Setiap ada peristiwa politik besar tentu hal-hal tersebut tidak bisa lepas dari aktor-aktor penggerak yang berusaha mewujudkan gerakan politik tersebut. Aktor aktor penggerak dalam peristiwa politik itu sering kita panggil aktivis politik. Misalnya pada peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 kita mengenal aktivis seperti Budiman Sudjatmiko, Agus Jabo, Andi Arief, peristiwa 1998 kita mengenal nama-nama seperti Fahri Hamzah, Adian Napitupulu, dkk, dan pada peristiwa Reformasi Dikorupsi 2019 kita kenal dengan Manik dkk. Aktivis politik sendiri adalah individu yang terlibat dalam berbagai bentuk aktivisme untuk membawa perubahan sosial atau politik, sering kali memobilisasi dan mengorganisir gerakan atau kampanye.
Sering kali seseorang sudah terjun menjadi aktivis politik karir kedepannya bakal bergabung dengan partai politik kemudian mengikuti Pemilu maupun Pileg bahkan ada juga yang menjadi menteri. Hal tersebut seakan-akan sudah menjadi pola dari karir aktivis dan terkadang membuat seorang aktivis yang memutus menempuh jalan politik praktis dicap sebagai penghianat gerakan sebab akhirnya dia bakal memasuki lingkar kekuasan yang dia kritik selama ini. Namun apakah menjadi aktivis kita harus menjadi alergi terhadap politik praktis?Â
SEBAIKNYA DIMANA AKTIVIS HARUS BERADA?
Pertanyaan bahwa apakah aktivis harus jauh dari politik praktis? Aktivis seyogyanya harus masuk ke dalam politik praktis jika benar-benar konsisten untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Sebab cara untuk membuat maupun mengubah kebijakan negara adalah dengan masuk kedalam sistem yang ada. Sebuah gagasan politik besar tentu saja harus didaratkan di tempat yang tepat sehingga dapat bermanfaat bagi banyak orang, namun jika gagasan besar itu terus dibiarkan terbang melayang-layang hal itu hanya akan memperkaya imajinasi bagi orang tersebut namun tidak memberikan dampak apapun terhadap masyarakat luas.
Aktivis yang masuk ke politik praktis pun terkadang dianggap berubah dan tidak dapat melakukan apa-apa ketika di dalam sistem. Namun coba kita lihat lagi berapa banyak jumlah aktivis dibandingkan orang-orang pragmatis yang masuk ke sistem hanya untuk kepentingan dia dan kelompoknya? Saya yakin masih kalah jauh jumlahnya coba lihat ke DPR RI berapa banyak mantan aktivis dibandingkan dengan anak-anak pejabat atau orang kaya yang tidak punya rekam jejak memperjuangkan rakyat atau bahkan lebih parah lagi terafiliasi dengan kepentingan tertentu yang sekarang berada di Senayan? Bahkan coba cek DPRD Provinsi maupun DPRD Kota kalian masing-masing berapa banyak aktivis yang berada di dalam? Saya berani bertaruh bahwa pasti jauh lebih kecil!
Justru kita harus menaruh curiga kepada orang-orang yang melarang aktivis masuk ke dalam politik praktis sebab pasti mereka adalah orang-orang yang tidak ingin ada perubahan politik menjadi lebih baik sebab mengganggu kemapanan mereka sebab sistem yang buruk ini. Hal tersebut juga diaminkan oleh orang-orang sinis yang banyak baca teks tapi gak ngerti konteks. Kita tidak bisa memajukan negara memberantas kemiskinan sehingga tercipta masyarakat adil dan makmur jika politik masih dikuasai orang-orang pragmatis, hal itu hanya bisa terwujud jika aktivis menjadi pemimpin politik dan itu hanya terjadi jika aktivis terjun ke dalam politik praktis.
PARA AKTIVIS DALAM LINGKAR KEKUASAAN
Kita bisa belajar dari para pemimpin dunia yang merupakan mantan aktivis yang kemudian masuk ke dalam politik praktis kemudian memberikan perubahan besar bagi negaranya. Misalnya saja Lula Da Silva Presiden Brazil, Lula dianggap Presiden paling sukses dalam sejarah Brazil. Di periode kedua, tingkat penerimaan publik Brazil atas pemerintahannya di kisaran 80 persen. Dia penggagas program anti-kemiskinan bernama Bolsa Famlia, yang berhasil membawa puluhan juta kaum miskin Brazil keluar dari kemiskinan. Program ini dipuji-puji oleh Bank Dunia, dan mulai diterapkan di banyak Negara, seperti Chile, Meksiko, Afrika Selatan, dan lain-lain. Bahkan sosok Presiden termuda dari Chile yaitu Gabriel Boric adalah seorang aktivis yang memperjuangkan cita-cita politiknya dengan terjun kepada politik praktis, Boric mengajukan skema uang pensiun standar yang dipatok pada kisaran 300 dolar AS atau Rp4,2 juta per bulan. Ia juga berjanji melonggarkan aturan tentang hak reproduksi seperti aborsi, membuka 500 ribu lapangan kerja untuk perempuan, dan mengurangi waktu bekerja per minggu dari 45 jam jadi 40 jam. Sehubungan dengan isu iklim dan lingkungan, Boric ingin fokus menjaga pasokan air dan berinvestasi lebih banyak untuk pengelolaan limbah serta energi terbarukan.