Mohon tunggu...
Rama Adam
Rama Adam Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepastian Hukum versus Rasa Keadilan: Pasal 158 UU No.8 2015 tentang Pilkada

7 Januari 2016   17:22 Diperbarui: 7 Januari 2016   17:33 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

 

Pasca Penetapan Pemenang Pemilukada KPUD di berbagai daerah, ratusan gugatan sengketa pilkada diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pasangan Calon yang tidak terima kalah melakukan upaya legal terakhir meminta keadilan ke Mahkamah Konstitusi.

Namun dipastikan banyak diantara gugatan tersebut akan dinyatakan tidak dapat diterima, artinya perkara tidak akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan dan pembuktian dalil-dalil gugatan. Di dalam Pasal 158 Ayat (1) dijelaskan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.

Sementara provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. Undang-undang tersebut kemudian dikuatkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 4 tahun 2015 yang menjadi acuan tata beracara di Mahkamah Konstitutusi.

Menjelang Sidang perkara pilkada di MK muncul suara-suara yang menyatakan bahwa Pasal 158 UU Pilkada berpotensi memberangus semangat demokrasi dan bahkan mencederai proses jujur dan adil pemilukada itu sendiri. Argumentasi yang digunakan adalah pasal tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat atau lebih khusus pasang calon yang perolehan suranya dinyatakan kalah, namun tetap yakin ada yang salah dan atau kecurangan dalam pilkada, baik yang dilakukan oleh pasangan calon lawan maupun kesalahaan yang dilakukan oleh KPU. Bahwa pasal 158 telah merampas hak paslon yang kalah dalam perjuangan legal terakhir untuk membuktikan adanya kecurangan dan atau kesalahan di hadapan Mahkamah. Artinya paslon pemohon tidak mempunyai kesempatan untuk membuktikan dalil gugatannya karena sudah berhenti sebelum proses persidangan yang sebenarnya dimulai, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Padahal pertarungan ada pada proses pembuktian dalil-dalil lewat saksi-saksi dan alat bukti lainnya.

UU No. 8 Tahun 2015 tetang Pemilukada telah ditetapkan dan berlaku sebelum pilkada serentak 9 Desember 2015 lalu. Bicara tentang rasa ketidakadilan sebagai akibat dari diterapkan suatu aturan hukum, tentu akan melahirkan relativisme berfikir, karena “rasa” akan sangat subyektif dan tegantung pada nuansa peristiwa pada saat itu. Adil menurut A belum tentu adil menurut B,  apalagi   peristiwa tersebut menimbulkan dampak psikologis atau cenderung emosional.

Idealnya, menurut Prof. Satjipto Rahardjo Baik Kepastian Hukum dan Keadilan Hukum ada dalam kondisi yang proporsional. Sering kita dengar dan bahkan diantara kita meyakini bahwa, seringkali kepastian hukum berbanding terbalik dengan rasa keadilan. Sangat sulit memang memenuhi rasa keadilan semua pihak, setiap sengketa lahir dari adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda. Perlu diingat bahwa hukum hadir untuk memberikan keteraturan, keamanan dan kenyamanan dalam masyarakat, sehingga sengketa yang timbul tidak justru merusak tatanan yang sudah dibangun dalam masyarakat hukum harus ditegakan.

Rancangan menjadi Peraturan Hukum

Sebelum hukum diundangkan tentunya rancangan peraturan akan dibahas, diuji oleh berbagai Ahli dan Instutusi Negara yang kompeten. Dalam pembahasan rancangan peraturan akan diuji dari berbagai aspek, mulai dari aspek yuridis, sosiologis, historis dan filosifis. Dengan tujuan pada saat diundangkan peraturan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan yang proporsional dan berlaku umum dan meberikan kemaslahatan. Artinya aspek keadilan telah selesai pembahasannya sebelum peraturan diundangkan atau diberlakukan.

Produk hukum adalah buatan manusia yang tentunya bisa saja terdapat kesalahan didalammnya. Produk hukum juga dapat tertinggal oleh zaman, tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena waktu hukum dibuat dengan kondisi terkini baik kondisi sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berubah. Sistem demokrasi Indonesia telah menyiapkan istrumen perubahan aturan. Mulai dari merubah atau mengganti pembuat undang-undang melalui mekanisme pemilu dan juga upaya judicial review jika dianggap peraturan hukum dirasa tidak adil atau bertentangan dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat.

Pasal 158 UU No. 8/2015

Suara-suara yang menyatakan bahwa pasal teresebut tidak memenuhi rasa keadilan muncul pasca pengumuman hasil Pilkada oleh KPU dan proses pilkada telah dinyatakan selesai. Suara itu tidak muncul sebelumnya. Artinya ada motif yang subyektif dari para pihak yang menyatakan pasal ini tidak memenuhi rasa keadilan para pemilih atau lebih khusus para paslon yang kalah. Bahwa hal tersebut hanya lampiasan rasa kecewa  dan perasaan belum siap menerima kekalahan, padahal salah satu elemen penting dalam alam demokrasi adalah siap menerima kekalahan dalam kontestansi politik. Tingkat kenegerawanan paslon akan mengambil peran penting dalam hal ini. Jika tingkatnya rendah, maka ketidakpuasan bisa sampai menggerakan masa yang berujung demonstrasi anarkis.

Faktanya bahwa tidak ada upaya judicial review dari pihak-pihak yang menganggap pasal 158 UU No.8/2105 tidak memenuhi rasa keadilan, apa lagi dari paslon dan atau tim suksesnya sebelum pilkada 9 Desember 2015 lalu.

Kesimpulannya jika terjadi diskursus yang berkaitan dengan aturan hukum yang berlaku menimbulkan rasa ketidakadailan, sudah seharusnya aturan hukum harus ditegakan. Mengenai perubahan isi hukum, mekanisme perubahannya pun telah tersedia. Namun untuk pasal 158 UU No.8/2015 bagi peserta pilkada serentak 2015, sudah terlambat.

Jika dipaksakan Pasal 158 dinegasikan dalam proses beracara di MK pada persidangan sengketa Pilkada 2015 dengan alasan ketidakadilan, maka akan menimbulkan ketidakadilan yang baru dari pasangan yang menang melebihi 2 persen, dan akan berdampak pada hancurnya wibawa lembaga peradilan dan proses penegakan hukum yang menjadi nilai utama NKRI.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun