Mohon tunggu...
Rama Baskara Putra Erari
Rama Baskara Putra Erari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua BEM Fakultas Vokasi ITS 2022 dan Ketua Bidang PTKP HMI Komisariat ARSIP SN 2023

Lulusan Sarjana Terapan dari Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, Fakultas Vokasi ITS. Saya selama berkuliah aktif beroganisasi di intra maupun ekstra kampus, di intra kampus saya pernah menjadi Staf Departemen Internal BEM FV ITS 2021, Staf Departement Intern HMDS FV ITS 2021, Ketua Ad Hoc AD/ART FV ITS 2021, dan Ketua BEM FV ITS 2022. Organisasi ekstra kampus saya pernah menjadi staf Bidang P3A HMI Komisariat ARSIP SN 2022 dan saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang PTKP HMI Komisariat ARSIP SN 2023. Saya juga aktif di kegiatan sosial seperti pernah menjadi pengajar di Pengajar Vokasi 2021 dan relawan pengajar di Mahasiswa Surabaya Berbagi 2021. Saya juga sering diundang menjadi panelis dalam debat maupun sebagai pembicara dalam sebuah pelatihan. Kritik dan saran: ramaerari15@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pilkada: Ketika Rakyat Menentukan Takdir Daerah

6 November 2024   20:41 Diperbarui: 7 November 2024   04:35 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah 26 tahun reformasi yang telah melahirkan demokrasi di Indonesia, demokrasi yang sudah lama dinanti-nanti akhirnya hadir. Sebagai sebuah bangsa kita sudah seharusnya mensyukuri bahwa kita sudah hampir menikmati semua kelengkapan demokrasi yang kita rasakan sebagai manusia modern secara sempurna, misalnya terkait kebebasan pers, kebebasan berpartai, pemilu yang kompetitif dan sebagainya.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak aspek yang masih tertinggal dari sektor hak-hak sipil dan politik adalah terkait penegakan HAM, reformasi birokrasi, dan reformasi kepartaian. Seandainya hal-hal tersebut sudah terselesaikan maka kita bisa berbangga diri menjadi yang hampir pasti sempurna secara negara dan rakyatnya.

Sebagai buah dari produk demokrasi yang telah lahir 26 tahun yang lalu maka dalam waktu dekat ini kita bakal menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang bakal dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang ini.

Pada pesta demokrasi yang akan datang ini kita bakal memilih para pemimpin di daerah kita masing-masing yang bakal diberikan kepercayaan dari konstituennya agar berusaha untuk mencapai ultimate goal dari tujuan kita bernegara: kesejahteraan dan keadilan sosial di daerahnya masing-masing.

Para politisi yang bakal terpilih ini bakal mendapatkan posisi mulia karena bakal mendapatkan jabatan politis sebagai kepala daerah dan bakal punya dampak langsung ke daerahnya dengan kebijakan maupun program-program yang mereka gagas untuk rakyatnya. Kebijakan maupun program yang buruk tentu saja bakal memberikan dampak buruk pada rakyat di daerahnya dan kebijakan dan program yang baik tentu saja juga bakal berdampak baik juga pada rakyatnya.

Namun memilih pemimpin yang baik juga perlu analisa dan kebijaksanaan dalam menentukan siapa calon yang bakal dipilih. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh tingkat melek politik rakyat yang mempunyai hak suara untuk memilih.

Kandang kala, seorang pemimpin buruk bakal lahir dari rakyat yang melek politiknya rendah sehingga ada istilah, "Pemimpin adalah cerminan dari tingkat melek politik rakyatnya."

Dengan sistem sistem demokrasi mengedepankan rakyat sebagai sumber mata air kedaulatan, tempat dari mana sumber kekuasaan formil dan efektif oleh para pemimpin itu berasal. Yang mau saya tegaskan adalah tentang posisi mulia dan luhur dari rakyat sebagai pendiri sesungguhnya dari Republik ini.

Dengan sistem demikian maka kita sebagai rakyat jangan mau menerima transaksi politik dengan uang tetapi harus diubah menjadi transaksi dengan program yang bermanfaat bagi semuanya.

Ilustrasi Pasangan Calon Kepala Daerah. Dokumen: Marvin R 
Ilustrasi Pasangan Calon Kepala Daerah. Dokumen: Marvin R 

Politik bukan hanya milik birokrat atau politisi. Bukan pula milik Presiden atau kepala daerah. Politik adalah kita semua yang berada dalam suatu negara. Mau tidak mau, kita menjadi praktisi di dalamnya baik sebagai pengamat maupun sebagai pelaku.

Ada banyak hal dalam kehidupan sehari-hari sebetulnya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik. Politik mempengaruhi keseharian kita melalui kebijakan politik yang menyentuh tiga ranah sekaligus, yakni personal, rumah tangga, dan ruang publik.

Dalam ranah personal, kebijakan politik datang mengatur hak-hak kita sebagai warga negara, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan beribadah dan lain sebagainya. 

Di ranah rumah tangga, politik hadir dalam kebijakan yang menentukan harga sembako, tarif listrik, harga gas elpiji, sewa rumah, biaya pendidikan anak, hingga besaran upah atau gaji yang diterima oleh suami/istri yang bekerja.

Sementara di ruang publik, kebijakan politik hadir dalam aturan mengenai parkir, aturan berkumpul di ruang publik, dan penggunaan fasilitas publik bahkan menjamin kamu bebas melakukan berkumpul di ruang publik untuk melakukan kajian.

Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Kendati Anda tidak mengambil minat dalam politik, bukan berarti politik tidak akan menaruh minat pada Anda.

Terkadang 'politik uang' menjadi sesuatu yang sangat lumrah, ketika suara seseorang tukar dengan uang. Tidak mengherankan sebab politik uang sudah menjadi fenomena global yang sudah ada sejak lebih dari dua setengah ribu tahun lalu di Athena kuno.

Praktik jual beli suara menghambat proses demokrasi dengan mengganggu hak warga negara untuk bebas menentukan siapa yang mewakili kepentingan mereka.

Praktik politik uang ini mengerikan, sebab bisa membuat politisi dengan kualitas jelek namun memiliki uang yang banyak akan menang sedangkan politisi yang berintegritas dengan gagasan yang bagus dan program yang konkrit sesuai dengan permasalahan rakyat tidak terpilih. 

Padahalnya pemilihan secara langsung menciptakan "kontrak sosial" antara kandidat dan konstituen yang memberikan suara dengan anggapan bahwa kandidat akan memerintah sesuai dengan harapan dapat melayani rakyat dengan baik.

Namun dengan transaksi uang, para kandidat bakal merasa kalau mereka telah membeli hak suara, Anda dengan demikian, tidak akan ada kontrak sosial, sebab itu bakal dianggap sebagai praktik jual beli. Memang dampak dari politik uang ini membuat Anda dapat memiliki uang yang instan namun itu dipakai sehari, dua hari juga bakal habis sisanya hanya melahirkan penderitaan sebab dipimpin oleh politisi berkualitas buruk.

Banyak yang enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebab tidak cukup peduli dengan politik bahkan tidak cukup tahu, atau bahkan dengan alasan moral bahwa, 'semua calon sama saja', sehingga dengan demikian orang-orang tersebut memilih untuk tidak memilih.

Sangat disayangkan jika hak suara tidak digunakan sebab dengan demikian penyalahgunaan surat suara dia sangat mungkin terjadi dan sudah tentu bisa jadi mengakibatkan calon terburuk yang bakal menang.

Ketika memilih di Pilkada maka kita sebenarnya memilih siapa Putra/Putri terbaik daerah yang bakal menjadi penentu kebijakan yang bakal mempengaruhi sosial, ekonomi, dan politik daerah, maka kita perlu untuk memastikan di antara para putra/putri terbaik yang sedang berkontestasi di Pilkada ini yang terpilih seharusnya yang terbaik dari para putra/putri terbaik yang ada. Bahkan mungkin jika kita berpandangan terbalik bahwa para calon ini ibaratnya Setan yang sama-sama buruk, maka kita perlu memilih Setan terbaik agar yang terburuk tidak berkuasa.

Semalas-malasnya kita dalam berpolitik namun wajib untuk hukumnya untuk kita mengerti politik dan menjadi pemilih yang cerdas. Pemilih yang cerdas artinya mengenali siapa calonnya, apa yang melatarbelakanginya, bagaimana visi misi dan program inovasi yang dibawanya untuk kebaikan rakyat, dan yang tak kalah penting adalah siapa saja orang yang ada di baliknya.

Bagaimana caranya? Ikutilah masa-masa kampanye lisan mereka, pahami apa visi misinya, bertanyalah pada banyak orang yang tepat tentang siapa mereka, bahkan kamu bisa menengok jejaring sosialnya untuk melihat kepribadiannya.

Hal terpenting dari semua ini adalah keterlibatan aktif untuk memilih. Ketika tidak ada pilihan lain selain memilih, apakah kita berhak asal memilih saja? Semurah itukah suara kita?

Tentu saja tidak! Jadi mari kita mulai membuka mata, telinga, dan hati kita. Memilih bukan sebuah hal yang sulit, namun juga tidak memaafkan telapak tangan. Kenali calonmu dengan benar, jangan seperti membeli kucing dalam karung. 

Jadi, siapkah Anda memilih?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun