Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Covid-19 dan Virus Sosial Penghancur Ke-kita-an

11 April 2020   16:20 Diperbarui: 11 April 2020   16:24 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan judul itu, saya tidak akan mengulas persoalan pandemi covid 19 ini secara analitis dari sudut pandang intelijen, karena memang saya tidak punya ilmunya. Saya hanya ingin melihat bagaimana sebaiknya kita menghadapi wabah ini secara sosial, mengiringi keprihatinan atas penilaian publik bahwa Indonesia dinilai sebagai salah satu dari 3 negara dengan penanganan wabah covid 19 yang TERBURUK, versi seorang pengamat politik.

Obyektivitas, parameter dan validitas data serta pembanding yang digunakan untuk memberikan penilaian TERBURUK tersebut memang masih perlu juga untuk dipertanyakan, disamping tentu saja juga tidak dapat dilepaskan dari sosok yang memberikan penilaian itu. Tetapi dari point inilah saya akhirnya tergerak untuk membuat tulisan bebas pengisi waktu PSBB ini.

Secara pribadi saya menilai bahwa, secara kebetulan pandemi covid 19 ini terjadi ditengah-tengah situasi sosial politik Indonesia yang masih belum sepenuhnya move on dari friksi politik akibat "virus sosial" yang mewabah sejak Pilpres 2014 dan diperparah oleh Pilkada DKI 2017 serta menjadi semakin kronis pada Pilpres 2019.

Akibatnya, sebagaimana berbagai pendapat yang telah tersebar melalui media, wabah yang dihadapi masyarakat Indonesia sekarang ini menjadi jauh lebih membahayakan, karena tidak saja menyerang sistem pernafasan melainkan juga menyerang kejiwaan, akal sehat serta rasa kemanusiaan kita sebagai manusia. 

Contoh yang paling aktual dan memprihatinkan adalah yang terjadi kemaren di wilaqyah Ungaran, Jawa Tengah ketika ada masyarakat yang dipimpin oleh Ketua RT nya menolak pemakaman jenazah seorang perawat yang gugur dalam "perjuangan dan pengorbanannya" di garda terdepan menghadapi wabah covid 19 ini. Alih-alih mendapatkan penghormatan sebagai pahlawan , jenazah perawat tersebut ditolak oleh warga karena dianggap sebagai aib. Sungguh menyedihkan dan sulit diterima akal sehat manusia...!!!

Virus sosial itulah yang menurut saya memiliki dampak yang lebih berbahaya daripada covid 19 itu sendiri. Jika dalam kasus pandemi covid 19, tangan dianggap sebagai media utama penularannya dari satu manusia ke manusia lainnya, maka tangan pulalah (khususnya jari jempol) yang juga menjadi media utama penularan "virus sosial" dari satu manusia ke banyak manusia lain sekaligus melalui tombol-tombol HP.

Disadari dan diakui atau tidak, merebaknya covid 19 di Wuhan, Tiongkok, yang kemudian menjadi pandemi global, juga sekaligus membuka kembali pintu merebaknya endemi "virus sosial" di Indonesia yang seharusnya mulai mereda setelah 5 bulan selesainya Pilpres 2019. Akibatnya, penanganan covid 19 di Indonesia terkesan carut marut sejak awal, merasuki alam pikiran manusia Indonesia melalui, khususnya, media sosial maupun media-media online "non-mainstream".

Saat covid 19 ini dinyatakan sebagai pandemi global dan kita menyaksikan betapa luar biasanya dampak yang ditimbulkan di seluruh dunia, bahkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat pun dengan begitu mudahnya ditaklukkan, seharusnya kita juga melihat ini sebagai sebuah musuh atau ancaman bersama.

Pada situasi normal, disaat menghadapi sebuah "common enemy" seharusnya nasionalisme atau ke "KITA" an suatu bangsa akan terbangun dengan sendirinya secara kuat. Tetapi sayangnya, hingga memasuki bulan kedua wabah covid 19 di Indonesia dan diberlakukannya PSBB di beberapa wilayah, ke "KITA" an itu masih belum tampak pada diri bangsa Indonesia. Alih-alih covid 19 dianggap sebagai musuh bersama dan dihadapi dengan spirit kebersamaan, justru terkesan malah dimanfaatkan sebagai alat untuk menggapai kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompok.

Merebaknya covid 19 di akhir Februari 2020 dibarengi dengan merebaknya kembali "virus sosial". Pihak-pihak yang sebelumnya berkontestasi dalam Pilpres 2019, seolah-olah menemukan panggung pertarungannya yang baru setelah panggung utama ditutup pada Oktober 2019 pasca pelantikan Presiden dan pembentukan pemerintahan yang baru. Saling menyalahkan, saling menjegal, saling berdebat, saling mencari popularitas kembali memenuhi ruang-ruang publik, khususnya di media sosial. Kristalisasi kekuatan "AKU" dan "KAMU" kembali terbentuk dan menghancurkan ke "KITA" an bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang SATU DALAM KEBHINEKAAN.

Dalam tulisan ini saya tidak membahas atau melihat perilaku-perilaku oportunistis yang kemungkinan mengambil keuntungan ekonomis dari pandemi covid 19 ini, baik yang terkait dengan pengelolaan anggaran tanggap darurat, jual beli peralatan medis hingga permainan valuta asing yang ekstrim fluktuasinya. Walaupun itu juga sebenarnya merupakan virus lain yang cukup membahayakan, tetapi kita fokus saja pada topik utama pembahasan, yaitu serangan virus sosial yang menghacurkan ke "KITA" an sebagai bangsa Indonesia.

Saya teringat pernah tanpa sengaja menonton sebuah film di saluran TV kabel yang awalnya sangat tidak menarik buat saya, karena tidak ada pemerannya yang terkenal dan ceritanya pun "picisan", yaitu tentang sebuah lomba dance remaja internasional. Tentu saja tema film itu awalnya saya anggap sangat amatiran dan "nggak gue banget deh...." Judul film itu adalah Battle of The Year produksi tahun 2013.

Tapi kemudian ada satu momentum kecil yang menarik, dan akhirnya membuat saya menonton sampai selesai, padahal banyak film yang lebih bagus di saluran yang lain. Moment itu adalah saat pertama kali si pelatih berbicara pada anak-anak remaja jalanan yang berkumpul untuk menjadi tim dance yang nantinya akan mewakili Amerika Serikat pada sebuah ajang lomba internasional.

Pelatih yang awalnya diragukan kemampuannya dan juga agak urakan, mengatakan bahwa untuk membentuk sebuah tim yang hebat, tidak boleh ada seorangpun mengatakan "AKU" sejak terkumpul ke dalam sebuah tim. Semua orang harus menggunakan istilah "KITA", dan setiap terdengar ada anggota tim yang mengatakan "AKU", maka seluruh anggota tim harus melaksanakan push up 100 kali.

Singkat cerita, akhirnya tim yang diharapkan dapat terbentuk melalui proses yang berat dan seringkali diwarnai oleh konflik antar mereka sendiri. Mereka yang tidak bisa memegang komitmen ke "KITA" an tereliminasi, mereka yang awalnya anak jalanan yang gemar berkelahi akhirnya kompak dan saling mendukung satu sama lain. Hilangnya semangat ke-aku-an dan berganti dengan menguatnya semangat ke "KITA" an akhirnya mampu membawa tim tersebut meraih juara 2 pada lomba internasional tahun itu, dan selanjutnya menjadi juara dunia ditahun-tahun berikutnya.

Yah, memang hanya sekedar cerita film picisan khas Hollywood yang mencoba membesarkan Amerika dengan beragam 'superhero' imajinatif sebagaimana film Spiderman, Avengers, dan sejenisnya. Tetapi apapun tujuan film itu, entah komersialnya maupun ideologis dan politisnya, selalu ada nilai yang bisa kita pelajari, bila kita mau. Penghilangan egoisme atau semangat ke-aku-an dan menggantinya dengan kolektivisme atau semangat ke "KITA" an dalam mengatasi persoalan dan mencapai tujuan rasanya cukup relevan untuk kita contoh dalam menghadapi situasi saat ini.

Ego sentrisme masyarakat pasca kontestasi politik sejak tahun 2014, 2017 dan 2019 telah mengerak secara luar biasa. Setiap orang merasa memiliki kebebasan untuk menganggap dirinya paling benar, dan kemudian melihat orang lain yang ada di pihak seberang sebagai pihak yang salah. Akhirnya substansi kebenaran dan kesalahan itu menjadi kabur, karena rasionalitas telah dikalahkan oleh kemampuan pembentukan opini melalui media sosial oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Parahnya, kebencian satu pihak kepada pihak lain yang berseberangan cenderung menutupi mata hati dan akal pikiran yang sehat, sehingga apapun yang dilakukan oleh pihak lain akan langsung direspon secara negatif. 

Seringkali semua pihak juga mengaku sebagai umat beragama yang sangat taat, tetapi pada kenyataannya mengabaikan kenyataan bahwa agama apapun tidak mengajarkan kebencian kepada ummatnya.

Sebagai contoh dalam agama Islam diajarkan oleh Allah SWT bahwa, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia sangat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia sangat buruk bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [Q.S. Al-Baqarah : 216] selanjutnya Allah SWT juga memerintahkan, "... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..." [Al-Maidah 8].

Hal tersebut secara tersirat mengajarkan kepada kita sebagai manusia untuk senantiasa mengedepankan akal sehat serta cara berpikir yang logis dan rasional dalam melihat dan menghadapi segala sesuatu, tanpa dipengaruhi oleh rasa kebencian atau kecintaan terhadap sesuatu secara berlebihan.

Oleh karena itu, sebagai bangsa yang religius (bahkan kadang-kadang religiusnya over dosis), kita perlu mengembalikan hati dan pikiran kita kepada ajaran agama yang benar untuk menyingkirkan "virus sosial" dalam menghadapi pandemi covid 19 ini agar kita segera bisa keluar dari bencana dan bangkit kembali membangun bangsa.

Jangan lagi ada kebencian dan kecintaan yang berlebihan kepada apa yang kita yakini dan kita dukung secara politis, yang pada akhirnya memperkuat ke "AKU" an dan ke "KAMU" an serta menghancurkan ke "KITA" an.  Oleh karena itu, benar apa yang dituliskan oleh Dahlan Iskan maupun beberapa aktivis kejiwaan yang disebar melalui media sosial bahwa ada baiknya untuk kita sejenak meninggalkan media sosial, atau minimal mengurangi membaca dan mendiskusikan covid 19 agar jiwa dan akal sehat kita tetap terjaga.

Pandemi covid 19 ini adalah masalah kita bersama yang harus dihadapi secara bersama-sama dan dengan semangat kebersamaan, semangat ke "KITA" an yang utuh. Kita bisa mencontoh cerita remeh dari film Battle of The Year yang pernah saya tonton itu. Mari kita bangun kembali ke "KITA" an sebagai bangsa yang SATU DALAM KEBHINEKAAN. Insya Allah kita akan mampu segera keluar dari masalah dan bangkit kembali tegar sebagai bangsa yang besar.

"Cintailah kekasihmu sewajarnya karena boleh jadi suatu saat dia akan menjadi musuhmu. Dan, bencilah musuhmu sewajarnya, sebab boleh jadi suatu saat dia akan menjadi kekasihmu" (HR at- Turmudzi).

Kelurahan Baru, hari kedua PSBB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun