Mohon tunggu...
Raldin Alif
Raldin Alif Mohon Tunggu... Mahasiswa

Topik yang saya sukai mengenai perpajakan. Namun lebih spesifik lagi berkaitan dengan underground Economy

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Berani Kenakan Pajak Prostitusi, Untung atau Buntung?

24 Maret 2024   13:51 Diperbarui: 24 Maret 2024   13:51 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Prostitusi dulu, sekarang dan nanti selalu menjadi kontroversi, dilokalisasi atau ditutup mati".

Kehidupan selalu memberikan ketidakpastian. Seperti koin yang memiliki dua sisi, hidup juga memberikan pilihan berupa berkah atau musibah, tenang atau kelam, positif atau negatif. Tak terkecuali bisnis prostitusi yang marak terjadi. Tidak hanya sekali, kita sering disuguhkan di berbagai media seperti televisi, koran, bahkan media sosial yang tak ada habisnya membahas dunia bisnis prostitusi ini.

Siapa yang menyangka bahwa bisnis ini, meskipun tampak luarnya kurang baik, ternyata sangat menguntungkan bagi sejumlah pemangku kepentingan? Industri prostitusi ini menguntungkan mucikari, pekerja seks komersial (PSK), dan bahkan masyarakat setempat. Beberapa artikel, laporan berita, dan video tentang perempuan yang baru-baru ini memasuki industri prostitusi sebagai "wanita penghibur" telah memicu perdebatan baru di lingkungan sekitar karena masyarakat menyadari betapa "menguntungkannya" industri ini bagi para pegiat bisnis ini. Industri prostitusi tumbuh, begitu pula  pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar lokasi bisnis prostitusi dengan penjualan barang-barang di sekitarnya. Berada tempat-tempat lokalisasi, menimbulkan terjalinnya simbiosis mutualisme yang berkembang antara mucikari dan pelacur serta semua anggota masyarakat lainnya. Menurut berita yang ditemukan saat menelusuri media digital, pengusaha jajanan ini berani meminta harga selangit kepada kliennya. Tentu sering dilansir oleh berita yang berisikan tentang tarif yang diterapkan dalam bisnis ini, kisaran harga pun bisa mencapai 20-50 juta untuk papan atas. 

Melihat fenomena tersebut, dampak yang dirasakan bukan hanya masyarakat sekitar namun pemerintah juga terkena dampaknya.  Pemerintah seharusnya dapat merasakan keuntungan dari bisnis itu. Dari sisi pemerintah, dengan adanya keuntungan yang besar dari penggiat bisnis ini dapat menambah penerimaan negara melalui Pajak. Dalam aturan perpajakan yang berlaku disebutkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahum 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menyebutkan bahwa

Pasal 1: "Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa pajak merupakan pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara secara pribadi yang bersifat memaksa. Dalam Undang-undang lain, lebih lanjut lagi dalam pengenaan pajak terhadap orang pribadi dapat dilihat dalam UU PPh.

Menurut UU PPh Pasal 4 ayat (1), "penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik dari berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau bentuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun". Dari pengertian Penghasilan dalam UU PPh tersebut, bahwa pajak tidak membedakan antara yang halal dan haram sejak awal. Cara pajak ditetapkan, tidak membedakan antara penghasilan yang berasal dari kegiatan yang halal dan haram, terlepas dari apakah penghasilan tersebut merupakan hasil dari prostitusi, perdagangan manusia, korupsi, perdagangan senjata ilegal, atau bahkan penggunaan narkoba. Selama ada tambahan penghasilan atau kenikmatan, maka negara memiliki hak untuk memungut pajak.

Dilansir oleh Havocscope pada tahun 2019, lembaga pencatat aktivitas pasar gelap, perputaran uang dari prostitusi di Indonesia mencapai US$ 2,25 miliar atau setara Rp 32 triliun. Dalam pengamatan saya terhadap harga tarif PSK, bahwa tarif yang mereka pasang adalah kisaran 500 ribu dengan 3-5 kali dalam sehari dan 15-20 hari dalam sebulan. Bahkan dalam (kompasiana.com, 2021), menyebutkan bahwa harga tarif mencapai 1 juta untuk short time. Jika dilihat dari hasil tersebut maka dapat dilihat bahwa penghasilan yang didapat sekitar 50 juta dalam sebulan. Tentu angka tersebut cukup fantastis jika dibandingkan gaji seorang karyawan kantoran pada umumnya.

Dengan penghasilan yang cukup fantastis, apakah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai institusi pengumpul penerimaan pajak negara berani menelusuri potensi pajak dari bisnis prostitusi tersebut? Saat ini DJP menerapkan UU HPP sejak 2021 di mana terdapat bonus ekstra untuk tidak dikenakan pajak apabila omzet yang dihasilkan tidak lebih dari 500 juta. Jika dihitung secara matematika, penghasilan setahun dari bisnis tersebut dapat mencapai 600 juta sehingga dapat dikenakan pajak 0,5% sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Teka-teki lainnya adalah apakah DJP mempunyai keberanian untuk mengumpulkan para PSK dari berbagai lokalisasi di seluruh Indonesia untuk mengadakan sosialisasi, contohnya dengan mendorong mereka untuk membuat SPT Tahunan dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dalam kenyataannya, hingga saat ini tidak ada yang "mengakui" secara gamblang bahwa dia bekerja sebagai PSK yang melaporkan SPT tahunan dan memiliki NPWP. Dari berbagai pertanyaan tersebut akan memicu dilema dari DJP. Pada dasarnya, DJP memang memiliki kekuasaan untuk mengenakan pajak PSK dan rantai-rantai pengikat lainnya, tetapi DJP pasti akan berpikir kembali bahkan berpikir ribuan kali untuk berani mendapatkan pernyataan netizen "membiayai negara dari uang haram".

Fakta tersebut membuat kita belum pernah mendapati DJP mengadakan sosialisasi kepemilikan NPWP di tempat-tempat lokalisasi. Padahal, dalam sosialisasi tersebut DJP bisa bercerita bagaimana pemerintah membangun puskesmas, jaminan kesehatan, jaminan pendidikan dan seterusnya yang nanti tujuannya adalah untuk menghipnotis para PSK untuk membayar pajak. Tentu kita tahu bahwa Indonesia bukanlah Jerman yang melegalkan prostitusi sebagai bisnis yang menguntungkan, di mana para PSK-nya memiliki nomor identitas perpajakan yaitu NPWP. Sebutan sebagai the biggest brothel untuk negara Jerman sudah tidak asing lagi didengar. Menyosialisasikan untuk mempunyai NPWP kepada PSK seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Jikalau sosialisasi semacam itu ada, hampir dipastikan tidak akan ada peserta yang mengikuti kegiatan tersebut.

Tidak ada yang berani mengaku terlibat dalam kegiatan terlarang di depan pihak berwenang. Perjudian, prostitusi, dan penggunaan narkoba adalah industri yang dilarang. Mereka yang mencoba untuk menghindari hukum yang berlaku untuk membangun lingkaran bisnis mereka sendiri yang bebas dari campur tangan pemerintah. Ada perusahaan yang legal dan ada pula yang terlarang. Sebutan semua perusahaan ini dikenal sebagai undergorund economy atau shadow economy dalam beberapa literatur. Industri ini dianggap sulit untuk dikenai pajak dalam tradisi perpajakan.

Melihat dari sudut pandang lain, underground economy khususnya prostitusi ini memiliki efek negatif bagi pengguna dan penyedia jasa tersebut. Mengingat virus yang sedang marak yaitu  human immunodeficiency virus (HIV) atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya. DJP memang berhak untuk mengenakan pajak atas PSK, tetapi apakah hasilnya dapat menutupi kebutuhan layanan kesehatan masyarakat di lokalisasi? Bagaimana dengan keadaan moral masyarakat sekitar lokalisasi khususnya anak-anak? Dari hasil pengamatan saya terhadap bisnis prostitusi bagi warga sekitar lokalisasi pada tahun 2018 memiliki kekhawatiran terhadap masa depan anak-anak. Banyaknya suara musik dan kegiatan negatif lainnya mengganggu kegiatan belajar anak-anak serta tumbuh kembang mereka. Kegiatan prostitusi ini memang meningkatkan ekonomi warga sekitar namun ada  tradeoff yang dihasilkan oleh lingkungan yang buruk seperti maraknya narkoba dan minuman beralkohol yang notabene dapat merusak kehidupan moral dalam kehidupan bermasyarakat bagi anak-anak penerus bangsa nantinya.

Apakah DJP berani untuk memungut pajak prostitusi yang memiliki perputaran uang yang cukup fantastis? Secara matematika, penggalian potensi bisnis ini jika dilakukan secara masif maka akan meningkatkan penerimaan pajak cukup signifikan, akan tetapi DJP juga harus menggunakan sudut pandang moral-moral yang berlaku di masyarakat. Mengenakan pajak terhadap sesuatu yang ilegal dan amoral akan memberikan opini secara tidak langsung kepada masyarakat bahwa negara melegalkan aktivitas tersebut. Memang pada teorinya bahwa pajak memiliki fungsi regulerend, seperti halnya mengatur konsumsi minuman keras dengan memberikan pajak yang tinggi, akan tetapi tidak untuk hal yang dapat merusak moral dan kesehatan dalam bisnis prostitusi ini.

Pepatah mengatakan, Jika suatu tindak kejahatan tidak bisa dihilangkan bukan berarti kejahatan tersebut harus dilegalisasi. Ada harga yang sangat mahal harus dibayar DJP jika harus mengenakan pajak terhadap bisnis prostitusi tersebut.


*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun