua adalah konflik vertikal terlama yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia dan masih berlangsung hingga saat ini.

Konflik bersenjata selalu menghasilkan tragedi kemanusiaan seperti pengungsi. Pengungsi akibat konflik di Papua akibat dari konflik bersenjata di Tanah Papua pada periode 2018-2023 menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua telah mengakibatkan 76.228 warga sipil mengungsi[2]. Bahkan menurut data yang terhimpun di 2022 terdapat  732 korban meninggal dunia, akibat konflik bersenjata antara TNI dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) [3]. Efek konflik bersenjata mengakibatkan akhirnya ribuan warga sipil harus meninggalkan rumahnya mengungsi agar tidak menjadi korban kekerasan akibat konflik yang melanda di Kampung halaman mereka.

PENGUNGSI DI TANAH PAPUA YANG RENTAN

Pengungsi di Tanah Papua merupakan kelompok yang mengalami kerentanan berlapis. Penelitian dari SMERU menemukan bahwa mereka kini berhadapan dengan kerentanan berlapis selama mengungsi akibat hambatan struktural maupun kultural yang membuat pergerakan mereka semakin terbatas [4]. Pengungsi konflik bersenjata di Papua menembus hutan hingga puluhan kilometer jauhnya, hal tersebut tentu menjauhkan pengungsi dari akses kesehatan yang memadai, bayangkan saja ada pengungsi yang mengalami sakit di tengah perjalanan sedangkan akses terhadap fasilitas kesehatan jauh tentu saja menjadi masalah namun walaupun dapat akses terhadap fasilitas kesehatan masalah yang dialami belum selesai. Hambatan struktural yang dihadapi para pengungsi internal di Papua di antaranya adalah syarat kepemilikan dokumen data diri untuk bisa mengakses layanan dasar. Padahal, sebagian besar pengungsi ini tidak sempat membawa dokumen tersebut saat mereka menyelamatkan diri. Kendala ini menyebabkan pengungsi tidak dapat mengakses layanan dasar. Sebagai contoh kasus, salah satu pengungsi asal Nduga terpaksa membiarkan anaknya sakit hingga meninggal akibat ketiadaan uang dan BPJS Kesehatan untuk mengakses perawatan di fasilitas kesehatan [5].

Akibat dari konflik ini juga berdampak besar terhadap anak-anak. Anak-anak yang seharusnya mengenyam pendidikan saat ini harus terkatung-katung di tengah hutan demi menyelamatkan diri bersama keluarganya . Dari  tahun 2018 hingga 2022 anak-anak usia sekolah dari pengungsi Nduga yang ada di Wamena ini banyak yang tidak sekolah [6]. Siswa yang dapat melanjutkan sekolah pun harus bersekolah dengan sekolah darurat yang kondisinya mengenaskan.

Anak-anak terpaksa berhimpitan satu sama lain ketika belajar di sekolah darurat. (BBC NEWS INDONESIA)
Anak-anak terpaksa berhimpitan satu sama lain ketika belajar di sekolah darurat. (BBC NEWS INDONESIA)

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018, 40% rumah tangga dengan pengeluaran terendah di Intan Jaya tidak memiliki akses sama sekali pada berbagai bantuan sosial seperti PKH, BPJS Penerima Bantuan Iuran, dan bantuan nontunai seperti pangan. Sementara itu, 40% rumah tangga termiskin di Maybrat, Lanny Jaya, dan Nduga tidak memiliki akses pada PKH. Dengan tidak adanya dukungan bansos sebagai mekanisme bertahan bahkan di situasi normal, adanya guncangan konflik akan semakin memperdalam kerentanan masyarakat miskin di wilayah-wilayah tersebut.

Persoalan kultural yang menimpa pengungsi adalah permasalahan penggunaan tanah ulayat--tanah adat yang terikat dengan hukum masyarakat adat pemiliknya--yang memicu terjadinya tensi sosial. Salah satu pengungsi Maybrat di Sorong, misalnya, menjelaskan bahwa meskipun pemilik tanah ulayat setempat memberikan izin pengelolaan kebun ke pengungsi, namun kesalahpahaman tentang pengelolaan tanah dan pemanfaatan hasil kebun kerap memicu tensi sosial antar-OAP [7].

Nasib pengungsi di Tanah Papua begitu runit sekali. Banyak sekali kerentanan ekonomi, kesehatan, pendidikan, stigma, yang menimpa pengungsi di Tanah Papua mereka sudah bertahun-tahun mengalami realitas tersebut. Terusir dari rumah mereka akibat kontak tembak, kekosongan dialog dan solusi damai. Pemerintah Indonesia wajib untuk memperhatikan dan memastikan keselamatan warga sipil serta pemenuhan kebutuhan para pengungsi sesuai dengan kaidah-kaidah HAM dan hukum humaniter. Pemerintah wajib menjamin pelaksanaan kepalangmerahan dengan cara menemukan keberadaan para pengungsi, menampung para pengungsi, dan memberikan perlindungan serta pemenuhan hak-hak para pengungsi, seperti hak hidup, hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas Kesehatan. Namun hal itu tidak dilakukan pemerintah. Namun melihat kondisi saat ini dengan jumlah pengungsi yang kian bertambah dan terlantar rasa-rasanya pengungsi internal di Tanah Papua menjadi orang-orang yang ditelantarkan negara. Nasib Orang Asli Papua (OAP) betul-betul menyedihkan dikeruk alamnya, warganya terusir, dan jadi pengungsi. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan menjadi pengungsi di Atas Tanah sendiri.

PENDEKATAN MILITERISTIK HANYA MENAMBAH JUMLAH PENGUNGSI!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun