Pandemi yang terus menerus tanpa hentinya membuat seluruh warga bumi terpaksa menerima budaya internet. Semua beraktivitas dari rumah dan selalu terhubung ke internet untuk mengetahui dunia luar. Saat ini teknologi internet seolah memegang peran terpenting demi kelangsungan hidup manusia. Seolah manusia tidak dapat hidup jika tidak ada internet.
Ditambah lagi dengan adanya pandemi ini, semua orang menjadi bekerja dari rumah (Work From Home). Ini mengakibatkan semakin meningkatnya penggunaan internet diseluruh dunia. Bahkan sekolah pun juga harus menggunakan internet karena tidak diperbolehkan untuk tatap muka. Ini membuat semua kalangan dari usia masih sangat muda hingga lansia harus bisa memahami kinerja internet.
Karena semakin meningkatnya penggunaan internet, maka meningkat juga penggunaan sosial media. Bahkan saat ini sudah banyak anak yang masih dibawah umur sudah mempunyai jejaring sosial seperti Instagram, Facebook, Youtube dan lain-lain. Anak-anak ini terlihat terampil menggunakan aplikasi media sosial dari pada membaca buku.
Hal itu bisa membuat permasalahan yang cukup besar jika diteruskan tanpa ada bimbingan orang tua. Karena mereka masih belum cukup umur untuk bermain sosial media, belum tahu mana yang boleh diucapkan dan yang mana boleh ditampilkan. Mereka menggunakan sosial media bukan untuk berbagi informasi, tetapi hanya dibuat untuk membagikan hal yang menurut mereka menarik.
Bukan hanya anak-anak yang masih dibawah umur, beberapa orang tua saat ini pun mulai mengikuti trend sosial media ini. Mereka beralasan bahwa ingin mengikuti zaman yang berkembang. Aplikasi sosial media seperti halnya anak muda.
Menurut Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan bersosial media dunia, menunjukkan bahwa warganet Indonesia menempati posisi terbawah se-Asia Tenggara, atau dapat dibilang bahwa Indonesia adalah Negara yang paling tidak sopan bersosial media se-Asia Tenggara.
Survey tersebut sudah mencakup responden dewasa dan remaja tentang interaksi kehidupan sosial media mereka dan pengalaman mereka menghadapi kejamnya media sosial.
Resiko Online yang cukup sering ditemui pada sosial media adalah beredarnya kabar hoax yang tidak tau benar atau tidaknya, ujaran kebencian, penipuan, bullying dan diskriminasi yang sering kita temui di sosial media kita.
Bahkan tidak sedikit orang menggunakan akun palsu atau anonymous account untuk menyerang target bullying. Mereka tidak segan-segan untuk menghina fisik bahkan kehidupan setiap sehari-hari targetnya. Bahkan kadang ada yang diancam dibunuh supaya target ini merasakan takut ketika membaca hate comment yang diberikan oleh sang pembuli ini.
Untuk kasus penipuan dan penyebaran berita hoax biasa termakan oleh generasi tua yang cenderung membaca tanpa mengerti bahwa berita yang ia baca itu benar atau tidak. Mereka cenderung langsung menyebarkan berita itu ke grup WhatsApp keluarga atau menyebarkan juga ke sosial media mereka. Sehingga semakin meluaslah berita hoax karena tanpa mengetahui isu yang ia sebarkan benar atau tidak.
Menurut Digital Civility Index (DCI), resiko terbesar dari perilaku netizen Indonesia menerima kabar hoax dan penipuan meningkat menjadi 47%. Kemudian faktor ujaran kebencian atau hate comment naik menjadi 27% dna diskriminasi menurun 135 dibanding tahun kemarin.
Pengamat psikososial dan budaya, Endang Mariani mengatakan, penting untuk mngetahui, pemting untuk mengetahui metodologi dan analisis data, untuk menentukan apakah hasil penelitian dapat digeneralisasi. Ia berkata "Saya belum tahu pasti teknik apa yang digunakan oleh DCI. Saya berasumsi bahwa ada 3 faktor yang yang mempengaruhi hal tersebut".
Ketidakpastian
      Faktor pertama adalah ketidakpastian. Pandemi yang tak kunjung berakhir ini membuat para netizen mencoba mencari informasi dari berbagai sumber. Banyaknya informasi yang belum bisa sepenuhnya diyakini. Hal itu membuat mereka langsung termakan informasi tersebut.
Kesulitan Ekonomi di masa pandemi
      Faktor kedua adalah kesulitan ekonomi. Kurangnya pendapatan selama pandemi menyebabkan terus meningkatnya kasus penipuan. Sehingga banyak orang menghalalkan semua cara agak bisa mendapatkan orang lain meskipun hal itu bisa merugikan orang lain.
Respon Rasa Frustasi
      Ujaran kebencian dan Diskriminasi dapat disebabkan rasa frustasi yang dialami sang pemberi ujaran kebencian itu. Hal ini menjadi bentuk luapan atau ungkapan emosional yang ada dalam pemberi ujaran kebencian itu.
      Setelah melihat hasil riset dari DCI, dapat disimpulkan bahwa sopan santun ketika berada di media sosial sangat dibutuhkan. media sosial memang memberikan kebebasan bagi para penggunanya, tetapi bukan berarti kita bebas mengemukakan pendapat dan beretika. Sopan santun harus dijaga karena kita tidak tau siapa saja yang berada di sosial media. Hindari penggunaan kata-kata kasar atau yang mengandung unsur SARA dan bisa menyinggung orang lain. Hormatilah pendapat dan kehidupan bersosial media orang lain agar memberikan feedback juga bagi kita.
Ditulis oleh : Rama Duta Abdullah, Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadyah Malang; IG : @ramadutaa; Twitter : @ramadutaa; Facebook : Rama Duta Abdullah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI