Aku mengambil otak dalam batok kepalaku dan kuperhatikan dengan seksama. Â Lantas kurendam ke dalam sebuah ember yang sudah berisi campuran air dan detergen dan kudiamkan selama beberapa menit.
Tak lama, permukaan air dalam ember yang semula tampak jernih itu kini berubah jadi keruh dengan terangkatnya noda kotoran yang menempel pada otakku. Ngomong-ngomong, pasti kalian bingung dan heran, kan? Kenapa semua ini bisa terjadi padaku?
Tapi, tunggu, ini masih belum selesai dan belum masuk pada tahapan berikutnya. Aku masih perlu membilas lagi. Memang tak membutuhkan waktu lama, tapi perlu ketelitian dan kehati-hatian. Aku mesti fokus. Karena ini pekerjaan serius. Teringat seseorang pernah menegurku lantaran aku terlalu sembrono ketika kali pertama mencuci otak.
"Kau pikir mencuci otak sama seperti dengan mencuci baju atau piring kotor?"
Setelah kurasa cukup. Kemudian kupindahkan isi kepalaku itu ke dalam baskom berisi air bersih yang sudah kutaburi dengan pecahan batu es yang kuambil dari dalam lemari es.
Pada tahap terakhir, sambil menenteng otak yang masih basah dengan butir airnya jatuh menetes ke lantai. Aku menyalakan kipas angin dan kukeringkan terlebih dahulu di atas nampan melamin. Lanjut aku sarapan pagi dengan semangkuk bubur ayam.
Sehabis makan, aku menyetel musik blues dengan menikmati wine dan menghisap sebatang rokok. Sambil bersantai, aku ingin berbagi cerita. Dimulai dengan bagaimana aku mengeluarkan otak dari tempurung kepalaku.
Sebetulnya, kalau dipikir-pikir (meski tanpa menggunakan otak) tentu tak jauh beda dengan membelah batok kelapa. Namun yang membedakan tempurung kepalaku dengan batok kelapa adalah dari proses pembelahannya.
Jika batok kelapa dibelah dengan menghentakkan parang atau sejenis benda tajam lainnya. Tempurung kepalaku cukup dibuka dengan menggunakan tang dan obeng dengan mengendurkan simpul kawat besi dan beberapa sekrup kecil yang menempel pada tulang kepala.
Aku bahkan tidak tahu persis bagaimana benda-benda itu bisa tertanam pada batok kepalaku. Akan tetapi, peran besar itu tentu tak lepas dari campur tangan seorang ilmuwan yang juga merangkap sebagai dokter kandungan. Aku memanggilnya  Prof Dylan.