Mohon tunggu...
Ratna Selly Junita Manalu
Ratna Selly Junita Manalu Mohon Tunggu... -

independent traveller, stock trader, reading and write

Selanjutnya

Tutup

Money

Gulanya Hampir Habis...

20 Februari 2015   21:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kalau berbicara mengenai industri migas tentu yang terbersit pertama kali adalah perusahaan minyak yang melakukan eksplorasi dan produksi, yaitu para pemain di industri hulu. Inilah industri yang (dahulu) katanya paling prestius dan menjanjikan kesejahteraan terbaik bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Menjadi pelaku di industri hulu migas tidak cocok untuk sembarang perusahaan. Karena membutuhkan "keberanian" besar. Berani menanamkan investasi besar dengan resiko kegagalan besar, serta pengorbanan dari sisi waktu. Inilah bisnis high return, high risk. Pemerintah sendiri lebih suka menawarkan investasi di industri ini kepada pihak lain ketimbang terjun langsung, mungkin karena menimbang besarnya resiko. Di Indonesia tercatat sekitar 100-an perusahaan yang terjun ke bisnis migas, baik swasta nasional dan asing, termasuk perusahaan milik negara dan afiliasinya. Total investasi untuk industri ini dipastikan di atas 1000 Trilyun Rupiah.

Apakah resikonya terjun ke bisnis ini? Coba kita lirik data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengatakan bahwa sepanjang tahun 2009 hingga 2013, setidaknya ada 12 industri migas asing yang berinvestasi di hulu migas yang mengalami kerugian. Total kerugiannya pun tidak main-main, yakni hingga sebesar US$ 1,9 miliar atau Rp 23,750,000,000,000 (lihat nolnya yang berbaris seperti semut). Kalau dibagi sama rata, tiap perusahaan ini rugi Rp hampir 2 Trilyun dalam kurun waktu lima tahun hanya karena mereka gagal mendapatkan cadangan minyak dan gas yang ekonomis.

Siapa yang menanggung kerugian tersebut? Yah mereka jugalah. Karena sesuai kontrak kerja sama seluruh biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor akan ditanggung oleh kontraktor hingga berproduksi. Secara operasional, Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh SKK Migas yang bertugas sebagai pengawas dan pengendali usaha hulu minyak dan gas di Indonesia sejak dari eksplorasi hingga eksploitasi, sama sekali tidak turut berinvestasi, juga tidak turut menanggung kerugian tersebut.

Selain membutuhkan modal yang luar biasa, para pemain migas juga wajib memiliki tekad sekuat baja, dan "banyak waktu luang". Bayangkan saja, untuk kegiatan awal yakni tahap dan proses eksplorasi membutuhkan waktu hingga enam tahun yang mencakup studi geologi dan geografi, sesmik dan survei, lalu uji laboratorium, dan penggalian. Inilah tahap paling kritikal, karena kegagalan berarti bakal banyak fulus melayang. Padahal mencari cadangan migas di Indonesia dapat diibaratkan seperti mencari jarum di tumpukan jerami.  Pemerintah sendiri terkesan tidak memiliki data lengkap dan akurat mengenai wilayah dan lokasi dimana saja terdeteksi persembunyian cadangan minyak dan gas. Hanya disebutkan bahwa lokasinya makin mengarah ke kawasan timur Indonesia yang lautnya lebih dalam (di atas 1000 meter), sehingga kegiatannya lebih fokus ke lepas pantai, sedangkan temuannya lebih didominasi oleh gas. Inilah yang membuat industri ini trennya saat ini lebih padat modal, padat teknologi dan juga padat resiko.

Kalau pun cadangan migas ditemukan pekerjaan besar selanjutnya masih menanti. Dimulailah tahap pengembangan dan eksploitasi yang memakan lagi waktu sekitar 5-10 tahun hingga produksi pertama dilakukan. Ambil contoh, untuk wilayah eksplorasi di daerah Kalimantan dan Maluku rata-rata memakan waktu hingga 10 tahun baru berproduksi. Sedangkan di Jawa dan Sumatera bisa mencapai hingga 15 tahun. Belum lagi kalau menghitung proses perijinan yang panjang dan berbelit-belit, hingga membutuhkan pengisian lengkap 600 ribu lembar formulir isian!

Lamanya waktu dan besarnya investasi yang diperlukan ternyata tidak menyurutkan langkah para pemain di industri ini. Saat ini tercatat ada sekitar 316 Wilayah Kerja di Indonesia yang sedang melakukan berbagai tahap ekplorasi dan eksploitasi, termasuk sudah berproduksi. Yang jadi pertanyaan maha penting sesungguhnya adalah seberapa besarkah cadangan migas yang masih tersedia di wilayah Indonesia sehingga bisnis di industri hulu migas tetap memiliki prospek?

Menilik data yang tersedia di SKK Migas cadangan migas di republik ini saat ini berada di bawah 10 milyar barrel atau hanya sebesar 0,2% dari total dunia, dan secara teknis lapangan sudah memasuki tahap dewasa (mature stage) dan tahap penurunan (decline stage), karena perbandingannya hanya 10% minyak dan 90% air.  Bandingkan dengan era kejayaan migas di Indonesia pada tahun 1960-70an, yakni 90% minyak dan 10% air (cadangan di atas 20 milyar barrel). Cadangan minyak dari sisa fosil hewan jaman purba yang tinggal tersisa 10% itu tentulah secara bisnis sudah kurang menarik, bahkan tidak memiliki prospek untuk masa depan. Paling yang masih menjanjikan adalah cadangan gas yang dikalkulasi sebesar 1,6% dari total cadangan gas dunia.

Nah, menjadi menarik adalah mengapa bisnis ini masih dikerubungi para pemain? Oh, ternyata gulanya ada di hitung-hitungan di atas kertas. Dan memang hasilnya masih memukau, terlihat dari grafik perbandingan capex versus IRR.  Walau cadangan migas Indonesia sudah menipis, walau makin sulit mencari lokasi sumur baru, namun yang mencengangkan capital expenditure (tambahan modal untuk ekspansi usaha) dari perusahaan migas asing saja pada tahun 2006-2020 malah meningkat menjadi 30-100 Milyar US. Bandingkan dengan data tahun 2003-2010 yang hanya sebesar 10-30 Milyar USD.

Sedangkan target pengembalian investasi (IRR - Investment Return Ratio) berkisar 15-20% (data 2011). Nilainya? Masih sangat signifikan. Inilah manisan gulanya yang super duper makyooss. Bayangkan dengan modal 100 Milyar USD dengan kasaran target IRR 20% bisa diraup hingga 20 Milyar USD, sehingga kerugian 1,9 milyar USD yang disebutkan di atas tidaklah banyak berarti. Apalagi sesuai bunyi kontrak, apabila telah berproduksi secara komersil, maka seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor dapat dikembalikan (cost recovery) dari hasil produksi wilayah kerja tersebut. Inilah yang membuat  industri ini (saat ini) masih banyak yang melirik.

Namun, untuk calon pemain yang saat ini sedang menimbang-nimbang untuk terjun ke industri ini, silahkan kaji ulang berbagai data yang tersedia baik di SKK Migas maupun Dirjen ESDM, dan renungkan kembali. Gula yang sedikit dan sudah makin mencair dan dikerubuti banyak semut, apakah masih ada peluang untuk kebagian manisnya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun