Mohon tunggu...
Ralindra Kartanama
Ralindra Kartanama Mohon Tunggu... Lainnya - Aquarius '96

Berisi kumpulan cerita pendek.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahagia: Cerpen

22 Desember 2021   06:27 Diperbarui: 22 Desember 2021   06:35 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar: hellosehat.com

Di depan cermin, lekat-lekat ia pandangi wajah yang tampak bahagia itu.

"Kenapa wajahku, kok, kelihatan bahagia, ya? Bukankah kemarin wajahku kelihatan bersedih?"

Kemudian, ia menampar keras pipi kanan-kiri itu dengan jemari tangannya.

"Plaak!!!"

"Plaak!!!"

Terasa perih. Ia mengerang sakit. Itu berarti ia tak sedang bermimpi. Lantas ia menjulurkan lidah, menguap, meringis, senyum, manyun, mengerutkan dahi, melotot, cemberut dan membuat mimik wajahnya seolah-olah tak terlihat bahagia. 

Namun percuma. Tak ada yang sama sekali berubah dari wajah yang ia saksikan di cermin. Wajahnya masih tetap tampak bahagia  seperti sediakala.

"Aku, kok, kelihatan bahagia, sih!", ia heran dan jengkel.

Semenjak bangun dari tidurnya, ia sama sekali tak mengerti, bagaimana bisa wajahnya tampak begitu bahagia hari ini. Kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sekaligus tanpa tahu apa penyebabnya mengapa wajahnnya tampak bahagia.

Sejauh ia bisa mengingatnya dengan baik. Bahwa semalam sebelum ia tidur, ia tak memiliki ritual khusus yang dilakukannya. Bahkan, ia melakukan sama seperti orang lain lakukan pada umumnya apabila mereka hendak tidur.

Mencuci muka. Gosok gigi. Lantas berbaring di kasur dan memejamkan mata. Bahkan, saat jatuh tertidur, selama itu pula ia tak mengingat apapun kecuali rasa nyenyak yang dirasakannya. Apalagi bermimpi. Ia pula tak yakin bahwa semalam apakah dirinya bermimpi atau tidak. Tapi yang jelas, tadi malam, tidurnya nyenyak sekali.

"Nak, wajah kamu, kok, kelihatan bahagia?", tanya sang ibu heran menatap wajah bahagia sang anak.

"Enggak tahu, Bu. Aku juga bingung."

Bukannya kemarin kamu sedih, ya?”

Sekarang aku masih sedih, Bu.”

"Jangan bohong sama orang tua! Itu buktinya kamu bahagia.""

Aku enggak bohong, Bu. Aku masih sedih."

"Sudahlah, Nak, kamu enggak bisa bohongi Ibumu lagi. Mengaku saja. Kamu bahagia, kan? Pak, lihat wajah anakmu.", kata ibu pada bapak.

"Lho, Nak, kamu kok kelihatan bahagia bener?", kini gantian bapaknya heran.

"Enggak tahu, Pak. Aku juga heran."

“Bukannya kemarin kamu sedih, ya?”

Sekarang juga aku masih sedih, Pak.”

"Bapakmu enggak bisa kamu bohongi seperti kamu bisa bohongi Ibumu. Sudahlah, mengaku saja. Kamu bahagia, kan?"

Di rumah, ia dibikin tambah bingung oleh ibu dan bapaknya. Sebagaimana ia bingung dan heran menatap wajahnya sendiri yang tampak bahagia setiap kali ia berkaca di cermin. Karena sumpek di rumah, ia memutuskan pergi mengunjungi kawannya. 

"Kayak ada yang beda, deh, hari ini."

“Apanya, yang beda?”

“Wajah kamu.”

“Kenapa wajahku?”

“Kelihatan bahagia.”

"Apaan, sih! Aku lagi jengkel hari ini."

"Enggak usah mengelak begitu. Kamu bahagia, kan?"

"Ampun, deh!"

"Tuh, kan! Kelihatan bahagia!"

Ia tak sadar. Semakin ia menunjukkan wajah yang bertolak belakang dari wajahnya yang bahagia itu, makin tampak dari wajahnya ia lebih bahagia. Lantas, ia menghubungi kekasihnya.

"Jangan-jangan, kamu selingkuh dari aku, ya?"

“Mulai deh, kamu. Enggak usah cari gara-gara.”

“Ngaku saja.”

"Kamu, kok, aneh sih! Bisa-bisanya kamu menuduh aku berselingkuh."

“Dari wajah kamu kelihatan, kok, kamu selingkuh.”

“Memang, ada apa dengan wajahku?”

“Wajah kamu kelihatan bahagia.”

“Ha?”

"Tuh, kan! Sudah kuduga kamu berselingkuh. Selama ini aku salah menilaimu.”

“Apa?”

“Kita putus! Kamu terlalu bahagia buat aku.”

“Ya sudah, kita putus! Itu kan yang kamu mau?!”

“Bener kan, yang aku bilang. Kita putus saja kamu masih kelihatan bahagia. Memang jahat kamu, ya!"

Ia tak bisa begini terus. Wajahnya mesti dirias atau paling tidak, mereka tak boleh menyaksikan kebahagiaan diraut wajahnya. Bahkan, kalau perlu, ia tutupi wajahnya dengan masker atau topeng. Akan tetapi, aura kebahagiaan di wajahnya tak terelakkan meski ia mengenakan masker dan topeng. Begitu pun saat wajah dan kepalanya sudah tertutupi helm berkaca hitam.

Di lampu merah menyala. Dua pemuda tanggung yang duduk berboncengan di atas sepeda motor terus memandangi ia tanpa mau mereka berkedip. Mereka pun berbisik-bisik asyik.

“Widih! Lihat, tuh, Mbaknya, kelihatan bahagia. Jadi pengen dipeluk.”

“Itu masih bagian tubuhnya, belum lagi wajahnya!”

“Ah, yang bener, Lu? Jadi penasaran sama mukanya.”

Kini, kebahagiaan di wajahnya merebak hingga ke seluruh anggota tubuh. Membuat dua pemuda tanggung itu terpukau dan ikut bahagia.

“Mbak?”, sapa satu pemuda tanggung itu.

Ia menoleh.

“Buka helmnya, dong.”, kata pemuda itu.

***

"Saya melihat ada aura bahagia yang berbahaya yang muncul dari diri adik.", tutur Orang Pintar (yang tak memiliki latar belakang pendidikan) itu.

Ia tercekat.

“Tentu ini ada hubungannya dengan makhluk jahat yang menempel di tubuh adik.”, lanjut Orang Pintar itu.

“Lantas, apa yang harus saya lakukan?”

“Saya tidak tahu pasti, kenapa makhluk itu ingin sekali terhadap adik. Tapi sepertinya...”

Lebih anehnya, Orang Pintar itu tak akan meminta bayaran berupa uang atau apapun sebagai bentuk imbalan. Asalkan ia bersedia hati menyerahkan tubuhnya kepada Orang Pintar itu, dengan dalih membersihkan diri.

“Saya menjamin solusi itu akan berhasil.”, ucap Orang Pintar itu.

Betapa terkejutnya ia mendengar penuturan dari Orang Pintar itu yang mengatakan bahwa dengan melakukan hubungan seksual dengannya dapat mengusir makhluk tersebut yang menempel pada dirinya. Dengan jawaban ganjil itu. Tak segan ia menolak.

***

“Dari apa yang saya dengar dari cerita anda, saya tidak menangkap anda sedang bersedih atau bahkan depresi.”, kata psikolog itu.

“Secara fisik saya memang terlihat sangat bahagia. Tapi sebenarnya saya sangat bersedih dan depresi saat ini.”

“Apakah anda sedang berusaha memanipulasi keadaan dengan berpura-pura bersedih?”

“Tidak. Saya tidak berpura-pura atau bahkan memanipulasi keadaan. Sungguh. Saya benar-benar bersedih.”

“Bagaimana saya bisa memercayai anda begitu saja, sedangkan saya melihat fisik dan mental anda terlihat sangat bahagia hari ini.“

“Tapi…”

“Itulah ciri-ciri psikopat!”

***

Seakan-akan ia dikutuk oleh kebahagiannya sendiri. Sehingga, seiring berjalannya waktu dari kebahagiaan itu sering mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman antara ia dengan orang-orang sekitar yang ditemuinya. Itu yang membuat ia kerap merasa bersedih lantaran mereka tak dapat melihat di balik kebahagiannya itu, sesungguhnya ada suatu kesedihan dalam dirinya. Mereka terlanjur silau oleh kebahagiaannya dan buta akan kesedihan yang mereka tak sanggup melihatnya.

Betapa pun ia amat-sangat bersedih dengan kebahagiaannya. Ia tak menginginkan kebahagiaaan yang ia sendiri tak bahagia. Tapi, mana mungkin juga ia bisa menyingkirkan kebahagiaan yang muncul secara alamiah itu dalam dirinya.

Walaupun takdir mengatakan ia harus bahagia, tapi tetap saja ia tak ingin berdamai dengan kebahagiannya itu. Apalagi harus berpura-pura bersedih untuk menutupi kebahagiaanya itu. Tentu saja semua orang tak akan mudah percaya. Begitu pula sebaliknya ia tak bisa menyakinkan mereka untuk percaya padanya bahwasanya dirinya sangat bersedih.

Di atas rooftop, dibiarkan angin malam meniup rambut panjangnya.

Petugas satpam gedung yang pada saat itu berkeliling jaga malam mendapati ia berdiri di sana.

“Mbak, ngapain berdiri di sana?”, tanya Si Satpam.

“Saya ingin bunuh diri, Pak.”

Si Satpam celingak-celinguk. Barangkali ada kamera tersembunyi sedang merekam mereka berdua.

"Mbak, mau bikin konten YouTop, ya? Supaya viral.”, tanya Si Satpam.

“Bapak enggak melihat dengan mata dan kepala bapak sendiri, kalau saya ingin loncat dari atap gedung ini?”

“Bukan begitu, Mbak. Bukannya saya enggak percaya. Tapi merasa aneh saja melihat Mbaknya yang sebahagia ini, kok, memilih bunuh diri.”

“Ini adalah kebahagiaan terakhir dari saya yang bisa Bapak saksikan. Selamat tinggal, Pak.”

“MBAAAKK!!!!!”

Benjeng, Desember 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun