Selamat malam, Tuan.
Aku tahu Tuan tidak peduli akan sebuah kabar dariku. Tapi, malam ini sepertinya sayat itu semakin dalam.
Percayalah, aku sudah mencoba pagan. Tapi semua yang hancur berantakan sangat sulit untuk kembali direkatkan.
Banyak nasihat kuno dan bijak yang kubaca. Tentang meninggalkan, yang terlihat mudah tanpa kesulitan. Namun, ternyata, kata-kata itu hanya membuatku semakin kesakitan.
Bagai mengharap guruh di langit, air tempayan ditumpahkan, aku kehilangan tanpa mendapat sesuatu yang menggantikan.
Tapi, apa kehilangan sesuatu yang belum sempat tergenggam itu bisa disebut kehilangan?
Bodoh.
Aku tahu ini melukai, tapi mencoba melupakan nyatanya lebih dari sekedar luka.
Dan lebih bodohnya, ada yang merindu Tuan di sini.
Ya,
Ada yang rindu Tuan di sini.
Dan apa Tuan tahu? Kerap kali ini menyiksa. Apalagi ketika aku hanya bisa mencinta dalam senyap.
Tugasku di sini pun, hanya sekedar mencintai. Bukan memaksa agar dicintai. Tapi, apa wajar jika lama-kelamaan, rasa yang dimiliki ini enggan pergi? Jauh lebih dalam, aku ingin memiliki.
Mungkin waktu memang belum berpihak, tapi percayalah sama sekali aku enggan beranjak. Aku kerap kali mengutuk jarak, namun teringat bahwa kita masih berada di atas satu pijak.
Ada yang rindu Tuan di sini.
Tak apa jika Tuan tidak. Tak apa jika Tuan menemukan puan lain yang bisa membuat nyaman. Tak apa jika semua tak terbalaskan, karena dengan luka, sejak lama aku berkawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H