Alhamdulillah, kita telah mampu melalui bulan suci Ramadhan dan merayakan Idul Fitri dengan cara yang berbeda di tengah-tengah pandemi covid-19 yang TIDAK bisa diprediksikan kapan berakhirnya. Â Bahkan bagaimana kelanjutannya di hari-hari ke depan, tak seorang ahlipun mampu mengetahuinya. Â
Sebagai "ganti" nya, kita telah dihimbau untuk mempersiapkan diri dengan kehidupan normal dengan cara yang baru (NEW NORMAL), dan itu berarti harus kita mulai dari pagi ini, pagi pertama kegiatan kantor setelah perayaan Idul Fitri. Â Inipun merupakan sebuah "kehidupan baru" yang berbeda dari biasanya, karena sudah harus bekerja dengan normal di hari ketiga lebaran, yang biasanya masih merupakan hari libur bersama nasional.
Ya,... kehidupan normal dengan cara yang baru (NEW NORMAL) memang menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari lagi dan harus dihadapi oleh makhluk yang hidup dipermukaan planet bumi ini. Sebuah makhluk ciptaan Tuhan yang sangat kecil dan tidak kasat mata, tiba-tiba saja muncul dan menggoncang planet ini, merubah semua mekanisme kehidupan dan kenyamanan yang telah terbangun selama ini.Â
Dalam waktu yang hanya 4 bulan, makhluk super kecil yang konon muncul dari sebuah pasar di China mampu mengambil alih kendali atas kehidupan di planet bumi yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Selama beberapa bulan terakhir, berbagai upaya telah dilakukan oleh para ahli medis, ilmuwan, akademisi, tentara, polisi dan semua pihak yang memiliki keahlian untuk sesegera mungkin ke luar dari pandemi covid 19.Â
Berbagai teori terus bermunculan untuk menganalisa makhluk tak kasat mata ini. Berbagai produk medis hingga herbal, dan bahkan supranatural, termasuk para rohaniawan terus bermunculan yang semuanya diklaim bisa menjadi solusi untuk menghadapi covid 19. Namun sekali lagi, hingga sampai saat ini belum ada satupun yang terbukti dan disepakati sebagai solusi paling tepat.
Pada akhirnya, kesepakatan yang muncul adalah keharusan bagi manusia untuk "hidup berdamai" atau hidup berdampingan dengan sang virus sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, dengan cara yang baru agar kehidupan di muka bumi ini terus berjalan. Manusia harus melanjutkan hidup dan tugasnya sebagai "khalifah fil ard".Â
Di sisi yang lain virus covid 19 juga telah memenuhi hampir seluruh permukaan bumi, sedangkan pembasminya atau paling tidak penawarnya belum tahu kapan akan ditemukan. Oleh karenanya cara terbijak untuk menyikapi adalah dengan "hidup berdamai" atau yang saat ini disebut NEW NORMALÂ dan masih ramai digunjingkan, ada yang pro dan pasti banyak juga yang kontra.Â
Saat pertama kali wacana untuk "hidup berdamai" ini muncul pun diiringi oleh reaksi negatif sebagai akibat dari persepsi yang tidak lengkap, walaupun pada akhirnya ini menjadi keniscayaan global yang tidak bisa dihindari.
Walaupun NEW NORMALÂ secara resmi belum ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, dan baru dipersiapkan, tetapi atmosfirnya sudah terasa sejak beberapa hari belakangan ini. Dan seperti biasanya, pro-kontra pun muncul mengiringi persiapan untuk memasuki kehidupan baru ini.Â
Semua itu menjadi warna dari dinamika kehidupan manusia yang tidak bisa lepas dari nafsu dan kepentingan akan ekonomi, sosial politik, atau sekedar eksistensi diri. Tetapi sekali lagi, NEW NORMAL atau apapun terminologi baku yang akan digunakan nantinya, situasi ini sudah pasti akan kita jalani dengan segala macam konsekuensinya. Bertahan melanjutkan hidup dengan disiplin yang ketat, atau segera menghadap yang Khaliq. Â Kita harus berani mengucapkan selamat datang kepada NEW NORMAL atau mengucapkan kepada diri sendiri selamat memasuki kehidupan itu.
Paradigma baru intelijen
Jika kita mau melihat ke belakang, seharusnya tidak sulit juga menerima realitas bahwa intelijen yang merupakan sebuah "foreknowledge" atau ilmu untuk meramalkan/memprediksikan juga akan mengalami perubahan paradigma. Kita tentu belum lupa banyaknya teori-teori konspirasi tentang perang intelijen yang mengiringi merebaknya pandemi covid 19 sejak pertama kemunculannya di Wuhan, China.Â
Pandemi covid-19 ini kebetulan terjadi di tengah-tengah "perang dingin" antara AS dan China, sehingga tidak mengherankan jika sejak awal muncul teori-teori konspirasi yang mengaitkan dengan permainan intelijen kedua belah pihak. Ditambah lagi, khusus masyarakat Indonesia yang seringkali oversensitive terhadap isu agama, mewabahnya covid 19 juga memunculkan teori-teori konspirasi tersendiri dikaitkan dengan isu terdzoliminya masyarakat muslim Uighur oleh pemerintah China.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan kejadian, satu persatu teori konspirasi itu berguguran dan terus berganti hingga akhirnya saat ini yang relatif masih memiliki pengikut cukup fanatik adalah teori konspirasi elit global, yang memang telah menjadi teori konspirasi tradisional sejak berabad-abad yang lalu, walaupun juga tidak pernah dapat dibuktikan. Analisa intelijen juga telah banyak dibuat baik secara perorangan maupun institusi yang membahas persoalan ini, dan hingga saat ini belum ada yang terbukti kebenarannya.
Demikian pula dengan teori-teori tentang prediksi kapan akan berakhirnya pandemi covid 19 ini, telah banyak bermunculan dari para pakar, lembaga penelitian terkemuka dunia maupun pihak intelijen. Bahkan ada yang berani menyebutkan tanggal waktu kapan pandemi ini akan berakhir di masing-masing negara. Pada kenyataannya, waktu terus berjalan dan semua prediksi itu tinggal cerita, semacam novel fiksi yang menarik pada masanya, walaupun tidak sedikit pula yang masih meyakini akan terjadinya konspirasi tingkat tinggi.
Tentu saja ini menjadi gambaran bahwa kehebatan intelijen sebagai foreknowledge pun telah ikut dihancurkan oleh makhluk tak kasat mata ini. Ini merupakan indikasi bahwa kita intelijen tidak bisa lagi hanya mengandalkan teori-teori atau teknik yang selama ini digunakan dalam menghadapi suatu masalah. Mau tidak mau, paradigma intelijen harus berubah, belajar dari apa yang sedang terjadi dengan pandemi covid-19 ini.
Dalam sebuah artikel pada laman resmi BIN (http://www.bin.go.id/) dituliskan pendapatnya mantan Waka Bin As'ad Said Ali yang mengatakan bahwa 'Intelijen bukanlah sosok yang menyeramkan dan misterius. Sesuai dengan makna dasarnya "intelligent" adalah kecerdasan'. Seorang intelijen  seharusnya adalah sosok yang cerdas dalam menjalankan tugasnya.Â
Kecerdasan ini sangat diperlukan karena bidang tugas intelijen akan lebih banyak bertumpu pada analisis beragam informasi untuk memperoleh prediksi yang cepat dan akurat yang selanjutnya menjadi input penting pengambilan kebijakan ataupun dukungan kebijakan'.
Senada dengan argumen tersebut, artikel lain pada laman jurnalintelijen.net menuliskan bahwa Paradigma Intelijen yang mendarah daging sebagai aparat negara yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang sangat besar harus segera diubah. Intelijen harus menggambarkan kecerdasan yang mampu memberikan peringatan dan deteksi dini terhadap ancaman, bukan menggambarkan suatu kekuatan dan kewenangan tidak terbatas sebagai alat penguasa. Intelijen harus sadar bahwa tugasnya adalah memberikan informasi kepada user dengan menggunakan cara-cara yang cerdas dan dalam koridor menghargai hak asasi manusia.
Jika mau jujur, kita tentu menyadari bahwa sebagian dari intelijen kita (tidak semua) masih cenderung melaksanakan tugas dengan prinsip "biasanya begini" dan menganggap apa yang selama ini telah dipahami sudah merupakan kemampuan puncak yang sulit ditandingi oleh ilmu pengetahuan lainnya.Â
Akhirnya, intelijen kita cenderung tidak berkembang, dan terkungkung dalam paradigma lama yang lebih banyak mengandalkan keyakinan. Hal tersebut diperparah dengan kenyataan rendahnya tingkat literasi (kemauan membaca dan mengembangkan pengetahuan) masyarakat Indonesia yang cukup memprihatinkan (ranking kedua terbawah dunia pada tahun 2019). Inilah yang seharusnya disadari betul oleh setiap insan intelijen kita dan dengan bersungguh-sungguh merubahnya.
Pandemi covid-19 terjadi di tengah-tengah semangat manusia di planet bumi ini menyongsong era industri 4.0 yang diwarnai dengan semakin dominannya digitalisasi berbagai urusan manusia. Dalam konteks budaya literasi, dunia juga telah merumuskan konsep literasi baru agar manusia lebih adaptif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat di era industri 4.0 ini. Literasi baru  ini mencakup literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia.Â
Literasi data terkait dengan kemampuan membaca, menganalisis, dan membuat konklusi berpikir berdasarkan data dan informasi (big data) yang diperoleh. Literasi teknologi terkait dengan kemampuan memahami cara kerja mesin. Aplikasi teknologi dan bekerja berbasis produk teknologi untuk mendapatkan hasil maksimal. Literasi manusia terkait dengan kemampuan komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, kreatif dan inovatif, serta memperkirakan sesuatu yang bakal terjadi di masa menatang.
Belajar dari pengalaman menghadapi pandemi covid-19 yang seiring sejalan dengan badai informasi melalui media digital, agar intelijen kita mampu membuat analisa yang logis, realistis, dan terhindar dari kepentingan-kepentingan sempit, tentu saja dituntut untuk memiliki penguasaan yang baik terhadap budaya literasi baru tersebut. Diakui atau tidak, informasi intelijen saat ini tidak bisa lagi hanya mengandalkan dari human intelligence (HUMINT), melainkan telah semakin bergeser kepada open source intelligence (OSINT), cyber or digital network intelligence (CYBINT or DNINT) maupun disiplin-displin ilmu intelijen yang lainnya.
Jika intelijen kita tidak memiliki budaya literasi baru, khususnya literasi data dan literasi teknologi, maka kecepatan pengumpulan dan penyajian informasi maupun kelemahan analisanya akan menjadi tinggi. Walaupun material khusus intelijen (matsusin) dilengkapi dengan teknologi-teknologi tercanggih, namun jika tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang memiliki budaya literasi baru, maka nilai manfaatnya tidak akan optimal. Dampaknya tentu saja akan berpengaruh pada ketepatan pengambilan keputusan pimpinan dalam menghadapi permasalahan.
Memang masih diperlukan kerja keras dalam waktu yang cukup panjang, bahkan tidak akan ada selesainya untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian secara teknis dan taktis untuk mengimplementasikannya. Namun setidaknya kesadaran itu harus segera dibangun agar proses tersebut berlangsung dengan lancar dan intelijen kita menjadi semakin hebat dalam melaksanakan tugas pokoknya.
~ pojokan Kenzi Adiwangsa, 26/05/2020 ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H