Mohon tunggu...
Rama AhmadNoor
Rama AhmadNoor Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi bermain game

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Tren Logo Minimalis Rentan Memakan Korban, Haruskah Dihentikan?

4 Desember 2023   22:05 Diperbarui: 4 Desember 2023   23:59 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mampu menciptakan desain logo yang minimalis dalam arti yang sebenarnya adalah hal yang diinginkan banyak desainer grafis. Karena dalam desain logo yang simpel dan minimalis dapat diselipkan makna tersembunyi yang mendalam. Selain itu, juga akan mempermudah sebuah brand ketika menerapkan logonya ke media apapun. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab logo minimalis menjadi tren hingga sekarang. Dengan memasukan berbagai hal berupa filosofi kedalam suatu desain logo yang sangat minimalis, tentu menjadi hal yang memerlukan kreatifitas tinggi. Namun apakah semua desainer mencurahkan segala upaya dan kreatifitasnya untuk hal tersebut, atau desain minimalis malah menjustifikasi kemalasan mereka dengan alasan mengikuti tren dan berlindung pada kalimat "yang penting simpel" yang pada akhirnya berpotensi memakan korban hingga masuk ke dalam kasus hukum?

Tren logo minimalis tidak luput dari perkembangan logo itu sendiri. Pada awalnya, yaitu saat internet belum ditemukan, penerapan desain logo hanya dituangkan pada media konvensional seperti kertas. Ketika internet telah berkembang, bidang penerapan desain logo tidak terbatas media konvensional, melainkan hal lain yang lebih kecil seperti ikon digital dsb. Pada saat itu logo pada brand terlihat unik namun kebanyakan tidak memiliki unsur minimalis yang mengakibatkan hilangnya detail logo ketika diterapkan pada media yang memungkinkan logonya diperkecil. Maka banyak perusahaan yang berlomba-lomba untuk meredesain logonya menjadi minimalis. Hal tersebut juga nantinya akan memudahkan ketika logo dicetak dalam bidang lain seperti diterapkan pada mobil, bangunan, dan sebagainya. Maka kesederhanaan dalam artian meninggalkan hal-hal yang tidak perlu menjadi salah satu kriteria logo yang baik.

Tren logo minimlais dapat kita lihat melalui evolusi logo pada beberapa brand terkenal, salah satunya yaitu apple yang ketika itu logo pertamanya unik namun sangat tidak minimalis sehingga detail-detail dalam logo akan hilang atau tidak terlihat jika diterapkan pada media digital yang berukuran kecil. Selain itu, logo akan sulit dicetak dalam jumlah banyak pada media konvensional seperti ikon smartphone, dsb.

Melihat dari fungsi yang begitu fundamental dari aspek kesederhanaan dalam desain logo, muncul tren logo dengan gaya minimalis. Tren ini membuat permintaan akan logo bergaya minimalis meningkat tinggi. Dan para desainer logo dari kalangan pemula hingga mahir mulai membuat desainnya agar terlihat minimalis. Hal ini dapat dilihat dari karya para desainer yang disimpan di website portofolio seperti pinterest, behance, instagram, dan sebagainya. Selain eksekusi atau pembuatan desain yang relatif mudah, ada kepuasan tersendiri ketika seorang desainer mampu membuat desain bergaya minimalis dan memiliki keunikan.

Meski bergitu, tren ini terkadang menimbulkan berbagai permasalahan yang seringkali berujung pada kasus hukum. Salah satu kasus yang sering terjadi adalah logo dari dua brand yang terlihat sangat mirip. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari logo bergaya minimalis karena sedikitnya detail yang diberikan untuk memberikan keunikan dari suatu logo. Di Indonesia kasus ini menimpa salah satu start-up asal Indonesia, yaitu Gojek dengan logo barunya yang menyerupai logo brand lain seperti CLAB, Circleci, dan Amire Search. Pada Akhirnya hal ini menimbulkan berbagai macam respon dari para netizen dan kalangan desainer itu sendiri.

Logo Gojek yang terlihat mirip dengan logo brand lain (sumber: suriantorustan.com)
Logo Gojek yang terlihat mirip dengan logo brand lain (sumber: suriantorustan.com)

Kasus yang lebih parah terjadi kepada dua brand yang memiliki kategori bisnis yang sama persis yaitu I Am Geprek bensu milik PT Ayam Geprek Benny Sujono dan Geprek Bensu milik Ruben Onsu. Kedua brand tersebut memiliki nama, kategori bisnis, hingga logo yang sangat mirip. Karena secara fakta I Am Geprek Bensu yang pertama kali menjalankan bisnis tersebut, maka Ruben Onsu digugat sebanyak 100 Miliar atas merek Geprek Bensu.

Lantas, siapa yang salah? Pada konteks desain logo, tentu desainer lah yang salah. Karena pada konteks ini seorang desainer memiliki tanggung jawab untuk mendesain sebuah logo yang nantinya akan didaftarkan hak cipta untuk usahanya. Maka diperlukan keseriusan dari si desainer dengan membuat desain seunik mungkin tanpa menghilangkan aspek lain pada logo. Ketika suatu desain logo didapati mirip dengan desain lain, maka pemilik desain yang merasa diplagiasi dapat dengan mudah membuat tuntutan hukum atas hal tersebut dengan denda yang tidak main-main. Dan hal tersebut sangat biasa dalam bidang ini.

Kembali kepada logo bergaya minimalis. Logo minimalis karena hanya memperlihatkan sedikit detail sehingga sangat berpotensi adanya kemiripan dengan logo lain. Oleh karena itu seorang desainer perlu terus bereksplorasi atas ide-ide yang telah dieksekusi dalam bentuk logo. Tidak boleh hanya berpatokan pada kalimat “yang penting simple”. Justru karena simpel itulah konsep yang digunakan haruslah matang, dan disitu letak kesulitannya.

Bagi selain desainer, marketer contohnya, logo yang mirip dengan brand lain mungkin dapat menjadi strategi marketing yang bagus sebagaimana kasus Miniso yang meniru Uniqlo. Namun, bagi seorang desainer adalah hal yang mutlak untuk membuat desain yang memiliki ciri khas dan keunikan tanpa menghilangkan aspek lain. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Surianto Rustan, seorang senior dalam bidang Desain Komunikasi Visual (DKV),

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun