Mohon tunggu...
Raudatul Aulia
Raudatul Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarkaatuh. Saya Raudatul Aulia mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang, jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Saya memiliki hobi bernyanyi. Saya seorang ambivert yang sangat segan menolak permintaan orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Serupa Tapi Tak Sama: Tradisi Kenduri Kematian di Desa Bunin Dengan Mangaji Kamatian Padang Pariaman

22 Agustus 2024   22:19 Diperbarui: 23 Agustus 2024   00:32 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar: Raudatul Aulia

 sumber gambar: Raudatul Aulia
 sumber gambar: Raudatul Aulia

Adat kenduri kematian Desa Bunin yang paling besar adalah kenduri yang dilakukan di malam ke-44 yang disebut dengan nyawah lo. Untuk menjamu masyarakat, masakan disuguhkan dengan pemotongan lembu atau kambing. Fahrul selaku pemuda Desa Bunin, mengatakan "jika tidak sanggup, diganti menjadi ayam sebanyak 100 kg. Guna pemotongan tersebut adalah untuk aqiqah orang yang sudah meninggal tadi, baik belum maupun sudah pernah sebelumnya". 

Berbeda dengan Padang Pariaman, tradisi kematian yang paling besar dilakukan adalah di malam ke-14 yang dinamakan dengan mangaji maampek baleh ari. Pada waktu ini, dilakukan doa dan takziah besar-besaran. Keluarga almarhum mengundang masyarakat sekampung bahkan beda kampung sekalipun. "Urang siyak" yang dipaggil berjumlah 8 orang. Makanan dan lemang untuk jamuan harus dibuat dalam jumlah besar. Para tamu yang datang membawa sedekah berupa uang, beras, atau bahan sembako lainnya. Lalu seketika pulang, mereka diberi bingkisan lemang oleh tuan rumah. Sementara itu, pada malam ke-40 atau maampek puluah ari, rangkaian pelaksanaan di waktu ini hanya mangaji kecil-kecilan sama dengan di malam ke-3 dan ke-7.

Kenduri kematian pada malam ke-100, kembali dilakukan kecil-kecilan bersama keluarga besar. Sebaliknya, mangaji di Padang Pariaman lebih besar lagi yang disebut dengan manyaratuih ari. Masyarakat yang diundang tidak hanya dari kampung setempat. Urang siyak yang dipanggil masih berjumlah 8 orang sama seperti malam ke-14, begitu juga dengan rangkaian pelaksanaannya.

Perlu diketahui, kenduri besar-besaran yang dilakukan pada malam ke-44 dipercaya oleh masyarakat Bunin sebagai perpisahan ruh almarhum/alamarhumah dari rumah. Sedangkan masyarakat Padang Pariaman meyakini bahwa sebelum 100 hari, ruh almarhum/almarhumah masih tetap berada di rumah dan menangis meminta untuk didoakan. Di hari ke-100 lah perpisahan ruh almarhum/almarhumah dari rumah dan keluarga yang oleh sebab itu dilakukan mangaji besar-besaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun