Dua sosok tokoh bangsa, Johanes Leimena dan Amir Syarifuddin tidak bisa dilupakan dalam sejarah perjalanan bangsa dan pelayanan kekristenan untuk kalangan mahasiswa dalam pelayanan Oikumenikal di bidang perguruan tinggi, masyarakat dan gereja.
Peran Dr. John R Mott, pada tahun 1926, sangat berkontribusi dengan gerakan Oikumene yang dilancarkan dalam pelayanannya. Mott adalah adalah salah seorang bapak dari Gerakan Oikume sejak akhir abad 19 sampai abad 20.
Dari gerakan Oikumene inilah, Leimena terlibat dalam Muktamar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Di usianya yang 23 Tahun, dia mewakili pemuda Ambon (Jong Ambon) mendeklarasikan "Satu Tanah Air, Satu Bangaa, dan Satu Bahasa, yakni Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa Indonesia. Van Doorn, sang penginjil yang juga insinyur dan ahli ekonomi hadir sebagai peninjau dalam Muktamar Sumpah Pemuda.
Selanjutnya, sepak terjang Johanes Leimena untuk negeri ini pun menjadi bukti bahwa jabatan bukan untuk dinikmati untuk menghamba kekuasaan, dan hidup hedonis. Sebaliknya, Leimena mendirikan Parkindo untuk merebut kekuasaan dalam penata layanan masyarakat, bangsa dan gereja.Â
Memilih lebih baik menyalahkan lilin daripada mengutuki kegelapan. Dari ide dan gagasannya lah, ketika menjadi Menteri Kesehatan Republik mendirikan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di berbagai daerah. Ide pelayanan kesehatan tersebut yang membuat sampai kini masih dirasakan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Dari Mianggas hingga Pulau Rote.
Leimena juga menunjukan seorang dokter dan politisi yang berkarakter. Tidak heran bila dia dipercaya tujuh kali menjabat presiden, ketika Soekarno melakukan tugas kenegaraan ke luar negeri. Leimena sosok yang bersih, sampai akhir jabatannya tidak "bernoda" korupsi.Â
Di buku HMI karangan theolog Victor Tanya, ditulis, Leimena menolak bila Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan. Leimena beralasan bahwa HMI adalah aset bangsa yang perlu hadir untuk mengisi pembangunan. Pada era 1960-an, situasi politik Indonesia sedang panas-panasnya. Antara penganut politik Islam dan komunis.
Menjelang jatuhnya Soekarno dari jabatan presiden, pada tanggal 1 Oktober 1965. Gerakan Satu Oktober (Gestok). Leimena tetap setia bersama dengan Presiden Soekarno. Hinga membuat "tekanan mental" bagi kader-kader GMKI. Tulisan spanduk "GMKI Lo Mau Kemana?", agak memberi ngeri-ngeri sedap yang tidak terlupakan oleh mahasiswa di era itu. Terjadi pembelahan, mendukung Soekarno atau berpihak ke rejim militer yang dibackup Amerika Serikat. Yang nantinya menjadi Rejim Militer Soeharto.
Di tengah tergulingnya Soekarno, Leimena tidak memilih jalan opurtunis. Bahkan berdiri di jalan "sunyi" dengan sang Proklamator. Era awal Orde Baru fusi partai tahun 1973 ikut "membredel" Partai Kristen Indonesia (Parkindo), yang didirikan Leimena bersama tokoh Kristen lainnya. Dia "terapksa" memilih berfusi bersama dengan PNI, Murba, IPKI, dan Partai Katolik yang tergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Leimena didapuk duduk di Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDI. Hingga Tuhan "memanggil" Leimena pada 29 Maret 1977. Di makamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata.
Peran dan jasa Leimena tidak bisa dipisahkan dengan GMKI. Dari tangan dinginnyalah dalam mengimplementasikan Injil dan gerakan okumene lahir tokoh pers Sabam Siagian, politisi Sabam Sirait, Melanton Siregar, Menteri Sosial AM Tambunan, Menteri Pendidikan Sutan Gunung Mulia.
Dari GMKI juga lahir tokoh theolog Pdt. Dr. SAE Nababan, yang pernah menjabat Ephorus (Pimpinan gereja tertinggi ) HKBP dan Ketua Umum PGI, WTP Simarmata mantan Ephorus HKBP yang kini menjabat Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.Â