Ada perbandingan sederhana misalnya kita lihat Lenin (leninisme) maupun Mao (Maoisme) yang mana melahirkan ide tanpa koreksi dari pihak lain dan langsung dieksekusi sebab dalam sistem otoriter hal itu membuat ini jadi murni ide Lenin maupun Mao. Tentu saja jika melihat perbandingan itu, Jokowisme jika berdasarkan hasil kerja, dia sudah gagal.
Jokowisme jika ditarik dari rekam jejak politik dan kepemimpinan Jokowi ini tidak tepat karena baru terjadi bahwa 'isme' disematkan hanya berdasarkan rekam jejak seorang tokoh.
Kalau kalian baca-baca penjelasannya tentang Jokowisme, penekanan justru ada di Jokowi sebagai individu yang dianggap spesial & transenden dan dalam Jokowisme menimbulkan kerancuan penggunaan isme dalam ranah akademis.
Penyematan isme dalam Jokowisme sudah menyangkut imbuhan isme, itu tidak boleh berdasarkan kagum, dukungan. Imbuhan isme haruslah digunakan secara jelas dan harus punya gagasan kuat secara akademik karena merupakan pandangan, haluan, atau wawasan.
Penggunaan Jokowisme tanpa memiliki dalih dan dalil kuat tentang ide atau gagasan besar yang ditulis oleh seorang Jokowi sendiri hanya bakal menguatkan bahwa Jokowisme hanya menjadi sekadar slogan dari partai untuk berusaha mendapatkan coattail effect dari pemilih Jokowi yang tersisa.Â
PSI sebagai partai yang katanya mewakili suara anak muda sebagai targetnya sudah seharusnya kita bangun budaya adu gagasan daripada pengultusan tokoh. Kalau tidak, politik Indonesia hanya bakal jalan di tempat seperti kata Eleanor Roosevelt, "Otak besar bicarakan ide. Otak sedang bicarakan peristiwa. Otak kecil bicarakan orang".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H