Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

New Normal dan Paradigma Baru Intelijen

27 Mei 2020   10:32 Diperbarui: 27 Mei 2020   10:29 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Jika kita mau melihat ke belakang, seharusnya tidak sulit juga menerima realitas bahwa intelijen yang merupakan sebuah "foreknowledge" atau ilmu untuk meramalkan/memprediksikan juga akan mengalami perubahan paradigma. Kita tentu belum lupa banyaknya teori-teori konspirasi tentang perang intelijen yang mengiringi merebaknya pandemi covid 19 sejak pertama kemunculannya di Wuhan, China. 

Pandemi covid-19 ini kebetulan terjadi di tengah-tengah "perang dingin" antara AS dan China, sehingga tidak mengherankan jika sejak awal muncul teori-teori konspirasi yang mengaitkan dengan permainan intelijen kedua belah pihak. Ditambah lagi, khusus masyarakat Indonesia yang seringkali oversensitive terhadap isu agama, mewabahnya covid 19 juga memunculkan teori-teori konspirasi tersendiri dikaitkan dengan isu terdzoliminya masyarakat muslim Uighur oleh pemerintah China.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan kejadian, satu persatu teori konspirasi itu berguguran dan terus berganti hingga akhirnya saat ini yang relatif masih memiliki pengikut cukup fanatik adalah teori konspirasi elit global, yang memang telah menjadi teori konspirasi tradisional sejak berabad-abad yang lalu, walaupun juga tidak pernah dapat dibuktikan. Analisa intelijen juga telah banyak dibuat baik secara perorangan maupun institusi yang membahas persoalan ini, dan hingga saat ini belum ada yang terbukti kebenarannya.

Demikian pula dengan teori-teori tentang prediksi kapan akan berakhirnya pandemi covid 19 ini, telah banyak bermunculan dari para pakar, lembaga penelitian terkemuka dunia maupun pihak intelijen. Bahkan ada yang berani menyebutkan tanggal waktu kapan pandemi ini akan berakhir di masing-masing negara. Pada kenyataannya, waktu terus berjalan dan semua prediksi itu tinggal cerita, semacam novel fiksi yang menarik pada masanya, walaupun tidak sedikit pula yang masih meyakini akan terjadinya konspirasi tingkat tinggi.

Tentu saja ini menjadi gambaran bahwa kehebatan intelijen sebagai foreknowledge pun telah ikut dihancurkan oleh makhluk tak kasat mata ini. Ini merupakan indikasi bahwa kita intelijen tidak bisa lagi hanya mengandalkan teori-teori atau teknik yang selama ini digunakan dalam menghadapi suatu masalah. Mau tidak mau, paradigma intelijen harus berubah, belajar dari apa yang sedang terjadi dengan pandemi covid-19 ini.

Dalam sebuah artikel pada laman resmi BIN (http://www.bin.go.id/) dituliskan pendapatnya mantan Waka Bin As'ad Said Ali yang mengatakan bahwa 'Intelijen bukanlah sosok yang menyeramkan dan misterius. Sesuai dengan makna dasarnya "intelligent" adalah kecerdasan'. Seorang intelijen  seharusnya adalah sosok yang cerdas dalam menjalankan tugasnya. 

Kecerdasan ini sangat diperlukan karena bidang tugas intelijen akan lebih banyak bertumpu pada analisis beragam informasi untuk memperoleh prediksi yang cepat dan akurat yang selanjutnya menjadi input penting pengambilan kebijakan ataupun dukungan kebijakan'.

Senada dengan argumen tersebut, artikel lain pada laman jurnalintelijen.net menuliskan bahwa Paradigma Intelijen yang mendarah daging sebagai aparat negara yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang sangat besar harus segera diubah. Intelijen harus menggambarkan kecerdasan yang mampu memberikan peringatan dan deteksi dini terhadap ancaman, bukan menggambarkan suatu kekuatan dan kewenangan tidak terbatas sebagai alat penguasa. Intelijen harus sadar bahwa tugasnya adalah memberikan informasi kepada user dengan menggunakan cara-cara yang cerdas dan dalam koridor menghargai hak asasi manusia.

Jika mau jujur, kita tentu menyadari bahwa sebagian dari intelijen kita (tidak semua) masih cenderung melaksanakan tugas dengan prinsip "biasanya begini" dan menganggap apa yang selama ini telah dipahami sudah merupakan kemampuan puncak yang sulit ditandingi oleh ilmu pengetahuan lainnya. 

Akhirnya, intelijen kita cenderung tidak berkembang, dan terkungkung dalam paradigma lama yang lebih banyak mengandalkan keyakinan. Hal tersebut diperparah dengan kenyataan rendahnya tingkat literasi (kemauan membaca dan mengembangkan pengetahuan) masyarakat Indonesia yang cukup memprihatinkan (ranking kedua terbawah dunia pada tahun 2019). Inilah yang seharusnya disadari betul oleh setiap insan intelijen kita dan dengan bersungguh-sungguh merubahnya.

Pandemi covid-19 terjadi di tengah-tengah semangat manusia di planet bumi ini menyongsong era industri 4.0 yang diwarnai dengan semakin dominannya digitalisasi berbagai urusan manusia. Dalam konteks budaya literasi, dunia juga telah merumuskan konsep literasi baru agar manusia lebih adaptif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat di era industri 4.0 ini. Literasi baru  ini mencakup literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun